Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Upaya Dialog Redakan Penolakan Peraturan Menteri

Menteri Pendidikan mendekati berbagai kalangan untuk mensosialisasi peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Dialog diharapkan bisa meredam penolakan.

 

11 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mendekati berbagai kalangan untuk mensosialisasi peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

  • Penolak Peraturan Menteri menganggap terjadi kesalahan formal dan materiil dalam aturan tersebut.

  • Masyarakat sipil mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak awal sudah berusaha meredam penolakan berbagai pihak terhadap Peraturan Menteri Pendidikan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kelompok yang didekati oleh Kementerian Pendidikan di antaranya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Nizam, mengatakan pendekatan ini dilakukan untuk memberi penjelasan mengenai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Ia mengatakan, dialog dengan berbagai kalangan itu dipimpin oleh Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim.

Nizam mengatakan dirinya menemani Nadiem saat menemui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan Komnas Perempuan. “Kami sudah sosialisasikan kepada perwakilan organisasi tersebut dan organisasi-organisasi masyarakat lainnya,” kata Nizam, kemarin.

Dari Instagram Nadiem Makarim, mantan bos Gojek itu mengunggah pertemuannya dengan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, pekan lalu. Namun, dalam keterangan unggahannya, Nadiem tidak menjelaskan bahwa pertemuan itu juga menyinggung mengenai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021.

Saat bertemu dengan Said Aqil Siradj, Nadiem memberikan keterangan bahwa Kementerian Pendidikan sangat antusias menyambut kehadiran lima Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama (ITSNU) dan juga memberikan bantuan UKT serta KIP Kuliah Merdeka untuk mendukung mahasiswa agar tetap semangat belajar. “Saya yakin ikhtiar dan kolaborasi ini akan menciptakan generasi SDM unggul yang siap membangun Indonesia maju di masa mendatang,” demikian Nadiem menulis di akun Instagramnya.

Abdul Mu’ti. muhammadiyah.or.id

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan pertemuannya dengan Nadiem tidak membahas mengenai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tersebut. “Tidak (membahas Permendikbud). Kami membahas rencana revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,” katanya saat dihubungi Tempo, kemarin.

Peraturan Menteri Pendidikan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diteken Nadiem pada 3 September lalu ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kelompok yang mengkritik di antaranya legislator Partai Keadilan Sejahtera, pengurus Majelis Ulama Indonesia, dan pengurus Muhammadiyah.

Lewat keterangan tertulis, Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, mengatakan aturan tersebut bermasalah secara formal dan materiil. Masalah formal di antaranya karena aturan itu tidak memenuhi asas keterbukaan dalam pembentukannya. Lalu, masalah materiil terletak pada beberapa pasal. Misalnya, Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa”. Pasal ini dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan.

Kedua, perumusan norma kekerasan seksual dalam Pasal 5 ayat 2. Pasal ini memuat frasa “tanpa persetujuan korban” yang dianggap mendegradasi substansi kekerasan seksual. Frasa itu dinilai mengandung makna bahwa kekerasan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.

Selain keberadaan peraturan Menteri Pendidikan itu, masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi saat ini menjadi perbincangan setelah adanya pengakuan mahasiswi Universitas Riau yang menjadi korban pelecehan oleh dosen pembimbing sekaligus dekan di fakultasnya. Dugaan pelecehan seksual ini terjadi di lingkungan kampus Universitas Riau ketika mahasiswi itu menjalani bimbingan pada Oktober lalu. Sang mahasiswi mengaku dicium dan tangannya digenggam oleh dosen tersebut.

Rilis Komnas Perempuan pada Oktober 2020 menunjukkan terdapat 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Angka tersebut diyakini sebagai puncak gunung es karena pada umumnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan cenderung tidak dilaporkan.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, mengatakan perlu sosialisasi dan dialog untuk memperdalam bagian-bagian yang dipermasalahkan dalam peraturan menteri tersebut. Namun ia tidak setuju jika aturan ini dianggap sebagai upaya melegalkan zina, lantaran yang dibicarakan adalah unsur kekerasan.

Khotimun menilai ada kesalahpahaman dalam menangkap makna dari relasi kuasa dalam peraturan Menteri Pendidikan tersebut. Ia menambahkan, dalam hal kekerasan seksual, relasi kuasa adalah bila ada pihak melakukan kekerasan seksual terhadap pihak lain menggunakan otoritasnya atau kekuasaannya. Misalnya atas nilai kuliah, atas penilaian kinerja, senioritas, dan promosi jabatan, sehingga korban tak berdaya mengambil keputusan secara bebas.

“Kekerasan (seksual) menggunakan relasi kuasa memang banyak terjadi, faktanya sudah banyak,” kata Khotimun.

Khotimun mengimbuhkan, dari pengalaman LBH APIK, korban kekerasan seksual di perguruan tinggi sering kali memilih diam karena tidak tersedia saluran aduan di kampus. Jika mengadu, korban khawatir tidak mendapat respons positif, apalagi rentan mendapat stigma dan disudutkan. Karena itu, kata dia, memang perlu ada standar yang menjadi pedoman kampus dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual.

Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (Kompaks), Naila Rizqi Zakiah, mengatakan perdebatan soal peraturan Menteri Pendidikan ini mesti dihentikan lantaran perbincangannya mulai bergeser dari urusan mencegah kekerasan seksual menjadi masalah moralitas. “Lagi-lagi kepentingan korban terabaikan,” kata Naila.

Naila berpendapat aturan tersebut merupakan langkah maju dalam memberi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. “Ini bisa jadi dorongan bagi DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” katanya.

DIKO OKTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus