Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI lereng timur-laut gunung Lawu ada desa Ngapit. Di desa yang
gersang ini ada seorang kiayi Mundir namanya. Sejak tahun 50-an
ia mengajar ngaji (membaca al qur'an) hingga tak mengherankan
bila banyak bekas santrinya yang kini sudah tua-tua. Tapi Mundir
tetap dihormati. Mungkin lantaran ia selalu memikirkan
kesejahteraan pengikutnya.
Lumbung "Kemakmuran," misalnya, ia dirikan dengan modal dari
pengumpulan zakat maal. Keuntungan dari simpan pinjam padi ini
bisa digunakan untuk mendirikan madrasah tanpa membebani
masyarakat dengan pungutan. Bahkan sebagian keuntungan juga
disisihkan untuk membantu pengobatan santri miskin yang sakit.
Tapi karena omzet lumbung ini memang tidak besar (tahun 1976
sebanyak 2.000 kwintal) peranan sosialnya juga kecil. Karena itu
Mundir membuka usaha baru di bidang ternak potong dengan modal
pertama 50 ekor sapi pinjaman dari Bupati Ngawi. Pemeliharaannya
diserahkan pada petani yang tak punya sawah. Sayangnya usaha ini
hanya berjalan setahun. "Keuntungannya sangat tipis, tidak
sebanding dengan jerih payah memeliharanya" Mundir menjelaskan
pada TEMPO.
Ketika kiayi tamatan pesantren Banyu Biru ini sedang memikirkan
usaha apa lagi yang bisa dikembangkan, seorang bekas santrinya
yang kini menetap di Sumatera Selatan kembali ke Ngapit. Ia
ceritakan kepada Mundir bahwa hidup di tempat yang baru tersebut
lebih lumayan. Sejak saat itulah Mundir berfikir keras membuat
pertimbangan untung ruginya bertransmigrasi. Berita-berita
mengenai nasib sebagian transmigrasi yang terlantar membuat
Mundir berhati-hati.
Asal Kiayi Ikut
Karena itu ia memerlukan berangkat ke Sum-Sel melihat daerah
mana kira-kira yang tepat untuk itu. Walhasil ia menemukan
daerah yang dirasa cocok untuk penduduk Ngapit, yakni di
Baturaja. Pulang dari Sumatera, Mundir mengumpulkan pengikutnya
menawarkan kemungkinan baru tersebut. Apa jawab mereka? "Asal
pak kiayi ikut dan memimpin kami, kami semua mau ikut" jawab
mereka seperti ditirukan Sarbi (60 tahun) kepada TEMPO. Seminggu
kemudian, tercatat 79 kepala keluarga (377 jiwa) menyatakan akan
nderek (ikut) pak kiayi.
Mundir segera membawa daftar itu ke kantor transmigrasi
setempat. Meskipun kiayi memilih sendiri lokasi yang akan
ditempati, tapi pemerintah menghargai inisiatif tersebut.
Direktorat Transmigrasi segera menyiapkan tempat baru itu dengan
mendirikan perumahan dam membuka tanah. Tiap KK mendapat satu
rumah berukuran 4 x 6 meter dan tanah 2 ha - separonya harus
dibuka sendiri. Keperluan pokok mereka selama satu tahun juga
ditanggung direktorat Transmigrasi, kecuali biaya perjalanan
menuju tempat itu. Biaya yang terakl1ir ini kemudian ditanggung
Gubernur Sunandar Priosudarmo sebesar Rp 3.700.000, dengan uang
saku dari Bupati Ngawi Rp 3.000/KK.
Penghormatan terhadap mereka juga agak luar biasa. Beberapa kali
upacara diadakan. Pimpinan Pusat Pesantren Sabilil Muttaqin dan
pihak kecamatan setempat mengantar sampai di Baturaja. Dua
minggu lalu mereka dilepas pula oleh Laksamana Sudomo di
Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo