Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ulama dan khatib masuk hotel

Pekan orientasi para ulama & khatib mubaligh dari seluruh propinsi di indonesia diadakan di hotel hilton jakarta dengan penceramah kaskopkamtib sudomo dan beberapa menteri. (ag)

25 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOTEL Hilton yang megah bertingkat 14 di Senayan, Jakarta, agaknya banyak mendapat berkah. Selama seminggu penuh, di minggu II Desember ini, 80 kamar dari 296 kamar plus 29 lanaiznya, dihuni tak kurang dari 150 ulama dan khatib/muballigh dari 26 propinsi (propinsi termuda Timor Timur berhalangan datang tanpa kabar). Mereka berkumpul di sana untuk pekan orintasi Yang mengurus mereka ada 3 fihak: Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama dan Majlis Ulama Indonesia. Selain kamar-kamar dan banquet-hallnya dipenuhi gaung nama Tuhan, hiruk pikuk ulama dan khatib itu memasukkan uang ke kocek hotel. Kabarnya biaya Rp 21.000 all-in per kamar semalam, tapi demi promosi ada potongan 40%. Itu bukan soal. Atau juga bagaimana para ulama berumur antara 30 -an tahun ini "terpaksa" hidup bermewah-mewah. Meski beberapa di antara mereka ada juga yang merangkap sebagai pengusaha. "Ditempatkan di rumah-rumah, masjid-masjid, merepotkan dan tak praktis. Di hotel murahan, "aib bagi ulama. Sesekali tak apa di hotel mewah", gurau Hamka. Hingga banyak di antaranya yang kikuk menggunakan bak-mandi dan terpaksa panitia menyediakan gayung plastik. Dan sewaktu-waktu mesti beristigfar karena berpapasan bar-girl atau pelayan wanita cantik. Untung di sana tak ada kolam renang. Tapi yang jadi soal, bagaimana menghindarkan kesibukan itu agar tak cuma suatu kemubaziran. Bila cuma melihat para penceramahnya (Menteri Wijoyo Nitisastro, Amirmachmud, Sutami, Panggabean, Syarif Thayeb, Subroto, Thojib dan Menteri Mukti Ali lus Kas Kopkamtib Sudomo dan tentu pula Ketua Majlis Ulama Hamka), pekan kumpul di Hilton itu bukan suatu yang sia-sia. Apalagi menurut HMD Datuk Palimo Kayo, ulama dari Sumatera Barat dan tampaknya paling kritis menilai itu pekan, "pekan orintasi ini bagus", "Biaya, apa boleh buat. Manfaat yang bisa diambil lebih besar dari sekedar biaya yang keluar", ujar Buya Palimo Kayo. Dan KH Masyhur Azhari dari Sumatera Selatan, menyebut pekan orintasi itu sesuatu yang baru terjadi sepanjang sejarah Republik. Karena baru kali inilah terjadi pertemuan antara ulama dari segala penjuru tanah air dengan pemerintah. "Merupakan dawah tersendiri", ucap Tengku Abdullah Ujong Rimba dari Aceh. Tapi memang terlepas dari kerepotan mengumpulkan ulama/khatib itu ada terkesan kaitannya dengan Pemilu dan Golkarisasi. Ini sesungguhnya tak perlu, karena menurut seorang peserta dari Kalbar, 55% peserta adalah pimpinan/ calon Golkar di Pemilu plus sebagian lagi pegawai negeri, urgensinya cukup mendesak. Beberapa waktu sebelum pertemuan itu berlangsung misalnya, Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo mensi nyalir ada da'wah yang menghasut. Ketika TEMPO meminta pendapat drs. H. Kafrawi MA, Sekretaris Umum Majlis Ulama Indonesia Pusat mengakui, "ada satu dua orang khatib atau da'i (juru da'wah) yang dalam khutbah dan da'wahnya memang bernada keras". Tapi ia mengharap, "janganlah digeneralisir dengan ukuran satu dua orang itu". Tapi pernyataan itu sempat mencekam para ulama/khatib atau muballigh (juru da'wah). Lalu Mendagri Amirmachmud pernah melihat pula, "para khatib kurang mengemukakan keberhasilan pembangunan". Hal ini menurut Kafrawi, "mungkin istilah yang mereka pergunakan bersifat tak langsung". Sedang menurut Rahmatullah Siddiq, Ketua I MUI DKI, "bukan tak berarti tak mengemukakan, tapi mungkin kurang seimbang. Masalah keagamaan memang lebih banyak". Rupanya terdapat perbedaan pengertian dan kesalah-fahaman antara para ulama dan pemerintah dalam hal da'wah akan pembangunan. Hingga seperti dikemukakan baik oleh Mendagri Amirmachmud atau Menag Mukti Ali pada saat pembukaan tujuan pertemuan seminggu itu tak boleh tidak, "menciptakan kesatuan pengertian tentang pembangunan nasional". Yang diperinci oleh Menag Mukti Ali, "pertama memberi pengertian tentang pelbagai aspek pembangunan dan masalah-masalahnya yang akan dilakukan para pejabat di Pusat. Dan, menerima saran dan pendapat dari para ulama dan khatib seluruh Indonesia. Karena mereka adalah para pemimpin yang langsung memimpin masyarakat yang mengetahui masalah yang langsung dihadapi dan dirasakan masyarakat". Tak aneh kalau pekan tersebut berlangsung hangat, meski alat pendingin hawa terus berjalan dan hujan sesekali jatuh dari langit di luar hotel. Sebab seperti dilukiskan Palimo Kayo, "pendapat-pendapat yang muncul saling berbeda, yang dari atas dan dari bawah (ulama/khatib)". Tapi katanya selama masih bisa dipertemukan, merupakan satu kebahagiaan di negara demokrasi. "Dalam perbedaan pendapat bisa dicapai titik-titik persamaan", katanya. Saya Bisa Tidur Maka yang ditunggu-tunggu ialah ceramah Kas Kopkamtib Sudomo. Sebab selain para peserta pekan yang bergairah dan penuh rasa ingin tahu, Laksamana Sudomo sendiri amat bersemangat. Hingga waktu yang disediakan baginya, 2 jam dimulai tepat 11.00, mesti terlampaui sampai 14.15. "Yang dipersoalkan ada penda'wah yang menghasut, memfitnah dan menjelek-jelekkan orang lain/pemerintah. Bukan masalah da'wahnya", ujar Sudomo. "Jangan hanya menjelek-jelekkan saja, tapi perlu alternatif", katanya lagi seraya mengutip ayat Qur'an dalam bahasa Arab dalam hubungan fitnah memfitnah. Menurut Sudomo, sesuai peraturan, mengumpulkan orang lebih dari 5, memang masih diperlukan izin. Tapi pengajian tak memerlukan izin. "Bukan untuk mencurigai. Yang penting buat saya, ada komunikasi antara bapak-bapak ulama atau khatib dan pemerintah", ujar Sudomo lagi. Tapi bagaimana sebaiknya, Sudomo menyerahkannya kepada MUI dan Menteri Agama. Ia condong menganjurkan ulama/khatib menyampaikan kepada rekannya dari daerah supaya jangan menghasut. Hingga ia tak perlu bertindak. Dan bagaimana penda'wah yang baik pun, seperti ditanyakan seorang peserta, Sudomo cenderung,"bagaimana sebaiknya menurut Depag dan MUI. Kalau sudah baik, saya bisa tidur", ujarnya bergurau. Beres? "Buya baik sangka. Niat pak Domo baik. Tapi pelaksanaannya bagaimana?", tukas Dt. Palimo Kayo lagi. Menurut ketua MU Sumbar itu, "ucapan menghasut" mengingatkanya pada peraturan zaman Belanda yang dikenal 'bis' dan 'ter'nya, hingga sebaiknya tak perlu dikeluarkan". Lagi pula, katanya, "lain di Pusat, lain di daerah". Meski, "setelah orintasi mungkin ada perobahan". Karena dalam orintasi itu Sudomo mengungkapkan instruksi terbarunya (bernomor: 392,Kopkam/X/1976, 26 Oktober 1976) yang akan difoto-copy dan dibagikan kepada peserta, agar bisa dipergunakan seperlunya. Isinya tentang cara pelaksanaan izin yang cukup dari Polri (kordinasi dengan instansi lain oleh Polri), tak perlu pungutan, jangan birokratif dan supaya dibina kordinasi dan komunikasi yang baik antara ulama dan pemerintah. Ini tampaknya cukup melegakan. Tapi menurut Dt. Palimo Kayo, "masih perlu bimbingan langsung Pusat kepada daerah. Agar setiap instruksi pusat benar-benar dilaksanakan di daerah". Sebab, katanya, masih terjadi misalnya ucapan, "Gubernur berkuasa di Padang saya yang berkuasa di sini (di daerah wewenangnya)". Dalam bentuk lebih kecil pekan orintasi seperti ini akan diadakan pula di daerah-daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus