Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Larangan TikTok dan Pelindungan Data Pribadi

Montana menjadi negara bagian pertama di AS yang melarang TikTok. Pemerintah wajib melindungi data pribadi warganya.

8 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Amerika Serikat, Belanda, Kanada, dan Australia melarang pegawainya menginstal TikTok dengan alasan keamanan data.

  • Montana menjadi negara bagian pertama di Amerika Serikat yang melarang penuh TikTok.

  • Larangan tersebut perlu jadi pemicu bagi negara lain untuk menjamin pelindungan data pribadi warganya.

TikTok terus menuai kontroversi. Dengan alasan pelindungan data pribadi dan keamanan nasional, sejumlah negara, seperti India dan Afganistan, melarang total aplikasi berbagi video ini. Adapun Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Kanada mengharamkan TikTok di perangkat elektronik milik pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski demikian, larangan itu tak menyurutkan keinginan 1,67 miliar penduduk dunia bertiktok ria. Aplikasi yang kebanyakan berisi video orang berjoget ini paling banyak digunakan di Amerika Serikat dengan 116,5 juta pengguna. Indonesia berada di urutan kedua dengan 113 juta pengguna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para penggemar TikTok di Amerika Serikat, yang kebanyakan anak muda, siap-siap kecewa. Montana menjadi negara bagian pertama di Amerika yang melarang aplikasi buatan ByteDance asal Cina tersebut. Peraturan baru ini akan berlaku mulai 1 Januari 2024.

Pemerintah Montana menghadapi tantangan besar untuk menghapus TikTok. Kebijakan tersebut memicu reaksi keras. Para ahli hukum mempertanyakan keabsahan larangan itu, sedangkan anak-anak muda mencemooh para politikus dan menganggap mereka gagap teknologi.

Pemerintah Montana juga mendapat perlawanan dari tingkat nasional. Anggota Kongres, Alexandria Ocasio-Cortez, misalnya, secara terbuka menentang larangan TikTok. Walhasil, banyak pihak ragu apakah peraturan tersebut akan benar-benar terwujud.

Ilustrasi keamanan pengguna tiktok. Shutterstock

Hukum negara bagian itu tidak membidik pengguna pribadi, melainkan perusahaan yang memungkinkan orang-orang di Montana mengunduh dan mengakses TikTok. Dengan kata lain, yang bertanggung jawab adalah Apple dan Google. Operator App Store dan Google Play Store itu akan diminta membatasi akses ke TikTok. Pelanggaran atas ketentuan ini berarti denda sebesar US$ 10 ribu—setara dengan Rp 140 juta—per hari.

Masalahnya, App Store dan Google Play beroperasi di tingkat nasional, bukan negara bagian—selevel provinsi di Indonesia. Apple dan Google bisa saja mengidentifikasi pengguna dari Montana berdasarkan alamat penagihan, tapi bakal sangat membebani perusahaan secara administratif. Sedangkan pengguna bisa dengan mudah mengganti alamat.

TikTok bisa dihapus App Store dan Google secara nasional, seperti di India. Namun, untuk memblokir TikTok dari suatu negara bagian, hanya bisa dilakukan oleh ByteDance, operator TikTok yang berbasis di Cina. Caranya, TikTok mengumpulkan data geolokasi pengguna. Begitu didapati penggunanya ada di Montana, mereka memutus akses.

Metode ini menjadi ironi. Sebab, sejak awal, kekhawatiran para penentang TikTok adalah soal keamanan data. Larangan penggunaan TikTok di Montana bertujuan untuk melindungi data pribadi. Hal yang dianggap solusi malah memunculkan masalah baru.

Pengguna pun punya banyak cara untuk mengakali peraturan tersebut. Misalnya, karena pengguna tak akan dihukum karena mengakses TikTok, mereka bisa dengan mudah menyeberang batas negara bagian, mengunduhnya, lalu kembali ke Montana dan berjoget ria di depan kamera ponsel.

Penggemar TikTok yang melek teknologi juga bisa melangkahi larangan tersebut dengan virtual private network (VPN). VPN merupakan cara mudah dan murah untuk membuat pengguna seolah-olah mengakses Internet dari lokasi yang berbeda. 

Pemerintah Negara Bagian Montana perlu menyadari para pengguna akan mencoba berbagai cara untuk bisa mengakses TikTok. Apalagi para anak muda memiliki ikatan kuat dengan platform tersebut, kreator konten yang mereka ikuti, serta komunitas yang mereka bangun.

Sekitar 60 persen pengguna TikTok di Amerika merupakan generasi Z, lahir akhir 1990-an dan awal 2000-an. Aplikasi ini juga berdampak besar pada e-commerce. Maka, pelarangan TikTok yang mendadak dan sewenang-wenang bisa mempengaruhi perekonomian.

Pendapatan iklan global diproyeksikan mencapai US$ 152 miliar—sekitar Rp 2.200 triliun. Di antaranya datang dari ekosistem yang melibatkan kreator konten yang bertumpu pada TikTok untuk menyapa pemirsa mereka. Larangan TikTok tak hanya berdampak pada pengguna, tapi juga kehidupan para kreator konten tersebut.

Gubernur Montana Greg Gianforte mengklaim peraturan ini untuk melindungi data pribadi warga Montana. Namun berbagai pernyataannya kerap menyinggung Partai Komunis Cina sehingga peraturan tersebut lebih berbau pertentangan geopolitik daripada soal keamanan data.

Gubernur dari Partai Republik itu bereaksi keras soal testimoni CEO TikTok, Shou Zi Chew, di Kongres Amerika Serikat, juga soal ketegangan hubungan AS-Cina. Gianforte tak pernah menyinggung soal pelindungan data saat membahas media sosial buatan Silicon Valley.

Para legislator Amerika tak salah saat menyampaikan kekhawatiran soal keamanan data di platform media sosial. Di era digital sekarang, saat jumlah data personal yang dikumpulkan semakin banyak, penting bagi kita untuk memprioritaskan keamanan data pribadi. Namun, dengan mengarahkan kemarahan kepada TikTok karena pengaruh geopolitik, para pembuat kebijakan kehilangan kesempatan untuk mengatasi masalah keamanan data pribadi di seluruh lanskap digital.

Ilustrasi pengguna tiktok. Shutterstock

Kebocoran data, termasuk di negara maju seperti Australia, menunjukkan perlunya tindakan nyata untuk melindungi data pribadi secara menyeluruh. Hal ini berarti melindungi data pribadi di semua media sosial, termasuk Facebook, Instagram, dan Twitter, juga semua layanan digital yang mengumpulkan data personal dalam jumlah besar.

Langkah awal yang bisa pemerintah ambil adalah membentuk perangkat aturan, seperti Regulasi Pelindungan Data Umum (GDPR) di Uni Eropa. GDPR merupakan seperangkat aturan yang bertujuan melindungi data pribadi. Isinya berupa pedoman bagi organisasi untuk mengelola dan melindungi informasi personal yang pada akhirnya meningkatkan kendali seseorang atas data mereka.

Sejak dibentuk pada 2016, GDPR dicontoh banyak negara, termasuk Negara Bagian California di Amerika. Australia, yang tertinggal soal pelindungan data pribadi, dapat mengikuti langkah Uni Eropa dan menerapkan peraturan pelindungan data yang tegas. Dengan begitu, pengguna dapat memiliki kendali yang lebih kuat atas data mereka, termasuk hak untuk meminta penghapusan data dan menolak praktik pengumpulan data tertentu.

Aturan-aturan tersebut juga menuntut perusahaan untuk terbuka soal pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data pribadi. Hal ini tak hanya merupakan bentuk pelindungan konsumen, tapi juga meningkatkan kepercayaan antara platform online dan penggunanya.

Seiring dengan pelindungan lewat regulasi, pemerintah juga perlu meningkatkan literasi digital bagi masyarakat. Caranya bisa dengan membentuk program literasi data, dengan target utama anak muda dan terbuka bagi semua kalangan. Dengan demikian, masyarakat lebih memahami dan menghargai betapa berharganya informasi personal mereka.

Keterampilan ini diberikan melalui program literasi data yang mendidik individu tentang konsekuensi dari praktik berbagi data, melindungi privasi, dan beraktivitas di platform digital. Berbekal pengetahuan ini, orang dapat melindungi privasi mereka dengan lebih baik sembari memitigasi risiko.

Jadi, meski upaya Negara Bagian Montana di Amerika tak serta-merta menghentikan popularitas TikTok, larangan tersebut bisa menjadi pemicu pembuatan regulasi pelindungan data pribadi dan inisiasi literasi digital. Kedua hal itu merupakan fondasi pembentukan ekosistem digital yang lebih sehat.

--- 

Artikel ini ditulis oleh Milovan Savic peneliti di ARC Centre of Excellence for Automated Decision-Making and Society (ADM+S) di RMIT University, Melbourne. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus