Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan menyatakan lembaganya tak mengurus permasalahan biaya kenaikan atau turunnya uang kuliah tunggal (UKT). Namun, dalam lingkup yang lebih besar mereka menyoroti pos anggaran pendidikan 2024 di kementerian dan lembaga yang senilai Rp 32,859 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pahala mengatakan KPK telah mengundang 14 kementerian dan lembaga yang memiliki perguruan tinggi atau sekolah kedinasan. "Baru Rabu lalu, kami undang nih 14 kementerian dan lembaga yang kami lihat angkanya besar," kata dia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Senin 10 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK menilai ada kesenjangan antara anggaran yang diberikan kepada mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) dengan anggaran sekolah kedinasan. Saat dicek, anggaran yang dialokasikan untuk mahasiswa PTN hanya sekitar Rp 7 triliun. Sementara anggaran untuk perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh kementerian dan lembaga sebesar Rp 32,859 triliun.
Pada tahun 2024, pemerintah menganggarkan 20 persen atau Rp 660,8 triliun untuk pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau ABPN. Anggaran itu terbagi atas alokasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp237,3 triliun, transfer ke daerah Rp346,6 triliun, dan pembiayaan investasi Rp77,0 triliun.
Menurut dia, seharusnya untuk menyelesaikan pendidikan berkualitas setiap mahasiswa diberi poin 10. Selain itu, negara wajib mensubsidi 7, tapi yang terealisasi hanya 3. Maka sisanya, 4 poin yang tak disubsidi itu dibebankan ke orang tua.
Akibat beban itu, muncul jalur yang namanya uang kuliah tunggal atau UKT. “Itulah jalur mandiri, itulah bisnis PTN. Kami agak keberatan karena kami bilang begini, 'loh para rektor itu kan profesor, itu akademisi. Jangan suruh cari duit donk'” ucap Pahala.
Pahala mengatakan kejanggalan itu juga terkonfirmasi oleh temuan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Bappenas. Di mana, mereka menemukan total dana sumbangan yang diberikan ke mahasiswa dalam setahun hanya sekitar Rp 3 juta per mahasiswa.
Berbeda jauh dengan bantuan untuk sekolah kedinasan yang bisa mencapai Rp 16-20 juta. Maka wajar, jika terjadi keributan soal UKT. “Ya kan, enggak fair banget. Yang di sini (PTN) Rp 3 juta, UKT naik, sudah demo-demo, ini Rp 20 juta per semester, itu lulusnya enggak jadi PNS lagi,” ucap Pahala.
Dalam temuannya, KPK mengungkap ada banyak mahasiswa perguruan tinggi yang dikelola oleh kementerian dan lembaga, setelah lulus dia tidak menjadi PNS. Padahal pemerintah sudah menganggarkan kebutuhan untuk tempat tinggal (boarding) penuh, seragam, dan sebagainya.
“Lah ngapain dia selenggarain? Kalau bukan PNS sih biarin aja, diswastain. Nah itu kebanyakan begitu,” lanjut Pahala.
Temuan lain, ada lembaga dan kementerian yang membuat sekolah SMK dan dimasukkan ke perguruan tinggi. Lalu, ada juga kegiatan diklat internal tapi dananya dari perguruan tinggi. “Jadi pendidikan tinggi ini, yang di kementerian lembaga ternyata menyimpan banyak masalah,” kata Pahala.
Jika memang begitu, Pahala mengimbau seharusnya kementerian atau lembaga memastikan lulusnya memang menjadi PNS dan memiliki ilmu yang spesifik. Seharusnya, kata dia, jika dana itu bisa dikelola dengan baik oleh Dikti, maka bisa menambah bantuan operasional pendidikan tinggi negeri (BOPTN).
“Kami bukan urus persoalan UKT naik atau enggak, pendidikan yang berkualitas itu 10. Kalau pemerintah sekarang cuman 3, naikkin. Bahwa nanti UKT ditambah jadi penuh, syukur. Tapi jangan mendorong komponen orang tua dan siswa ini untuk (membayar biaya) makin gede,” ucap Pahala.
Pilihan editor: Setkab Minta Tambah Anggaran Rp 164,3 M karena Pindah ke IKN