Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengatakan sanksi pidana dan denda yang bisa dikenakan kepada mereka menolak vaksin Covid-19 bersifat ultimum remedium. Sanksi itu, kata dia, merupakan upaya paling akhir dalam menegakkan hukum pidana di antaranya soal vaksinasi, bila pranata hukum lainnya sudah tidak bisa berfungsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di situ berfungsi sebagai senjata pamungkas atau dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai ultimum remedium,” kata Eddy dalam diskusi daring Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada, Sabtu, 16 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy mengatakan meski bisa dipidana, namun pemerintah sama sekali tidak berniat untuk memenjarakan orang yang tidak mau divaksin. Dia mengatakan terlepas ada tidaknya sanksi, tujuan vaksinasi Covid-19 adalah melindungi masyarakat secara keseluruhan.
Dia bilang bila ada masyarakat yang tidak mau divaksin, maka harus dilakukan secara persuasif. Dia mengatakan masyarakat harus diyakinkan bahwa vaksinasi penting untuk diri sendiri dan orang lain. “Karena harus diingat, ketika setiap orang melaksanakan haknya di situ timbul kewajiban untuk mengehormati hak orang lain,” kata dia.
Eddy mencontohkan rencana vaksinasi di Australia. Di negeri kanguru itu tidak mewajibkan masyarakatnya untuk menjalani vaksin Covid-19. Akan tetapi, pemerintah Australia membatasi sejumlah hak untuk orang yang tolak Vaksin Covid-19. Beberapa di antaranya, mereka dibatasi untuk naik pesawat dan transportasi publik lainnya atau bahkan dibatasi berada di tempat publik lainnya.
“Jadi tetap ada pembatasan, karena ini dalam rangka menghormati orang lain yang berhak mendapatkan perlindungan kesehatan,” kata dia.
Baca: DPR Tidak Terima Vaksin Covid-19 Perdana, Komisi IX: Padahal Representasi Rakyat