Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
N, korban kasus pemerkosan, dengan didampingi LBH APIK akan mendaftarkan praperadilan ke pengadilan pada November mendatang.
Pengadilan, dalam putusan praperadilan, diharapkan mencabut surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Draf sedang disiapkan dan hampir rampung, tinggal menunggu analisis dari ahli pidana.
JAKARTA — Tim advokasi korban pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) menyiapkan draf permohonan praperadilan. Tim meminta pengadilan mencabut surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan polisi dalam kasus pemerkosaan korban N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draf permohonan praperadilan disiapkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat. Korban yang didampingi lembaga nirlaba ini bakal mengajukan permohonan ke pengadilan pada November mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur LBH APIK Jawa Barat, Ratna Batara Munti, menjelaskan, tim advokasi menyiapkan penjelasan sejumlah ahli hukum pidana dalam draf permohonan praperadilan. Penjelasan para ahli untuk menguatkan analisis hukum bahwa tindakan polisi menghentikan penyidikan bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Draf sedang disiapkan dan hampir rampung, tinggal menunggu analisis dari ahli pidana,” ujar Ratna kepada Tempo pada Jumat, 28 Oktober 2022.
Direktur LBH Apik Jawa Barat, Ratna Batara Munti. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ratna menjelaskan, kasus pemerkosaan korban N, pegawai di Kementerian Koperasi, terjadi pada 5 Desember 2019. Setelah kasus tersebut dilaporkan, polisi sempat menetapkan para pelaku berjumlah empat orang, juga pegawai di kementerian yang sama, sebagai tersangka pada 1 Januari 2020. Mereka di antaranya berinisial WH dan ZP berstatus aparatur sipil negara (ASN), serta MF dan NN selaku tenaga honorer. Namun kasus ini dihentikan pada 18 Maret 2020 setelah Polres Kota Bogor menerbitkan SP3.
Tidak hanya menghentikan perkara, kepolisian juga ditengarai ikut membantu salah satu keluarga pelaku menikahkan korban N dengan ZP, pelaku yang masih lajang. Pernikahan berlangsung pada 13 Maret 2020 sebagai bagian dari perdamaian. Keluarga korban tak bisa berbuat banyak karena diduga di bawah tekanan berbagai kalangan. Belakangan, ZP menggugat cerai.
Ratna mengatakan, polisi tidak bisa menghentikan penyidikan kasus pemerkosaan tersebut. Polisi pun sudah mendapatkan bukti-bukti yang cukup, terutama rekaman kamera pengawas atau closed-circuit television (CCTV) di Hotel Permata, Bogor. Rekaman menggambarkan saat-saat korban dibopong dalam keadaan mabuk selepas dicekoki minuman beralkohol. Polisi juga menemukan barang bukti lain, seperti seragam beberapa pelaku di kamar hotel. Kepolisan bahkan mendapatkan hasil visum forensik yang menyatakan korban diperkosa. Ratna menilai bukti-bukti tersebut lebih dari cukup untuk menjerat keempat pelaku.
Menurut dia, penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan ketika tidak ditemukan cukup bukti, tersangka meninggal, kasus kedaluwarsa, atau kasus bukan tindak pidana. Kasus pemerkosaan yang dialami korban N jelas tindak pidana. Upaya menikahkan secara paksa korban dengan pelaku merupakan bagian dari tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ratna menyatakan bakal membawa seluruh bukti tersebut dalam persidangan praperadilan pada November mendatang. Bukti-bukti tersebut termasuk untuk menguji alasan kepolisian menghentikan penyidikan. LBH Apik Jawa Barat mendesak hakim tunggal praperadilan mencabut SP3 dan memerintahkan polisi melanjutkan pengusutan kasus pemerkosaan korban N.
Selain menerbitkan SP3, kepolisian ditengarai menerima uang dari keluarga pelaku. Ratna mengatakan mendapat informasi bahwa Polres Kota Bogor diduga sempat menerima Rp 140 juta dari keluarga ZP untuk menyelesaikan kasus pemerkosaan. Kepolisian lantas disebut-sebut memberikan Rp 40 juta dari uang tersebut dan diberikan kepada keluarga korban untuk biaya pernikahan korban N dengan pelaku ZP pada 2020.
Selepas pernikahan, polisi menerbitkan SP3 Nomor S.PPP/238/III/REES.1.24/2020 pada 18 Maret 2020. Keluarga juga diminta membuat perjanjian untuk tidak lagi mengajukan proses hukum kasus pemerkosaan itu.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Bogor, Komisaris Dhoni Erwanto, menjelaskan bahwa polisi mempersilakan keluarga korban mengajukan permohonan praperadilan untuk menentukan sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. “Putusan praperadilan nantinya menjadi pegangan kami untuk bisa membuka kembali atau tidak penyidikan yang sudah dihentikan pada 2020,” ucap Dhoni, kemarin.
Kendati begitu, Dhoni tidak menjelaskan ihwal keterlibatan polisi memaksa menikahkan korban dengan salah satu pelaku. Dia juga menolak tudingan adanya uang ratusan juta rupiah yang diberikan keluarga pelaku kepada keluarga korban melalui polisi.
Dhoni hanya membenarkan bahwa polisi menerbitkan SP3 kasus tersebut yang diteken pejabat polisi pendahulunya. Dia menjelaskan, salah satu pertimbangan terbitnya SP3 adalah korban dan pelaku sudah membuat perjanjian pernikahan. “Serta ada lampiran surat permohonan pencabutan laporan polisi yang ditujukan kepada Kapolresta Kota Bogor Up. Kasat Reskrim pada 3 Maret 2020,” kata Dhoni pada 24 Oktober 2022.
Surat permohonan pencabutan kasus itulah yang menjadi pertimbangan polisi menghentikan penyidikan. Apalagi ketika korban dinikahkan dengan pelaku ZP pada 13 Maret 2020. Pernikahan keduanya bahkan telah didaftarkan di Kantor Urusan Agama dengan Nomor 0238/066/III/2020. Keluarga korban dan pelaku juga membuat perjanjian tertulis.
Ratna menambahkan, LBH APIK juga bersiap menggugat perdata pernikahan paksa antara korban dan pelaku. Gugatan tersebut karena ZP mengajukan cerai ke pengadilan agama. “Kami akan beri pendampingan ketika nanti korban dimintai keterangan di pengadilan. Kami juga berupaya memulihkan psikis korban melalui Yayasan Pulih,” kata Ratna.
Tempo berupaya meminta konfirmasi ke salah satu pelaku, ZP, melalui e-mail pribadinya dan orang tuanya. Ayah ZP menolak menerangkan ihwal tuduhan pemerkosaan terhadap anaknya. “Sudahlah, saya tidak bersedia menjawab. Anak saya dari dulu selalu dikait-kaitkan sampai hari ini,” kata dia saat dihubungi. Dia juga menolak tuduhan pernikahan paksa hingga upaya ZP kabur dari jerat hukum. “Saya enggak mau menjawab, buat apa ngomong, enggak akan selesai di ruang ini (wawancara).”
Dalam kesempatan terpisah, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM yang juga anggota Tim Independen Pencari Fakta (TIPF), Riza Damanik, menjelaskan bahwa Kementerian sudah berkomitmen membantu korban mencari keadilan, terutama permohonan praperadilan. “Pak Menteri sudah menyampaikan, bila ada yang diperlukan pendamping hukum, apakah sifatnya informasi, data, dan dokumen, Kementerian akan memberi dukungan dalam melakukan langkah hukum tersebut.”
Adapun Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menjamin pengusutan kasus pemerkosaan korban N bakal menyeluruh dan tuntas. Kementeriannya juga telah menggelar pertemuan dengan keluarga korban, pendamping, dan aktivis perempuan untuk menjamin keadilan bagi korban. “Kalau saat ini dianggap masih belum memenuhi asas keadilan, segera kami tindaklanjuti,” tutur Teten.
AVIT HIDAYAT | DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo