Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Koordinator tim advokasi penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan, Arif Maulana, menilai persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara cenderung berpihak kepada pelaku, bukan kepada Novel sebagai korban. "Rancangan sidang agaknya ingin memberi hukuman ringan dan berhenti di pelaku lapangan, seolah-olah kasus sudah selesai," kata Arif kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif menjelaskan bahwa kejanggalan dalam sidang Novel terlihat dari proses pemeriksaan saksi korban. Ketika Novel dihadirkan sebagai saksi, menurut Arif, jaksa terkesan memperlakukan korban sebagai terdakwa. "Jaksa yang harusnya menggali informasi mengenai latar belakang, jejaring aktor penyerangan, dan modus penyerangan, malah bertanya mengenai kasus Bengkulu yang menyudutkan dan mengkriminalkan korban," ucap dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya mengkritik jaksa penuntut umum, Arif juga menyayangkan sikap hakim yang tak serius menggali latar belakang penyerangan kliennya. Menurut dia, hakim tidak menggali lebih jauh mengenai motif dan modus, termasuk kemungkinan keterlibatan aktor lain selain kedua terdakwa. "Hakim menghabiskan waktu lebih banyak berkutat pada kronologi di peristiwa penyerangan. Banyak keterangan saksi korban yang mengarah kepada keterlibatan aktor lain namun tidak digali," katanya.
Arif pun menyesalkan adanya saksi kunci yang tak masuk dalam berkas perkara. Ia menyebutkan setidaknya ada beberapa saksi kunci yang melihat pelaku pengintai kompleks rumah Novel di Kelapa Gading, Jakarta Utara, sebelum hari kejadian. Saksi-saksi sebelum hari penyerangan ini sempat diperiksa dan keterangannya ada di berita acara pemeriksaan (BAP). "Ada keterangan saksi penting yang sudah di-BAP, tapi justru tidak masuk dalam berkas pemeriksaan di persidangan," ujar Arif.
Sidang kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan sudah berlangsung empat kali. Selain Novel, sejumlah saksi sudah menjalani pemeriksaan. Rabu kemarin, jaksa menghadirkan dua tetangga Novel, yakni Nursalim dan Haryono. Kedua saksi dicecar mengenai kesaksian mereka saat Novel diserang dengan air keras setelah salat subuh di masjid dekat rumahnya pada 11 April 2017.
Dua saksi lain yang sedianya dipanggil saat itu juga berhalangan hadir dan dijadwal ulang dalam persidangan pada Selasa pekan depan. Dua saksi itu ialah Eko Yulianto dan Iman Sukirman. Selama persidangan, terdakwa penyerang Novel, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, tak hadir di ruangan dan hanya menyaksikan melalui video.
Sebelum persidangan dimulai, tim kuasa hukum sudah mengendus adanya kejanggalan dalam penanganan kasus Novel salah satunya adalah susunan pengacara kedua terdakwa yang berasal dari tim hukum kepolisian. Menurut tim advokat Novel, seharusnya pihak kepolisian tidak memberikan bantuan hukum karena tindakan kedua pelaku mencoreng nama baik institusi. Selain itu, tindakan kedua pelaku tidak berkaitan dengan tugas kepolisian.
Dakwaan terhadap kedua pelaku pun dianggap tak sesuai dengan temuan tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang dibentuk Kepala Kepolisian RI Tito Karnavian pada 2019. Berdasarkan temuan TGPF, pelaku penyerang Novel diduga memiliki motif yang berhubungan dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik KPK. Tim juga menengarai bahwa penyerangan tidak dilakukan oleh satu orang. Di sisi lain, dakwaan terhadap pelaku hanya menyebut motif penyerangan adalah karena sakit hati dan tak ada pelaku lain. "Semakin sidang berjalan, kejanggalan semakin banyak," ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati.
Jaksa penuntut umum kasus penyerangan terhadap Novel, Ahmad Patoni, membantah berpihak pada terdakwa. Ia mengatakan jaksa bertindak profesional sesuai dengan bukti dan keterangan saksi yang dikumpulkan. Ia juga membantah memperlakukan Novel sebagai terdakwa, alih-alih sebagai saksi korban. "Saat pemeriksaan saksi Novel saya tanyakan, sebagai korban dan penegak hukum apabila ada seseorang yang melanggar hukum dan sesuai Pasal 184 KUHAP terbukti, apakah pendapat bapak," katanya. MAYA AYU PUSPITASARI
Tim Advokasi Sebut Banyak Kejanggalan dalam Sidang Novel
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo