Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIAP hari nampak makin pasti saja dalam Sidang Umum MPR Maret
nanti, Presiden Soeharto akan dipilih sekali lagi.
Sebenarnya sudah sejak masa kampanye tanun lalu hal ini sudah
bisa diperhitungkam Golkar sudah pagi-pagi mencalonkan Soeharto
dan Sri Sultan sekali lagi--dan setiap pengamat politik waktu
itu pun sudah bisa mewarnai bahwa Golkar akan memang dan
pencalonannya akan gol.
Yang lain dari itu cuma ilusi--atau sekedar main-main, atau
latihan kecil-kecilan untuk menguji demokrasi.
Termasuk dalam kategori belakangan ini adalah yang dilakukan dua
pemuda tempo hari, Bambang Sulistomo dan Dipo Alam, untuk
"mencalonkan" Ali Sadikin. Bukan lewat fraksi-fraksi dalam
DPR-MPR, tapi buat kaos oblong dan spanduk yang dipasang
sebentar di sebuah warung kecil di Jakarta. Kemudian, boleh
dicatat "pencalonan" Darius Marpaung - setelah sebuah doa dan
sebuah surat kawat ke MPR yang tentu saja tak berbalas.
Sebab apa yang nampak di MPR makin memperjelas kokohnya
pencalonan kembali Presiden Soeharto. Seperti dikatakan oleh
Ketua DPR-MPR Adam Malik, "menurut perhitungan matematik Pak
Harto sudah dapat dipastikan akan terpilih kembali." Begitu
pastinya hal itu hingga memang mengherankan jika soal itu masih
dipersoalkan.
Lihat saja. "Perhitungan matematik" Adam Malik tak memerlukan
komputer yang rumit. Colkar memegang suara mayoritas. Sementara
itu tak boleh ketinggalan ialah suara ABRI: Presiden Soeharto
didukung penuh oleh ABRI. Suatu kenyataan politik yang kiranya
tak perlu diajarkan ialah bahwa suara ABRI tak munghin
diabaikan. Dan AB Rl pasti tak mengajukan calon lain di samping
Pak Harto. Sebab kalau begitu yang terjadi, sungguh buruk
keadaan. ABRI harus kompak. Kalau tidk,"Republik bisa kacau,"
kata seorang perwira tinggi.
Dari kalangan paltai politik memang belum terdengar suara yang
pasti betul. Di bulan September 1977, DPP PDI yang waktu itu
baru mulai menunjukkan tanda-tanda pecah mengatakan. bahwa
partai belum memutuskan soal pencalonan Presiden untuk MPR
mendatang. Tapi sudah dipastikan, bahwa PDI nanti akan
mencalonkan kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden.
"Hampir semua anggota DPP telah menyetujui pencalonan tersebut,"
kata drs. T.A.M. simatupang salah satu Ketua PDI. Bahkan ia
mengajak semua kekuatan sosial "untuk mewujudkan penetapan
kembali Soeharto sebagai suatu konsensus nasional."
Pertanyaan tentang pencalonan ini kepada Simatupang memang ada
sebabnya 18 September 1977, ditandatangani oleh Ketua Achmad
Sukarmadidjaja dan Wakil Sekjen Djon Pakan, sebuah pernyataan
dikeluarkan: PDI telah mencalonkan kembali Jenderal Soeharto
sebagai calon-tunggal untuk jabatan Presiden RI masa tahun 1977
- 1983.
Pernyataan itu memang menunjukkan tanda-tanda adanya DPP
"tandingan", tapi kemudian PDI yang pecah toh dipersatukan
kembali dan soal pencalonan Pak Harto toh ternyata bukan yang
menimbulkan keretakan.
Yang masih lebih remang-remang adalah sikap Partai Persatuan
Pembangunan. Tapi suara untuk mencalonkan Jenderal Soeharto
kembali bukannya tidak terdengar dari kalangan P-3, sementara
sejauh ini belum ada nama calon yang lain yang mereka ajukan.
Menurut sebuah dugaan pada waktu Sidang Umum Maret nanti Fraksi
P-3 toh akhirnya akan muncul dengan Jenderal Soeharto juga
sebagai calon. Selama ini fraksi tersebut hanya sedang mencoba
melakukan taktik tawar-menawar untuk soal-soal yang bagi mereka
lebih prinsipiil misalnya soal kepercayaan.
Tapi seandainya pun P-3- tidak mencalonkan Jenderal Soeharto.
hasilnya tidak akan berubah dari "matematika Adam Malik".
Apalagi jika pemungutan suara dilakukan seperti yang
kemungkinannya dibayangkan oleh Golkar, untuk menghindarkan
soal-soal pokok Sidang Umum dari suasana "bertele-tele."
Masalahnya ialah bahwa cara pemungutan suara tidak selamanya
menarik dalam tradisi pengambilan keputusan di Indonesia. Ada
kesan bahwa suatu kesepakatan yang bulat belum diperoleh.
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud misalnya, pekan lalu menyatakan
bahwa ketentuan bagi seseorang untuk menjadi presiden ialah:
selain dipilih oleh MPR yang merupakan syarat konstitusi. "ia
juga harus didukung secara bulat oleh seluruh rakyat."
Sebenarnya dari segi praktis dukungan bulat oleh seluruh rakyat
tidak mutlak perlu. Kalau mutlak perlu, bisa berlarat-larat
nanti soal pemilihan presiden. Perbedaan pendapat bagaimana pun
bukan hal yang mustahil. Seperti kata Menteri Dalam Negeri
sendiri: ada kelompok tertentu di masyarakat yang memaksakan
pencalonan lain "Bahkan, katanya, "ada kelompok terlentu yang
tidak menghendaki dicalonkannya kembali Soeharto sebagai
presiden.
Itu tidak berarti bahwa pencalonan lain adalah sebuah dosa besar
terhadap konstitusi meskipun memang tidak nyaman terdengar di
kuping. Seperti dikatakan Menteri Amirmachmud sendiri, ia tidak
menutup kemungkinan demikiam "asal disalurkan melalui DPR dan
MPR".
Agaknya untuk menampung pencalonan lain itulah Fraksi P-3
mengusulkan suatu pembaharuan dalam prosedur pemilihan presiden.
Masalah prosedur ini jadi bahan pekerjaan Panitia Ad Hoc III
Badan Pekerja MPR. Ketika Panitia Ad Hoc menyerahkan hasil
kerjanya kepada Ketua Badan Pekerja, H. Ahmad Lamo ada hal-hal
yang belum selesai, karena belum ada kesepakatan. Sebuah sumber
mengatakan balwa ada yang belum disepakati oleh P-3 dan PDI
secara bersama-sama. Sebuah sumber lain mengatakan bahwa yang
"lain" hanya suara P-3.
H.M. Dahrif Nasution bekas Mayor AL yang kini jadi orang P-3
dan duduk sebagai Wakil Ketua dalam Panitia Ad Hoc III mengakui
itu. Menurut Dahrif. fraksinya menghendaki agar pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh 30 anggota. "Ini
berbeda dengan pendapat fraksi lain yang beranggapan Tap MPR
II/1973 masih dapat dipakai." Inti dari Tap MPR II/1973 itu
ialah bahwa pencalonan Presiden dilakukan oleh Fraksi secara
tertulis. Menurut Pasal 9 ketetapan itu alon Presiden
diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada
Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang
mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan."
Ketetapan seperti itu, bagi Cosmas Batubara dari Fraksi Golkar,
sesuai dengan Undang-Undang Pemilu. Konsekwensi dari UU Pemilu,
kata Cosmas ialah bahwa yang dipilih adalah tanda gambar, bukan
orang sesuai dengan sistim pemilihan yang proporsionil, bukan
sistim distrih. Karena itu Cosmas menyatakan "sulit" untuk
menerima usul P-3. "Anggota sudah dilokalisir dalam
fraksi-fraksi," kata Cosmas,"jadi fraksi adalah pengelompokan
anggota yang menggambarkan konstelasi politik dalam
masyarakat."
Pendapat sedemikian memang bisa menjaga Fraksi-Fraksi dari
perpecahan satu hal yang tentu akan merepotkan Golkar kalau
tidak juga merepotkan PDI dan P-3 - sehingga gedung DPR-MPR bisa
jadi ramai. Tapi nampaknya P-3 punya alasan juga. "Yang penting
adalah diakuinya hak-hak anggota untuk menealollkan, itu saja,"
kata Dahrif Nasution.
Memang bagi beberapa anggota DPR-MPR, juga dalam Fraksi Golkar.
terkadang ada kekurang-bebasan bagi diri mereka untuk menyatakan
pendapatnya sendiri. Terkadang sering Fraksi teramat membatasi
kesempatan mereka. Namun dalam masalah pencalonan presiden
nampaknya kodisi semacam itu perlu ditempuh. Paling tidak sampai
masa Sidang Umum 1978 ini, ketika "situasi" dianggap belum
mengijinkan untuk yang aneh-aneh.
Tapi adakah usul P-3 sebenarnya dimaksudkan untuk memungkinkan
pencalonan orang lain di samping Jenderal Soeharto? Orang ingat
akan suasana genting yang meliputi Sidang Umum V MPRS.
Sebelumnya, harmpir seluruh DPR Daerah dan partai-partai
mengeluarkan resolusi agar MPRS segera bersidang untuk
mengangkat Jenderal Soeharto jadi Prcsiden (penuh). Waktu itu
Pak Harto baru memegang posisi Pj. Presiden. Dan pada tanggal 13
Pebruari 1968, DPR pun dengan aklamasi menerima mosi Achmad
Sukarmawidjaja dkk. Di antara yang tercantum dalam mosi itu
ialah agar MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden
penuh.
Tapi dalam pelaksanaannya seperti ditulis bekas Ketua MPKS A.H.
Nasution dalam bukunya. Dari Kup 1 oktober 1965 ke Silang
Istimewa, "Sidang Umum V MPRS-pun hampir gagal dan mengalami
banyak sas-sus." 7 Maret 1968 komisi politik macet. Ketuanya,
Jenderal M. Yusuf minta bantua pribadi Nasution sebagai Ketua
MPRS. Setelah berjam-jam bermusyawarah baru selesai.
Pengangkatan Jenderal Soeharto menjadi Presiden hampir saja
tertunda-tunda.
Namun yang menarik ialah, menurut Nasution, bahwa sekitar sidang
itu berjalan "desas-desus santer", bahwa fraksi-fraksi Islam
akan merubah UUD'45 dengan Piagam Jakarta dan bahwa, ada yang
hendak mencalonkan Nasution jadi presiden.
Apakah kini sejarah berulang kembali dan fraksi-fraksi Islam
yang kini sudah bergabung dalam P-3 memang punya calon lain
Warsito Puspoyo SH, Ketua Komisi II (Dalam Negeri) DPR diri
Fraksi Karya yang menolak usul P-3 tentang prosedur pemilihan
presidennya pendapat yang penting: "Ketentuan pasal 9 Tap MPR
No. 11 Tahun 1973 tidak menutup kemungkinan sesuatu Fraksi akan
mengajukan lebih dari satu calon."
Masalahnya ialah, bahwa nampaknya tidak ada calon lain yang
sudah ditampilkan Cosmas mengritik hal ini. Ia menyatakan "tidak
mengerti" kalau ada salah satu fraksi yang menyatakan bahwa
calon presiden mereka belum ditentukan. "Calon Presiden dari
tiap peserta pemilu lebih baik diperbincangkan selama kampanye
pemilu," kata Cosmas. Cara ini dianggapnya lebih fair, karena
seorang pemilih dapat sekaligus memilih orang (calon presiden)
dan sekaligus programnya.
Tentu saja Cosmas mencontohkan apa yang dilakukan Golkar.
Selama dua kali masa jabatan ini Golkar mencalonkan Pak Harto
dalam satu paket kampanye. Memilih Presiden, kata Cosmas pula,
"tidak seperti memilih bupati." Persiapannya harus dilakukan
jauh sebelumnya.
Memilih Presiden juga tidak seperti memilih bupati karena
masalahnya nenyangkut pelbagai soal besar nasional dan antara
lain karena itu jadi masalah yang peka. Apalagi jika sudah
menyangkut nama-nama - yang bagi tradisi politik Indonesia
merupakan hal yang tidak biasa. Persaingan untuk kedudukan
setinggi itu secara terbuka masih belum dianggap patut.
Sementara itu, banyak rasa cemas akan terjadinya perpecahan
nasional.
Itu tidak berarti, bahwa apa yang kini belum biasa kelak
kemudian hari tetap demikian. Waktu berubah. Generasi baru demi
generasi baru lahir. Sikap mereka, terutama yang telah mengalami
sendiri proses pemilihan di tempat mereka dididik tentu berbeda.
Barangkaii perdebatan yang tidak ramai ke luar tentang soal
prosedur di Panitia Ad Hoc merupakan pertanda bahwa perbedaan
sikap itu ada juga gemanya, tanpa mengurangi kemungkinan adanya
kepentingan-kepentingan politik lain. Masalahnya tentu akan
beres dalam Sidang Umum MPR Maret mendatang di mana Presiden
Soeharto akan dipilih lagi.
Setelah itu, mau tak mau siapa pun harus menengok ke masa depan
- kalau perlu yang sejauhjauhnya. Duapuluh lima tahun lagi siapa
tahu segala yang kini kita omongkan menjadi tak penting lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo