Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rapat perdana Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Masa Lalu digelar.
Tidak semua anggota tim diundang rapat yang digelar secara luring dan daring.
Tim membahas mekanisme kerja meski keputusan presiden pembentukan tim belum terbit.
JAKARTA – Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Masa Lalu mulai menggelar rapat perdana. Rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md itu membahas tugas para anggota, meski keputusan presiden (keppres) pembentukan tim belum dipublikasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ifdhal Kasim, salah satu anggota tim, memaparkan bahwa rapat tersebut baru rapat perkenalan. “Dalam rapat itu, kemudian Pak Mahfud menyampaikan isi keppres,” ujar mantan Ketua Komisi Nasional HAM tersebut lewat pesan pendek, kemarin, 5 September 2022. Meski begitu, Ifdhal enggan merinci isi keppres yang disampaikan Mahfud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Makarim Wibisono, juga menyebutkan pertemuan itu masih sebatas perkenalan. Makarim disebut-sebut sebagai ketua tim. “Belum sampai pada pembahasan kasus pertama yang akan ditangani," ujar dia, menjelaskan isi pertemuan tersebut.
Dalam pertemuan pada 1 September 2022, Makarim menuturkan, Mahfud hanya menjelaskan gambaran umum tentang isi keppres yang menyangkut tugas mereka sebagai tim. Dia menjelaskan, tugas tim adalah mengungkap dan berupaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan rekomendasi Komnas HAM. Kasus yang bakal ditangani juga akan dibatasi sampai dengan 2020. ”Kemudian nanti kami juga merekomendasikan langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat agar tidak terulang di masa mendatang," ujar Makarim. “Baru seputar itu saja.”
Menko Polhukam Mahfud Md., di Jakarta, 9 Agustus 2022. ANTARA/Reno Esnir
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu dengan pendekatan rekonsiliasi kembali digaungkan pemerintah. Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada Selasa, 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa dia telah menandatangani keppres pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. “Saya sudah meneken kepres-nya," ujar Presiden Joko Widodo.
Ihwal langkah-langkah penyelesaian dan juga pencegahan, Makarim menjelaskan, dalam rapat perdana tersebut belum secara rinci dijelaskan. Lagi pula, kata dia, hingga kini juga belum ada informasi pasti kapan keppres Tim Penyelesaian itu dipublikasikan. "Yang jelas, upaya non-yudisial ini tidak akan menggantikan upaya yudisial. Kalau ada bukti dan saksi, silakan diproses secara yudisial (hukum)," ujarnya.
Mahfud, Makarim melanjutkan, menjelaskan bahwa masa kerja tim hingga 31 Desember 2022 dan bisa diperpanjang selama satu tahun. Dalam rapat tersebut juga disampaikan susunan tim. “Saya disebut sebagai ketua, wakilnya Ifdhal Kasim, dan sekretaris Suparman Marzuki."
Selain Makarim dan Ifdhal, hadir dalam pertemuan yang digelar secara daring dan luring itu anggota tim lainnya, yakni Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As'ad Said Ali, mantan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo, serta mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat. Hadir pula mantan Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Kiki Syahnakri, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, serta Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodharwardani.
Tidak semua anggota, yang sebelumnya diajak menjadi bagian dari tim, ikut dalam pertemuan perdana itu. Ahli hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada, Zainal Arifin Mochtar, misalnya, mengaku tidak diundang. "Saya enggak tahu ada pertemuan. Sampai sekarang belum ada undangan dan lain-lain," ujarnya. "Keppres-nya juga kan belum terbit."
Makarim mengatakan tak tahu alasan Mahfud tidak mengundang semua anggota tim. Dalam rapat perdana itu, Makarim hadir secara daring lewat Zoom karena sedang di Bali. Dia menilai semua anggota tim bakal diundang setelah keppres terbit. “Rapat pada 1 September itu baru perkenalan saja. Setelah kepres terbit, baru ada rapat resmi," ujarnya.
Meski rapat perdana sudah digelar, keppres pembentukan Tim Non-Yudisial belum juga terang. "Keppres sedang dalam proses administrasi di Sekretariat Negara," ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Siti Ruhaini Dzuhayatin, saat dimintai konfirmasi, kemarin.
Adapun Mahfud Md. tidak merespons saat ditanya mengenai kepastian penerbitan keppres serta alasannya menggelar rapat, meski payung hukum pembentukan tim non-yudisial tersebut belum ada. Tempo juga menghubungi Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodharwardani untuk dimintai konfirmasi dan komentar, tapi telepon dan pesan yang dilayangkan tidak berbalas.
Lewat keterangan tertulis beberapa hari lalu, Jaleswari mengklaim bahwa keppres tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu itu adalah janji dan komitmen presiden mewujudkan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. "Tim akan melakukan pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi, dan mengupayakan ketidakberulangan, sejalan dengan mandat komisi kebenaran,” ujar Jaleswari.
Dia menjelaskan, mekanisme penyelesaian hukum atau yudisial berorientasi pada keadilan retributif. Maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban atau victim centered. Menurut dia, penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitusi), untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.
Hingga kini terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang tuntas penyelesaiannya. Sembilan peristiwa di antaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Adapun empat kasus lainnya terjadi setelah 2000. Keempat kasus itu adalah peristiwa Wasior pada 2001, Wamena pada 2003, Jambu Keupok pada 2003, dan peristiwa Paniai pada 2014.
Menurut Jaleswari, dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, kasus tersebut dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. “Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban untuk didengar, diberdayakan, dimuliakan, dan dipulihkan martabatnya,” ujar Jaleswari.
Pembentukan tim non-yudisial memantik kekhawatiran sejumlah kalangan. Para pegiat HAM menilai isi keppres pembentukan tim ini hanya akan mencuci dosa para pelanggar HAM berat masa lalu dengan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan.
Maria Katarina Sumarsih, ibu Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I, berkukuh kasus yang menewaskan putranya itu harus dibawa ke pengadilan. Ia tak akan mengikuti penyelesaian melalui Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. "Karena penyelesaian non-yudisial berpotensi memutihkan pelaku pelanggaran HAM berat," ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial ini hanya akan melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin kuat di Indonesia. Dimulai dengan proses yang tertutup hingga dokumen yang tidak kunjung dapat diakses. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya soal latar belakang, motif, dan komposisi individu yang dipilih presiden untuk mengisi tim ini.
"Upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial hanya kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan," tulis Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, mewakili Koalisi.
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak keppres tersebut dibatalkan. Koalisi meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung segera menindaklanjuti penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kejaksaan dapat menyelidiki dan menyidik secara transparan dan bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Koalisi juga mendesak DPR segera merekomendasikan atau mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. “Pemerintah dan DPR harus membahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta membuka seluas-luasnya partisipasi publik, khususnya penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat," demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo