Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

WALHI Anggap Jokowi Cocok Dipanggil Pak Lurah

Zenzi menilai Jokowi gagal mewujudkan Nawacita yang digadang-gadang saat Pilpres 2014.

19 Agustus 2023 | 10.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai sebutan Pak Lurah cocok untuk Presiden Jokowi. Sikap politik ini dilakukan sehubungan dengan pidato kenegaraan presiden di Sidang Tahunan MPR pada Rabu, 16 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya melihat apa yang disinggung oleh Jokowi dalam pidatonya kemarin soal sebutan Pak Lurah, kayaknya memang cocok," kata Direktur Walhi Zenzi Suhadi, Jumat, 18 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurutnya, sebutan Pak Lurah itu merepresentasikan bagaimana para pemegang uang, investor, dan oligarki menempatkan presiden dalam 9 tahun terakhir ini. “Orang yang mengurusi administrasi kepentingan orang yang melakukan investasi di suatu tempat, bukan orang yang bertanggung jawab memenuhi janjinya kepada rakyat yang memberikan mandat kepada dia,” ujar Zenzi.

Zenzi menilai Jokowi gagal mewujudkan Nawacita yang digadang-gadang saat Pilpres 2014. Menurutnya, dari sembilan janji dalam Nawacita yang ditawarkan oleh Jokowi, tujuhnya dianggap gagal.

Nawacita adalah sembilan konsep yang diusung Jokowi dan JK sebagai cita-cita bangsa saat Pilpres 2014. “Jokowi cuma punya waktu satu tahun lagi untuk menunaikan janjinya kepada 80 juta rakyat Indonesia yang sudah memberikan mandat kepada Jokowi,” ujar Zenzi.

Dia mengungkap sejumlah kegagalan pemenuhan janji tersebut. Nawacita yang pertama, kata dia, adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Konsentrasi keduanya itu memperkuat KPK. "Dalam tiga tahun terakhir ini kita saksikan secara nyata, secara terstruktur dan sistematis, pemerintahan Jokowi itu bekerja memperlemah KPK,” ujarnya.

Nawacita kedua adalah membangun Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. “Konsentrasi pemerintahan Jokowi hanya kepada penyaluran dana desa, tetapi proses desentralisasi terhadap kekuasaan dan sumber daya negara justru tidak dilakukan,” katanya.

Ia menjelaskan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, desentralisasi kekuasaan dan pendelegasian kekuasaan presiden kepada pemerintah daerah diputar balik. “Kewenangan-kewenangan pemerintah daerah kembali ditarik kepada pemerintah pusat.”

Nawacita ketiga, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Dalam sembilan tahun pemerintahan Jokowi, kata Zenzi, sendi-sendi dan fondasi kebhinekaan, termasuk keragaman suku dan adat di Indonesia itu dihancurkan. Karena peradaban masyarakat adat di Indonesia itu dia melekat pada ekosistem alamnya.

"Justru di pemerintahan Jokowi ini, wilayah timur Indonesia, Papua, Sulawesi, termasuk Kalimantan itu dieksploitasi habis-habisan,” ujarnya. Ia menilai bahwa upaya kebhinekaan tidak dapat terjadi jika keragaman ekosistem dibuat seragam dengan adanya monokultur dan tambang.

Salah satu Nawacita yang paling digarisbawahi oleh Zenzi adalah Nawacita yang ketujuh, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

“Justru dalam periode pemerintahan Jokowi yang kedua, Indonesia sebagai bangsa agraris itu juga dihancurkan dengan orientasi pada impor,” ucapnya.

ALIFYA SALSABILA NOVANTI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus