Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANGNYA tinggi, tegap, murah senyum, dan selalu berpakaian jas
necis. Tidak urakan seperti pendahulunya, Jan Pieter Pronk yang
15 tahun lebih muda. Dan memang, Jan de Koning, 52 tahun,
bukanlah tukang gebrak seperti Pronk yang berhaluan sosias.
Mungkin itu sebabnya, hanya segelintir wartawan datang
menyambutnya di bandar udara Halim Perdanakusumah, Jakarta,
Senin lalu. Namun dalam posisi sebagai Menteri Kerjasama
Pembangunan Kerajaan Belanda merangkap Ketua IGGI, de Koning toh
orang penting juga bagi pemerintah RI. Makanya Menko Ekuin Prof
Widjojo Nitisastro hadir juga di VIP Room Halinn.
Nyaris empat bulan memangku jabatannya yang baru, dan sekali
memimpin sidang IGGI, de Koning memang tak melihat banyak
perbedaan antara kebijaksanaan bantuan ekonomi pemerintahnya
dengan pendahulunya, Pronk. Perbedaan yang pokok "cuma satu",
katanya kepada pers di airport, yakni, "Pemerintah Belanda
sekarang lebih menekankan adanya hubungan yang khusus antara
Indonesia dan Belanda."
Tapi nampaknya besar juga perbedaannya dari pada Pronk yang
lebih 'politis'. Berbeda dengan Pronk dulu yang pernah mengancam
akan memboikot produksi kapal-kapal fregat TNI/AL bila Indonesia
tak segera menarik pasukannya dari Timor Timur, de Koning
sekarang berpendapat bahwa "kita harus sangat berhati-hati untuk
tidak mencampuradukkan soal-soal politik dengan bantuan
ekonomi."
Pronk dulu, hanya tiga minggu setelah jadi Menteri, mengusulkan
bantuan ekstra untuk daerah Maluku. Alasannya, sama saja seperti
dalam kasus Suriname, dengan lebih memacu pembangunan di Maluku
maka sebagian dari masalah minoritas Maluku di Belanda pun dapat
diatasi.
Usul Pronk itu baru beberapa tahun kemudian diterima oleh
pemerintahnya -- setelah aksi-aksi teroris 'RMS' membuka mata
Den Haag bahwa repatriasi orang-orang Maluku Selatan itu mungkin
dapat merupakan semacam 'klep pengaman' bagi konflik-konflik
Maluku Belanda di sana. Namun Jakarta tak serta merta setuju.
Sebab apa alasannya pembangunan di Maluku harus lebih diutamakan
ketimbang daerah-daerah lain di luar Jawa.
Baru tahun lalu, setelah Pronk hampir meletakkan jabatan,
pemerintah Indonesia mengizinkan alokasi bantuan Belanda untuk
sentral-sentral listrik mini di Ambon, Ternate, Tulehu, Saparua
dan Kairatu, yang semuanya terletak di Maluku. Namun, mungkin
sebagai imbangan, juga di Aceh akan dibangun proyek listrik
dengan bantuan Belanda. Tahun.ini, bantuan Belanda buat daerah
Maluku dalam kerangka IGGI ditambah lagi dengan pengiriman
tenaga ahli Belanda untuk diperbantukan pada Bappeda Maluku.
Nilai uangnya, 2 juta gulden. Di samping itu, di luar kerangka
IGGI, Belanda masih akan membangun instalasi air minum bagi kota
Ambon.
De Koning, tampaknya kurang senang dengan politik anak emas
semacam itu. Katanya kepada George Y. Adicondro dari TEMPO:
"Bantuan khusus untuk Maluku yang dikaitkan dengan program
repatriasl, memang merupakan salah satu cara penyelesaian
masalah RMS di Belanda. Tapi kita harus ingat, bahwa yang mau
kita bantu adalah keseluruhan Indonesia. Bukan cuma Maluku."
Kendati demikian, apa yang sudah diputuskan tetap akan dia
jalankan.
Sikap pragmatis itu dia tunjukkan pula dalam soal ancar-ancar
25% dari seluruh bantuan pemerintah Belanda harus dialirkan ke
program-program sosial. "Pembangunan program sosial makan waktu
bertahun-tahun," kata de Koning.
Namun menurut sumber diplomatik Belanda di Jalan Kebon Sirih,
Jakarta, ancang-ancang yang ditentukan Pronk itu "praktis sudah
tercapai." Hanya saja, "25% itu bukan angka mati, jadi bisa saja
diubah-ubah." Tambah besar atau tambah kecil? Kembali lagi
Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda itu menjawab dengan
senyumnya yang khas.
Terakhir, de Koning ada menyinggung tentang bantuan pemerintah
Belanda yang disalurkan lewat lembaga-lembaga swasta. Seperti
diketahui, di Belanda ada saluran ICCO untuk proyek-proyek
sosial yang ditangani gereja-gereja Protestan di Indonesia,
CEBEMO yang melayani kegiatan lembaga-lembaga non-gereja.
Termasuk dalam kategori terakhir adalah pesantren-pesantren,
lembaga-lembaga sosial Islam, Hindu, dan yang tak berbendera
agama sama sekali.
Ketua IGGI yang pernah juga jadi pengurus ICCO maupun NOVIB,
sangat memuji peranan lembaga-lembaga non-pemerintah itu.
"Seringkali lembaga-lembaga swasta itu lebih dekat dengan
rakyat, sehingga cocok sekali untuk menyalurkan bantuan untuk
program-program kesejahreraan masyarakat," kata de Koning.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa peranan ketiga penyalur
bantuan swasta itu masih kecil sekali.
Apa yang akan dilakukannya dalam perjalanan dinas kali ini?
Sebagai 'orang baru', de Koning harus berkenalan dengan 13
menteri, meninjau proyek bantuan pemerintah Belanda maupun
organisasi swastanya di Bandung (Laboratorium ITB), Sukabumi
(proyek-proyek teknologi madya PTP-ITB), Cisarua (kursus
pertanian tuna-netra Wiyataguna), Gambung di selatan Bandung
(perkebunan dan balai penyelidikan teh), proyek transmigrasi dan
irigasi bantuan Belanda, AS dan Bank Dunia di Kabupaten Palopo,
Sul-Sel, serta STM Kriten dan Sekolah Pertanian Santo
Paulus-dua-duanya di Tana Toraja, Sul-Sel. Sungguh satu turne
panjang bagi de Koning.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo