Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tarik-Ulur Konsistensi KPU Soal Kuota Perempuan

DPR minta KPU konsisten ihwal Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang kuota perempuan. Angka pembulatan menjadi perdebatan.

18 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR meminta KPU tetap melaksanakan Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur keterwakilan perempuan.

  • Koalisi Perempuan berpandangan bahwa regulasi tersebut berpotensi merugikan hak politik perempuan.

  • Rumus matematika soal pembulatan bisa ke atas atau ke bawah, yang disebut pembulatan terdekat.

JAKARTA – Komisi II bidang pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap melaksanakan Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur keterwakilan perempuan. Komisi II DPR menyebutkan KPU tak perlu mengubah isi pasal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“KPU agar konsisten melaksanakan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023,” ujar Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, dalam rapat dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks DPR, Jakarta, pada Rabu, 17 Mei 2023. Doli berpendapat peraturan KPU tidak menimbulkan kekhawatiran. Hal itu, kata dia, terbukti dengan sejumlah partai politik yang telah memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan.

Baca: Regulasi Tak Berperspektif Gender

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan ini bermula dari Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 8 ayat 2 regulasi tersebut menyebutkan ihwal penghitungan afirmasi kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon. Dalam regulasi soal kuota perempuan itu, KPU membuat aturan, apabila penghitungan bakal calon di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, diatur jika ada dua desimal di belakang koma kurang dari 50, pembulatannya ke bawah. Jika dua desimal di belakang koma lebih dari 50, pembulatannya ke atas.

Sejumlah kader perempuan dari salah satu partai menyerahkan berkas pendaftaran calon anggota DPRD Kalimantan Tengah di kantor Komisi Pemilihan Umum, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 11 Mei 2023. ANTARA/Makna Zaezar

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan memprotes aturan tersebut dan mengadu ke Bawaslu pada 8 Mei lalu. Koalisi menilai aturan matematis Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 melanggar Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurut Koalisi, dalam regulasi sebelumnya, berapa pun angka desimal di belakang koma, pembulatannya ke atas.

Koalisi berpandangan regulasi tersebut berpotensi merugikan hak politik perempuan. Koalisi mencontohkan, di daerah pemilihan yang tersedia empat kursi, partai berpotensi tidak bakal bisa memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Sebab, 30 persen dari alokasi empat kursi di daerah pemilihan adalah 1,2. Angka tersebut, berdasarkan regulasi baru, jika dibulatkan, membuat perempuan hanya bisa mendapatkan satu kursi. Sedangkan jika dibulatkan berdasarkan regulasi sebelumnya, perempuan memperoleh dua kursi.

KPU menggelar rapat tripartit dengan Bawaslu dan DKPP pada 9 Mei lalu. Setelah rapat itu, penyelenggara pemilu menyatakan akan merevisi dua pasal dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, khususnya afirmasi penghitungan kuota perempuan.

Baca: KPU Dinilai Abaikan Keterwakilan Perempuan

Doli menilai peraturan KPU tersebut tidak perlu diubah. Dia mengatakan pasal-pasal dalam PKPU itu telah sesuai dengan Undang-Undang Pemilu. Dia menjelaskan, hitungan di Pasal 8 Peraturan KPU tidak menyebabkan kuota perempuan yang didaftarkan pada pemilu mendatang berkurang.

Dia mengatakan, berdasarkan data pendaftaran bakal calon anggota legislatif ke KPU, kuota perempuan yang didaftarkan mencapai 37,6 persen. “Peraturan tak perlu ada perubahan. Tetap konsisten karena tetap relevan dengan Pasal 245 UU Pemilu,” ujar politikus Golkar itu. “Karena terbukti tidak ada satu pun partai yang kurang dari 30 persen kuota perempuannya.”

Doli menegaskan, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tidak menimbulkan permasalahan seperti yang dikhawatirkan Koalisi. Menurut dia, semua partai telah memahami afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. “Regulasi ini sudah membangkitkan kesadaran 30 persen itu,” ujarnya. 

Rumus Matematis dan Rumus Politis 

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Yanuar Prihatin, mengatakan fraksinya juga meminta KPU konsisten ihwal PKPU Nomor 10 Tahun 2023. Menurut dia, mesti ada dua substansi yang harus disamakan persepsinya, yaitu soal paling sedikit dan 30 persen. Makna paling sedikit, kata dia, diartikan oleh penyelenggara pemilu sebagai pembulatan ke atas.

Padahal, menurut Yanuar, pembulatan dalam rumus matematika sejatinya bisa ke atas atau ke bawah, yang disebut pembulatan terdekat. Dia menjelaskan, pembulatan terdekat adalah rumus akademik. Tapi, jika hanya memaknai dengan pembulatan ke atas, rumus itu bakal menjadi rumus politis. Menurut Yanuar, dua alternatif yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 peraturan itu benar adanya. “Hal yang keliru adalah menganggap pembulatan ke atas adalah yang paling benar,” ujarnya.

Hal yang harus diingat, kata dia, angka 30 persen itu merupakan pembagi dan bukan ukuran final. Karena berfungsi sebagai pembagi, menurut Yanuar, finalnya adalah angka hasil pembagian tersebut. Misalnya, dalam satu daerah pemilihan tersedia tujuh kursi. Maka, angka final dua atau tiga calon legislator bergantung pada cara menghitungnya. “Jadi, PKB berpendapat peraturan KPU yang sudah ada tetap dipertahankan dan tidak perlu diubah.”

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustofa, juga mengatakan tidak perlu ada revisi peraturan KPU. Sebab, selama tiga kali pemilu, partai politik menerapkan regulasi afirmasi tersebut. “Pemilu lalu, kami mendaftarkan 33 persen kuota perempuan dan NasDem meloloskan 32 persen perempuan ke parlemen,” ucapnya.

Seorang kader perempuan dari salah satu partai melakukan registrasi saat menyerahkan berkas pendaftaran di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh, Banda Aceh, Aceh, 4 Mei 2023. ANTARA/Irwansyah Putra

Belum ada konfirmasi dan tanggapan dari KPU perihal afirmasi penghitungan dalam peraturan KPU itu. Ketua KPU Hasyim Asyari dan anggotanya, Idham Holik, juga tidak merespons saat dimintai konfirmasi perihal penolakan DPR terhadap rencana KPU merevisi peraturan tersebut.

Adapun Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan usulan revisi peraturan KPU bermula dari tuntutan Koalisi Keterwakilan Perempuan. Menurut dia, Koalisi mendesak Bawaslu menerbitkan rekomendasi agar KPU merevisi regulasi itu. “Kami berkesimpulan segera digelar forum tripartit,” ujarnya. “Kami juga mendorong KPU bersikap aspiratif.”

Konsultasi DPR-KPU Tidak Bersifat Mengikat 

Dalam kesempatan terpisah, staf pengajar hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan KPU, Bawaslu, dan DKPP secara terbuka menyampaikan komitmennya untuk merevisi Pasal 8 ayat 2 huruf a Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.

Titi memahami, sebelum membentuk peraturan atau merevisi regulasi, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Meski begitu, kata Titi, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 menyatakan keputusan dari konsultasi tersebut tidak bersifat mengikat KPU. “Jadi, bisa saja KPU punya pandangan yang berbeda dengan fraksi-fraksi di DPR,” ujarnya.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, apabila keputusan dalam konsultasi bersifat mengikat, hal itu bisa membawa implikasi teoretis maupun praktik. Artinya, bisa tereduksinya kemandirian KPU sekaligus tidak memberi kepastian hukum. Karena itu, pada saat-saat inilah kemandirian dan kredibilitas KPU bakal diuji. “Apakah KPU tetap berpegangan pada komitmen publiknya?” ujarnya. “Karena KPU menyadari bahwa pengaturan yang mereka buat bertentangan dengan UU Pemilu dan Konstitusi.”

Dengan adanya masalah ini, menurut dia, KPU akan dipandang sebagai corong partai dan tidak mampu bekerja di atas nilai-nilai konstitusi yang telah menjamin kemandirian mereka. KPU juga bakal dianggap tidak memahami praktik afirmatif bagi keterwakilan perempuan. Jika KPU tunduk pada permintaan DPR, kata dia, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi publik karena KPU tersandera dan mau menundukkan diri kepada kepentingan partisan peserta pemilu.

Titi meminta KPU berani bersikap tegas dan menunjukkan kemandiriannya kepada publik. Apalagi sudah ada jaminan konstitusional bagi KPU untuk bersikap dan memutus sesuai dengan keyakinannya sebagaimana diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus