Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perlu langkah terobosan untuk menangani pengguna narkotik yang semakin meningkat.
TNI usul rindam digunakan menjadi tempat rehabilitasi pengguna narkotik.
Pendekatan kesehatan dinilai lebih efektif untuk menangani pencandu narkotik.
JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan menyoroti rencana pemerintah untuk melibatkan Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan rehabilitasi pengguna narkotik. Pelibatan TNI itu dikhawatirkan bakal menambah rententan permasalahan dwifungsi ABRI yang telah ditolak sejak awal reformasi. “Ini mengancam iklim demokrasi dan hak asasi manusia,” kata Andi Muhammad Rezaldy, anggota Koalisi dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, kata Andi, tidak ada aturan yang mengharuskan militer terlibat dalam kebijakan penanganan pengguna narkotik. Karena itu, pemerintah sebaiknya meninggalkan rencana itu dan kembali menggunakan pendekatan kesehatan yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Sejauh ini, pendekatan tersebut belum digunakan secara optimal. “Itu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan kebijakan narkotika di Indonesia,” ujar Andi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo (kedua dari kanan) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin rapat terbatas soal penanganan narkoba di Istana Merdeka, Jakarta, 11 September 2023 ANTARA/Sigid Kurniawan
Senin lalu, Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas mengenai pemberantasan dan penanganan narkotik. Rapat itu dihadiri oleh sejumlah pejabat negara, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; Kepala Badan Narkotika Nasional, Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose; dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Presiden mencermati catatan Badan Narkotika Nasional tentang jumlah pengguna narkoba yang sudah menyentuh angka 1,95 persen atau 3,6 juta jiwa. Akibatnya, lembaga pemasyarakatan terbebani karena jumlah penghuni telah melebihi kapasitas yang tersedia. Untuk itu diperlukan langkah terobosan.
Presiden menyampaikan sudah ada usulan dari TNI yang menawarkan fasilitas resimen induk daerah militer (rindam) menjadi tempat rehabilitasi. Fasilitas itu terdapat di setiap kodam yang masing-masing berkapasitas 300-500 orang. "Bisa direhab di situ. Nanti kita bicarakan juga masalah anggarannya seperti apa," kata Jokowi.
Yudo Margono mengatakan, jika usulan itu memang disetujui, perlu disiapkan mekanisme untuk menjadikan rindam sebagai tempat rehabilitasi para pencandu narkotik. TNI juga perlu berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk menyusun materi dan program rehabilitasi. “Saya diberi waktu dua minggu oleh Bapak Presiden. Nanti saya akan paparkan ke beliau,” kata Panglima TNI. “Ini semata-mata untuk menangani masalah narkoba yang sekarang sudah banyak dan masif.”
April lalu, TNI membahas rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Revisi yang diusulkan, antara lain, tentang pengaturan baru tugas TNI di bidang non-pertahanan, batas usia pensiun, perencanaan anggaran, dan penempatan TNI di jabatan sipil.
Misalnya, dalam Pasal 7 ayat 2 butir ke-18, TNI akan diberi kewenangan untuk mendukung pemerintah dalam kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotik, prekursor, dan zat adiktif lain. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, perubahan itu diusulkan lantaran banyak prajurit yang memiliki wawasan dan kemampuan untuk membantu pemerintah. Dengan demikian, TNI tidak hanya terkait dengan urusan militer, tapi juga non-militer. "Misalnya, dalam membantu penanganan Covid-19," kata Julius. Dia menekankan bahwa usulan ini bukan upaya untuk membangkitkan dwifungsi TNI seperti pada era Orde Baru, melainkan mengharmonisasi relasi sipil-militer untuk kemajuan.
Petugas rehabilitasi memberikan penyuluhan tentang bahaya narkoba kepada pasien di tempat rehabilitasi Yayasan Peduli Kasih Bekasi, Jawa Barat, 2017. TEMPO/Tony Hartawan
Advokat pada Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Ma’ruf Bajammal, mengatakan kebijakan dalam penanganan narkotik merupakan persoalan sipil yang tata kelolanya menggunakan pendekatan kesehatan berbasis sains. Rehabilitasi bukan satu-satunya opsi yang bisa dijalankan oleh pemerintah. Opsi lain yang bisa diterapkan, misalnya, terapi substitusi rumatan metadon. “Intervensi negara seperti ini yang harusnya dibutuhkan, bukan tiba-tiba militer ditarik dalam persoalan ini,” ujar dia.
Ihwal lembaga pemasyarakatan yang saat ini telah kelebihan penghuni, Ma’ruf mengatakan itu terjadi karena banyak pengguna narkoba yang dipidanakan. Padahal, jika menggunakan pendekatan kesehatan, para pengguna itu seharusnya ditempatkan sebagai korban. Karena itu, pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Narkotika agar penegakan hukum berfokus menyasar pengedar dan produsen narkoba. “Pasal 111 dan 112 UU Narkotika itu yang memberikan sumbangsih over-kapasitas di lapas,” kata dia.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ade Irfan Pulungan, mengatakan rencana pemanfaatan rindam sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotik masih sebatas usulan. Perlu kajian-kajian agar upaya itu bisa memenuhi harapan. Pemerintah juga perlu mendapat berbagai masukan dan pendapat mengenai persoalan narkotik ini. “Ini masih konteks membahas dan memberikan pendapat, tidak perlu direspons berlebihan,” kata Ade.
ANDI ADAM FATURAHMAN | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo