Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mengkaji ulang target pengosongan Pulau Rempang pada 28 September 2023.
Polisi memeriksa warga yang menyebar ajakan menolak relokasi.
Pemerintah tengah menimbang untuk mengubah sejumlah rencana proyek.
BATAM - Sejumlah penduduk Pulau Rempang tetap menolak direlokasi. Mereka bergeming meski pemerintah berkali-kali menawarkan ganti rugi dalam jumlah yang cukup besar. "Ini bukan soal materi,” kata Zubri, warga Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, kemarin. “Ini muruah Melayu, jadi kami tetap bertahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Zubri, tanah yang ditempatinya saat ini merupakan bagian dari hidupnya. Ia lahir dan besar di sana. Zubri bertekad mempertahankan tempat itu. Apalagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah merekomendasikan pemerintah agar memindahkan lokasi proyek. Dengan demikian, proyek bisa dilanjutkan tanpa menggusur perkampungan penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang warga Pasir Panjang, Rempang Cate, Kecamatan Galang, mengatakan warga yang menolak relokasi adalah penduduk asli. Mereka menempati Pulau Rempang secara turun-temurun. Adapun warga yang menerima relokasi jumlahnya tidak lebih dari 30 keluarga. "Mereka pendatang," ujarnya.
Baca:
Terusir dari Tanah Sendiri
Temuan Maladministrasi di Rempang
Demi Investasi, Warga Rempang Direpresi
Pemerintah berencana menjadikan Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata yang dinamakan Rempang Eco-City. Pemerintah telah menunjuk BP Batam untuk menjalankan rencana tersebut. Proyek ini ditargetkan mendapat investasi sebesar Rp 381 triliun pada 2080.
Lokasi tempat relokasi warga Pulau Rempang yang terdampak pembangunan Rempang Eco-city, 21 September 2023. Tempo/Yogi Eka Sahputra
Di lahan yang akan digunakan untuk Rempang Eco-City, terdapat 16 kampung tua. Adapun, pada tahap pertama, pemerintah akan membebaskan lahan seluas 2.000 hektare yang meliputi Kampung Sembulang, Sembulang Hulu, Pasir Panjang, dan Blongkeng. Namun pembebasan lahan terhambat karena banyak warga yang menolak. Aparat hukum yang sedang mengawal proses pengukuran lahan dan pemasangan patok dihadang warga sehingga terjadi bentrokan pada 7 September lalu. Kericuhan serupa terulang empat hari berikutnya.
Pada Ahad lalu, seluruh penduduk RW 03, Kampung Pasir Panjang, diundang untuk menemui Wali Kota Batam Muhammad Rudi di Asrama Haji Batam Centre. Namun mereka yang menolak relokasi enggan memenuhi undangan tersebut. "Kami tak ada yang berangkat," kata seorang warga.
Alih-alih memenuhi undangan itu, warga justru berkumpul di Posko Bantuan Hukum yang didirikan oleh Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang. Tim ini beranggotakan berbagai lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi. Hingga kemarin, posko itu terus didatangi warga. Mereka meminta penjelasan tentang hak hukum mereka atas tanah yang ditempati,” kata Direktur LBH Mawar Saron Batam, Mangara Sijabat.
Mangara mengatakan, secara hukum, masyarakat berhak menolak relokasi. Masyarakat juga bisa meminta dilibatkan dalam mengambil keputusan atas berbagai kebijakan di Pulau Rempang. "Karena itu menyangkut kehidupan mereka," ujarnya.
BP Batam mengklaim relokasi itu sebenarnya untuk kepentingan penduduk. Sebab, industri yang bakal dibangun di tempat itu menggunakan bahan baku pasir kuarsa dan silika. Bahan baku ini berpotensi menimbulkan polusi sehingga mengganggu kesehatan masyarakat.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan investasi yang masuk ke Rempang bakal membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Politikus Partai Golkar itu juga menyebutkan BP Batam menyiapkan dana Rp 1,2 juta per bulan bagi warga selama masa transisi relokasi hingga mendapat hunian. Dia berjanji proyek Rempang Eco-City tidak akan mengganggu makam-makam leluhur masyarakat.
Pemerintah sebelumnya menargetkan, untuk tahap pertama, pengosongan lahan selesai pada 28 September 2023. Namun Bahlil mengatakan bakal mengkaji ulang penentuan target pengosongan lahan. Pemerintah juga membatalkan rencana relokasi ke Pulau Galang. Relokasi akhirnya digeser ke Tanjung Banon yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari lokasi semula.
Di Tanjung Banon, pemerintah bakal memberi kompensasi berupa tanah seluas 500 meter persegi dan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta. Tak cuma itu, pemerintah berjanji memberikan sertifikat hak milik.
"Bukan HGB (hak guna bangunan), tapi hak milik. Itu kebijakan langsung dari Pak Presiden," kata dia setelah mengikuti rapat terbatas dengan Presiden di Istana, Senin kemarin.
Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan sebanyak 291 keluarga warga Rempang sudah bersedia pindah atau direlokasi. Warga Rempang yang mendaftar tersebut merupakan warga dari seluruh kampung tua. "Jumlahnya sebanyak 16 kampung tua dengan jumlah keluarga sekitar 2.700," kata Rudi, kemarin.
Sampai saat ini pihaknya mencatat ada 427 keluarga berkonsultasi ke BP Batam perihal pergeseran warga tersebut. Selain itu, dari 291 warga yang mendaftar, pada Senin, 25 September lalu, sudah ada tiga keluarga pindah ke hunian sementara yang disediakan BP Batam.
Kepada tiga keluarga tersebut, BP Batam juga menyerahkan uang sewa senilai Rp 1,2 juta serta uang biaya hidup sebesar Rp 1,2 juta per jiwa yang langsung dibayarkan untuk kebutuhan selama tiga bulan (1,2 x 3 bulan). Bantuan BP Batam tersebut juga akan terus diberikan hingga hunian baru selesai.
Menurut Rudi, pergeseran warga yang terkena dampak pengembangan Rempang Eco-City dilakukan tanpa ada paksaan ataupun intervensi dari pihak mana pun.
"Begitu warga pindah, uang sewa dan biaya hidup untuk tiga bulan langsung diserahkan. Ini bentuk komitmen BP Batam. Alhamdulillah, sudah ada tiga keluarga yang pindah. Saya berharap jumlah tersebut terus bertambah untuk ke depan," kata dia.
Aparat gabungan memasang barikade saat kericuhan pecah di Jembatan IV Barelang. Istimewa
Dia menyebutkan, dalam menentukan hunian sementara, warga juga diberikan hak penuh untuk memilih lokasi yang bakal ditempati.
"Kita beri pilihan kepada masyarakat. Apakah mereka memilih hunian yang sudah kita siapkan atau memilih secara mandiri. Ambil uang, boleh, atau menerima hunian yang sudah disiapkan," dia menjelaskan.
Kriminalisasi Berulang
Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Noval Setiawan, mengatakan seorang warga bernama Butet akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi atas penyebaran pesan yang isinya menolak relokasi. Surat panggilan telah dilayangkan pada 25 September lalu.
Polisi menilai penyebaran pesan tersebut diindikasikan melanggar Pasal 28 UU ITE. "Kami sudah terima informasi itu," kata Noval. Menurut dia, warga tersebut belum meminta bantuan hukum kepada LBH Pekanbaru.
Noval menilai pemanggilan terhadap warga tersebut menjadi salah satu bentuk intimidasi dan kriminalisasi. Sebab, isi pesan yang disebarkan hanya berupa ajakan kepada warga untuk mempertahankan tanah yang mereka tempati. "Penggunaan UU ITE dan laporan polisi kepada warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya itu bisa membuat takut warga," kata Noval.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan UU ITE memang kerap dijadikan produk hukum untuk melakukan kriminalisasi dalam proyek strategis nasional (PSN).
Isnur mengatakan negara melakukan serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan berlebihan kepada warga yang mempertahankan tanah. Mereka kerap menggunakan aparat untuk melakukan tindak kekerasan dan kriminalisasi.
Pada 2017-2023, dari 106 yang ditangani YLBHI, 35 kasus terkait dengan konflik PSN. Dari jumlah itu, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola berbeda.
Isnur mengatakan, secara umum, terdapat tiga pola kekerasan, yakni 48 pola kekerasan dalam bentuk lisan, seperti intimidasi; dan dalam bentuk fisik, seperti penganiayaan hingga penyiksaan. Kedua adalah pola pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga adalah kriminalisasi dengan 43 kasus.
"Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap. Misalnya, diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi, kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi. Selanjutnya, warga yang dikriminalkan dijadikan sebagai alat negosiasi hingga terjadinya perpecahan masyarakat, pro dan kontra," kata Isnur.
Isnur mengatakan, untuk kriminalisasi, produk hukum yang paling banyak digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan 29 kasus. Kemudian diikuti UU Minerba dengan 7 kasus dan UU Nomor 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. Lalu, UU Nomor 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus, UU ITE dengan 2 kasus, serta UU Anti-Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.
"Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, hampir semuanya didasari produk hukum KUHP, yakni soal pencurian, perampasan kemerdekaan orang lain, kekerasan terhadap orang atau barang, penodaan lambang negara, perusakan properti orang lain, dan Pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik," kata Isnur.
Adapun Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri belum membalas pesan dan panggilan telepon Tempo hingga berita ini diturunkan.
HENDRIK YAPUTRA | YOGI EKA SYAHPUTRA (BATAM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo