Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Setiap difabel yang memenuhi syarat mempunyai hak pilih di Pemilu 2019. Hanya saja, masih banyak penyandang disabilitas yang namanya belum tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap atau DPT karena belum mempunyai Kartu KTP elektronik. Musababnya, salah satu syarat terdaftar sebagai pemilih adalah mempunyai KTP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities atau CIQAL, Nuning Suryatiningsih mengatakan penyandang disabilitas yang belum memiliki e-KTP sehingga belum terdata sebagai pemilih pada Pemilu 2019 di antaranya anak-anak Sekolah Luar Biasa di Sleman yang telah berusia 17 tahun ke atas. Menurut dia, sebanyak 84 siswa di 5 SLB dari 29 SLB di sana belum mempunyai KTP.
"Mereka selama ini golput karena tidak ber-KTP. Padahal lahir sejak 1990-an,” kata Nuning saat diskusi Polemik Hak Pilih Difabel Mental di Yogyakarta, Jumat, 21 Desember 2018. Kondisi yang sama, dia melnajutkan, bisa juga terjadi di SLB yang lain.
Nuning berharap petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat melakukan penyisiran ke sekolah-sekolah luar biasa untuk mendata para siswa difabel usia 17 tahun ke atas yang belum mempunyai KTP. “Semua difabel yang cukup umur, baik difabel mental maupun intelektual harus terdata dalam dokumen kependudukan,” kata Nuning.
Data KPU Yogyakarta menunjukkan jumlah pemilih difabel pada Pemilu 2019 tercatat sebanyak 11.342 orang. Mereka meliputi 2.649 tunadaksa, 1.674 tunanetra, 1.183 tuli, 2.529 tunagrahita, dan 2.507 penyandang disabilitas jenis lainnya.
Kepala Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Wawan Budiyanto mengatakan jumlah tersebut belum akurat. Artinya, masih mungkin berubah berdasarkan pembaruan data oleh petugas pemutakhiran data pemilih.
Seorang guru mensosialisasikan pemilu dengan bahasa isyarat kepada siswa difabel di SLB Negeri 2 Indramayu, Jawa Barat, (5/4). ANTARA/Dedhez Anggara
“Karena ada keluarga yang tak mau menyebutkan jenis disabilitas anggota keluarganya. Ini hambatan psikologis dan petugas tidak bisa memaksa,” kata Wawan. Contoh, ada keluarga yang malu menyampaikan data tentang anggota keluarganya yang dipasung karena disabilitas mental.
Sementara petugas datang ke rumah-rumah untuk mendata, melihat langsung, sekaligus mencocokkan sarana yang dibutuhkan nanti. Untuk difabel netra misalnya, panitia pemilu akan menyiapkan template surat suara untuk tunanetra atau menyediakan ramp untuk difabel yang menggunakan kursi roda.
Bagi difabel yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap, Wawan Budiyanto menjelaskan, mereka bisa mendapat kesempatan untuk didata dalam daftar pemilih khusus. Penyandang disabilitas tersebut datang ke KPU setempat untuk direkap dalam daftar pemilih khusus.
Kemudian pada hari pencoblosan datang ke tempat pemungutan suara sesuai alamat KTP dengan menunjukkan KTP elektroniknya satu jam sebelum ditutup. “Karena menjelang tutup baru ketahuan jumlah surat suara yang tersisa. Kalau habis, daftar pemilih khusus bisa diarahkan ke TPS lain yang masih ada sisa surat suara,” kata Wawan.