Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kebijakan Wisata Lebih Terbuka di Aceh

Aturan syariat di lokasi wisata tetap dilakukan, tapi anak-anak muda di Aceh semakin bersikap terbuka. Pembenahan infrastruktur mendesak dilakukan.

25 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dalam lima tahun terakhir, pemerintah Aceh gencar menggembar-gemborkan wisata halal demi mengincar 5 juta wisatawan domestik yang dikategorikan sebagai turis muslim.

  • Promosi wisata halal di Aceh belum mendongkrak secara signifikan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Tanah Rencong.

  • Belum ada qanun wisata halal yang mengatur jelas konsep yang ingin dikerjakan dan dicapai.

JAKARTA — Lili Adilla, 20 tahun, tak canggung berfoto dengan latar belakang deburan ombak di Pantai Lampuuk, Aceh Besar. Perempuan asal Banda Aceh ini menjadi satu dari sebagian kecil pengunjung pantai yang memilih tak mengenakan jilbab saat pantai tengah ramai pada akhir pekan lalu. “Biasa saja. Ini kan sopan,” ujar Lili kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di belakang Lili, seorang perempuan tampak berenang dengan mengenakan kerudung, baju lengan panjang yang menutupi lutut, dan celana panjang. Pemandangan kontras seperti itu kini semakin awam di lokasi-lokasi wisata pantai di Aceh. Meski ada aturan untuk menegakkan syariat di lokasi wisata, anak-anak muda juga semakin bersikap terbuka. Tidak ada yang menegur mereka saat memilih tak mengenakan kerudung di Pantai Lampuuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah Aceh gencar menggembar-gemborkan wisata halal demi mengincar 5 juta wisatawan domestik yang dikategorikan sebagai turis muslim. Para turis ini memilih tujuan wisata yang banyak menampilkan situs religius, seperti masjid atau makam tokoh Islam. Selain itu, para turis bisa memilih tujuan wisata yang ramah kebutuhan muslim, seperti makanan halal dan akses kebutuhan ibadah.

Belum ada aturan dari pemerintah tentang wisata halal. Meski begitu, di setiap lokasi wisata, pemerintah kabupaten di Aceh menerjemahkan syariat Islam dengan menerapkan aturan bagi pengunjung. Di gerbang masuk Pantai Lampuuk, misalnya, pengunjung diminta “menjunjung tinggi syariat Islam”. Ada pula peringatan bahwa, pada hari Jumat, pantai hanya dibuka setelah pukul 14.00 WIB atau setelah salat Jumat.

Ketentuan yang sama ditetapkan pengelola Pantai Babah Kuala di Aceh Besar. Pengunjung diminta berpakaian sopan. Aturan lainnya adalah pantai ditutup selama masa Idul Fitri dan Idul Adha, saat Maulid Nabi Muhammad, dan pada hari peringatan tsunami Aceh.

Namun promosi wisata halal ini belum mendongkrak secara signifikan jumlah wisatawan asing ke Aceh. Pada 2010, ada 10 ribu wisatawan asing masuk ke Aceh. Sebanyak 26 ribu orang pada 2014. Empat tahun kemudian, angka itu menjadi 33 ribu wisatawan asing.

Wisatawan mengunjungi Pantai Rubiah di Sabang, Aceh, 9 Oktober 2021. ANTARA/Muhammad Adimaja

Provinsi yang dijuluki Serambi Mekah ini kalah bersaing dengan Sumatera Barat yang mendapat kunjungan wisatawan asing lebih banyak. Pada 2010, jumlah wisatawan asing ke Padang sebanyak 30 ribu orang. Jumlahnya meningkat hingga 56 ribu orang pada 2014. Pada 2018, Sumatera Barat menerima 54 ribu wisatawan asing.

Menanggapi hal tersebut, Rahmat Saleh, peneliti sosial pariwisata dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan bahwa masih ada salah kaprah pengertian wisata halal yang diterapkan pemerintah. “Masih ada kecenderungan untuk mengurus yang kecil-kecil dibanding menyusun grand design,” kata dia Di Aceh, misalnya, belum ada qanun wisata halal yang mengatur jelas konsep yang ingin dikerjakan dan dicapai. Selain itu, kata Rahmat, infrastruktur di lokasi wisata saja belum terpenuhi, apalagi infrastruktur halal. Jalan masuk Pantai Lampuuk dan Pantai Babah Kuala, misalnya, masih berupa jalan tanah.

Pandemi berdampak bagi pariwisata di Aceh. Turis mancanegara terakhir melancong ke Aceh pada Maret tahun lalu.

Padahal, kata Rahmat, infrastruktur umum tak kalah penting dengan infrastruktur bagi turis muslim. Selain itu, perlu ada sertifikasi produk halal dan hotel untuk menjamin wisatawan asing. Apalagi mayoritas turis asing di Aceh pada masa pra-pandemi berasal dari Malaysia. Rahmat menilai infrastruktur dan promosi yang tak gencar ini yang menyebabkan pariwisata Aceh tak sepopuler pariwisata di Sumatera Barat.

Adapun di Arab Saudi, sejumlah aturan berpakaian juga longgar. Para pengunjung pantai Pure Beach di King Abdullah Economic City, misalnya, sudah diizinkan mengenakan bikini dan berpesta. Dulu hanya wisatawan asing yang diizinkan melakukan hal-hal ini, tapi belakangan warga lokal juga dibolehkan. Pelonggaran kebijakan ini menjadi bagian dari reformasi besar Arab Saudi sejak Mohammed bin Salman memerintah. Perempuan juga sudah diizinkan menyetir dan berbaur dengan lawan jenis.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Jamaluddin, mengatakan Pemerintah Provinsi Aceh tetap serius menerapkan visi wisata di setiap lokasi wisata yang tengah dikembangkan pemerintah. Menurut dia, setiap tahun, Aceh menganggarkan Rp 13 miliar untuk pengembangan pariwisata. “Wisata halal itu memang sudah rohnya Aceh,” kata dia.

INDRI MAULIDAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus