Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
LP3ES meneliti peran pasukan siber dalam memanipulasi opini publik.
Salah satu temuannya adalah pasukan siber berasal dari tim kampanye calon presiden dan kepala daerah.
Tidak selalu bergerak karena uang, tapi juga karena ideologi.
JAKARTA – Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis penelitian mengenai pasukan siber dan manipulasi opini publik di Indonesia. Mereka mendapati pola kerja buzzer (pendengung) dan pasukan siber yang awalnya berasal dari tim sukses dalam pemilihan umum, pemilihan presiden, maupun kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor antropologi perbandingan politik dari Universitas Amsterdam, Ward Berenschot, mengatakan pasukan siber mulai bekerja sebagai relawan atau anggota tim sukses pada masa kampanye. Kemudian mereka diminta bekerja untuk menyuarakan hal lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jaringan di Indonesia biasanya sangat cair. Tidak duduk bersama dalam satu kantor. Komunikasi hanya lewat WhatsApp dan e-mail,” kata Berenschot lewat sambungan video dalam diskusi yang diadakan LP3ES di Hotel Park 5 di Cilandak , Jakarta Selatan, kemarin.
Peneliti dari KITLV (Pusat Studi Asia Tenggara dan Karibia) Leiden yang terlibat dalam riset LP3ES itu mengatakan organisasi pasukan siber terbagi dalam empat kelompok. Pertama adalah pendengung atau buzzer, yang bertugas mendistribusikan konten yang didapat dari koordinator. Pendengung yang ditemui para peneliti memiliki 10 sampai 300 akun Twitter untuk menyebarkan konten. Mereka mendapat bayaran per akun.
Screenshoot situs Tempo.co saat diretas oleh hacker, di Jakarta, 21 Agustus 2020. TEMPO/Nita Dian
Di level kedua adalah pembuat konten. Mereka menentukan strategi untuk merancang topik percakapan di media sosial, termasuk membuat video dan meme. Di atasnya ada koordinator. Koordinator bertugas menyebarkan konten dan memberikan instruksi kepada pendengung ihwal apa saja yang harus diunggah dan kapan waktu posting.
Berikutnya adalah influencer. Pemengaruh adalah orang yang sangat terkenal dan aktif di media sosial dan bukan anggota pasukan siber yang resmi dan terorganisasi. Namun ada juga kecenderungan pasukan siber menggunakan popularitas para influencer untuk mendukung topik yang mereka usung. “Pasukan siber terindikasi mencoba memberikan uang kepada para influencer untuk mendukung calon atau mendukung kebijakan pemerintah,” kata Berenschot.
Contohnya adalah pilpres 2019. Berenschot menyebutkan, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto menggunakan pasukan siber dengan cara yang mirip. Kegiatannya dari memperkuat citra dan menjual calon yang didukung ke publik, menyerang lawan menggunakan berita palsu, hingga membuat polling abal-abal.
Tujuannya, dia melanjutkan, adalah membuat suatu topik menjadi trending di Twitter dan terdiseminasi dengan baik di platform itu. Dalam pemilihan presiden tersebut, pasukan siber lebih terorganisasi lantaran tim kampanye digital ini memiliki kantor dan bekerja dalam shift, regulasi, serta koordinasi yang ketat. Dengan tingginya biaya pengerahan pasukan siber, menurut Berenschot, buzzer menjadi senjata penguasa dan orang kaya.
"Pasukan siber adalah ancaman demokrasi di Indonesia,” kata dia. Alasannya, tsunami pesan pendengung yang memenuhi ruang publik di media sosial melemahkan debat publik dan mengalihkan isu ke hal yang tidak esensial. Misalnya, di tengah protes massa soal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, muncul tuduhan pegawai KPK disusupi Islam garis keras.
Penelitian LP3ES ini membuktikan pandangan negatif publik tentang buzzer dan pasukan siber. "Sebelumnya cuma anggapan, sekarang ada bukti ilmiahnya," kata Wijayanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES. Selain Berenschot, riset ini melibatkan Ismail Fahmi, dosen Universitas Islam Indonesia dan pendiri Drone Emprit; serta Yatun Sastramidjaja, antropolog dari Universitas Amsterdam.
Para peneliti mewawancarai 78 narasumber dari pasukan siber. Tidak semua bergerak dengan dorongan uang. “Ada yang dipengaruhi faktor ideologis, seperti saat menjelang pemilihan Gubernur DKI 2017,” kata Wijayanto.
Unsur khas dari pasukan siber di Indonesia adalah kentalnya unsur premanisme. Mereka menyerang siapa pun yang berbeda pendapat. Termasuk lewat doxing dan peretasan. Ciri lainnya adalah kreasi konten yang sistematis dan memenuhi media sosial yang seharusnya merupakan ruang publik. "Mereka merugikan demokrasi kita," ujar dosen ilmu pemerintahan di Universitas Diponegoro itu.
Presiden Joko Widodo berbicara soal ujaran kebencian dalam Kongres Indonesia Millennials Movement di Istana Bogor, Jawa Barat, 12 November 2018 lalu. TEMPO/Subekti
Mantan juru bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Maruf Amin, Irma Suryani Chaniago, mengatakan mereka tidak pernah menggunakan hoaks dalam berkampanye, apalagi fitnah. “Kami menggunakan cara yang konstruktif, yaitu sosialisasi program dan klarifikasi hoaks serta fitnah,” kata dia saat dihubungi, kemarin.
Irma menyatakan, bagi mereka, politik berarti membuat orang dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak suka menjadi suka. Maka pengerahan juru bicara serta relawan yang bergerak di media sah-sah saja sebagai bagian dari tim kampanye.
Tempo berupaya menghubungi Dahnil Anzar Simanjuntak dan Andre Rosiade, mantan juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, untuk meminta konfirmasi ihwal temuan penelitian yang berkaitan dengan buzzer tersebut. Namun, hingga tenggat tulisan ini tadi malam, pertanyaan yang dikirim ke nomor telepon keduanya tak kunjung berbalas.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo