Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tujuh Koran Dilarang

Kompas, sinar harapan, merdeka, pelita, the indonesian times, sinar pagi & pos sore dilarang terbit. tindakan dilakukan untuk menghindari berita-berita yang menyesatkan masyarakat menurut kas. kopkamtib sudomo. (nas)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK terasa ada yang luar biasa di kantor redaksi harian Kompas Jumat malam 20 Januari lalu. Beberapa mobil dan motor tampak memenuhi halaman kantor di Jl. Palmerah Selatan 26, Jakarta. Para wartawan yang biasa mengkover berita olahraga, masih sibuk menyelesaikan laporan pandangan mata pertandingan sepakbola untuk kejuaraan PSSI di Senayan, lepas jam 10 malam. Padahal jam 20.20, mereka telah rnenerima telepon dari Letkol Anas Malik, Kepala Penerangan Laksusda Jaya, menyatakan bahwa Kompas dan beberapa harian lainnya dilarang terbit. "Saya minta semua wartawan merampungkan tulisannya," kata wakil pemimpin redaksi P.Swantoro. Mereka tetap mengetik sekalipun tak boleh terbit esoknya. "Untuk dokumentasi," sambung Swantoro. Ia masih banyak senyum. Telepon yang sama juga diterima Subagyo Pr. pemimpin redaksi harian Sinar Harapan. Kamis pekan lalu harian yang beroplag di atas 150 ribu eksemplar itu menurunkarl tajuk, dengan pembuka kalimat: "Apa yang sedang terjadi di Indonesia ini? Dan apa yang akan terjadi dalam minggu-minggu yang akan datang?" Pertanyaan itu rupanya terjawab esok malamnya, yang malang - untuk sementara - tak bisa dijawab oleh sang penulis tajuk. Bersama Kompas yang punya oplag di atas 250 ribu dan Sinar Harapan, sampai 23 Januari kemarin, adalah koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore yang terkena larangan terbit. Pos Sore masih beredar Sabtu 21 Januari lalu, dengan tajuk tanpa kata berwarna hitam. Mungkin itu dimaksud sebagai tanda turut berduka terhadap rekan-rekannya yang kena berangus sementara. "Menghasut" Bahkan koran Pos Kota ikut nyaris kena. Menurut Sofyan Lubis, redaktur pelaksana Pos Kota, mereka mendapat telepon jam 4 pagi Senin 23 Januari memberitahukan bahwa kedua koran yang dipimpin Harmoko, ketua umum PWI Pusat itu, dilarang beredar. Tapi rupanya ada kekhilafan. Beberapa jam kemudian, dijelaskan Pos Kota tak kena diberangus. Jadi seluruhnya, sampai Senin kemarin, ada 7 koran yang kena tindak. Adapun pertimbangan keputusan Kopkamtib itu disebabkan "pemberitaan dalam harian-harian itu dianggap telah menjurus kepada sifat-sifat menghasut, yang langsung maupun tidak langsung sudah merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban." Senin pagi itu juga Kas Kopkamtib Sudomo menyatakan "tindakan itu dilakukan untuk memelihara ketenteraman umum dan menghindarkan terSeDarnya berita-berita yang menyesatkan masyarakat." Menurut Sudomo, tindakan itu memang berlaku untuk sementara "sambil menunggu proses lebih lanjut perlu tidaknya dilakukan pencabutan urat Ijin Terbit (SIT)." Menteri Penerangan a.i. Sudharmono SH, selepas menghadap Presiden Sabtu pekan lalu menyatakan bahwa larangan terbit itu harus dianggap sebagai "kartu kuning" agar tak terjadi pencabutan SIT. Menurut Sudharmono, pemerintah sebelumnya sudah berbicara dengan beberapa pemimpin redaksi suratkabar untuk minta pengertian mereka agar menghindari pemberitaan yang dianggapnya bisa "mengganggu stabilitas nasional." Bagi banyak orang keputusan larangan terbit itu mengagetkan. Di jalanan sejak hari Sabtu itu orang tak lagi bisa membeli koran pilihannya. Dan korankoran yang masih boleh terbit dengan sendirinya jadi rebutan. Banyak orang yang ditanyai TEMMPO mengatakan baru pagi itu mengetahui tentang larangan terbit itu. Begitu juga para anggota DPR. "Sebenarnya cukup dengan cara persuasif saja," kata TAM Simatupang dari DPP PDI. "Tapi baiknya kita tak bicara apa-apa dulu sekarang," sambungnya cepat. Ketua Umm PDl Sanusi Hardjadinata berpendapat tindakan itu hanya akan membuat bahan bacaan jadi kurang. "Nanti kita cuma akan baca buku komik silat saja," katanya berkelakar. G. Sugiharto Tapi Gregorius Sugiharto, ketua fraksi Karya Pembangunan di DPR berpendapat lain. "Ini suatu cara yang paling baik," katanya. "Asal dilakukan sementara, sampai wartawan bisa menahan diri." Bagaimana tentang nasib para karyawan dan wartawan yang lebih 1000 orang dalam koran-koran yang kena berangus? Jawab Sugiharto: "Mana yang lebih penting: rakyat 120 juta atau 1000 orang. Tentu yang 120 juta, dong." Sampai kapan? Inilah pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang. Brigjen Daryono, Kepala Puspen Hankam berkata pada Yusril Jalinus dari TEMPO, bahwa "larangan itu tak ada batas waktunya." Tapi menurut dia, memang ada beberapa pertimbangan--misalnya pertimbangan sampai berapa lama suatu harian itu bisa bertahan secara ekonomis tanpa boleh terbit. Adakah larangan itu akan berumur seminggu? "Belum tentu," jawab Daryono. Bisa dimengerti kalau orang seperti Ketua Pelaksana PWI Harmoko jadi pusing dibuatnya. Selain salah satu korannya kena tutup, telepon baginya berdering dari segala penjuru cabang PWI. Maka setelah melakukan rapat pleno pengurus pusat, PWI Pusat keluar denganpernyataan yang memprihatinkan pelarangan terbit sejumlah suratkabar. Kepada pemerintah PWI Pusat "mendesak agar segera mencabut pelarangan terbit itu." Kaskopkamtib Sudomo terpaksa tak menemui para pengurus PWI Pusat Senin pagi, karena harus bertemu dengan para Rektor di Departemen P & K. Tapi lewat Brigjen Daryono ia menyatakan telah menerima baik pemyataan PWI itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus