Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAHARIAH sedang menyiapkan makan malam ketika ia merasakan bumi berguncang hebat pada Ahad malam dua pekan lalu. Meninggalkan nasi yang sedang ditanak di atas tungku, perempuan 55 tahun itu berlari secepat-cepatnya ke sawah di tepi Kampung Lendang Galuh di Desa Sigar Penjalin, Lombok Utara, sekitar 40 kilometer di utara Mataram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sana, sejumlah warga Lendang Galuh sudah berkumpul dan memekikkan takbir bertalu-talu, menimpali bunyi bangunan yang ambruk dari arah kampung. Orang-orang tak bisa melihat rumah mereka rata dengan tanah. Listrik mati pukul 19.46 waktu setempat, bersamaan dengan bergoyangnya tanah oleh gempa berkekuatan 7 skala Richter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena gelap, Sahariah tak segera mengetahui nasib keluarga dan saudara-saudaranya. Sepeninggal suaminya, ia tinggal di rumah bersama dua cucu dan seorang menantu. Di sawah, ia bertemu dengan kedua cucu dan menantunya, tapi tak melihat kakaknya, Salmah, 59 tahun, yang tinggal di sebelah rumahnya. Muhsin, anak Salmah, menghampiri dan menanyakan keberadaan ibunya. Tak mendapatkan jawaban, Muhsin kembali ke kampung dan menemukan sang ibu di balik reruntuhan. "Sewaktu dibawa ke sawah, napasnya masih ada," kata Sahariah. "Tapi, tak lama, dia meninggal."
Anak kedua Sahariah, Fajriah, 32 tahun, selamat sampai ke sawah. Ia sedang menonton televisi ketika gempa terjadi. Sembari memegang perutnya yang tengah hamil tua, Fajriah berlari menuju arah luar rumah. Sebelum ia sampai ke pintu, runtuhan tembok menimpa kepalanya. Ia terjatuh. "Untung ada tetangga yang menolong sebelum rumah saya benar-benar roboh," ujar Fajriah.
Di tengah kekalutan, tersiar kabar tsunami menuju daratan. Dari bibir pantai ke Lendang Galuh hanya 4 kilometer. Warga memutuskan bergerak ke Bukit Rangsot, yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Lendang Galuh. Jenazah Salmah dibawa serta. Anak dan kerabatnya bergiliran membopongnya.
Sahariah bisa sampai ke atas bukit karena digendong cucu-cucunya bergantian. Sedangkan Fajriah berjalan kaki sembari terus memegang perut. "Sambil berdoa jabang bayi saya tak apa-apa," katanya.
Dalam kegelapan, di bukit berkumpul ribuan orang dari desa sekitar. Dengan perut keroncongan karena tak sempat makan malam, Sahariah melawan dingin dengan memeluk lipatan kakinya. Ia tak membawa selimut, hanya sarung dan kaus oblong yang membungkus tubuhnya. "Setiap kali ada gempa susulan, saya berdoa, membaca ayat-ayat yang saya hafal," ujarnya.
Begitu pula kebanyakan pengungsi lainnya. Saat gempa terjadi, sebagian orang masih di masjid untuk salat isya. Mereka belum mengisi perut dan hanya membawa pakaian yang menempel di tubuh saat berlindung di bukit. Tak ada yang membawa tikar dan penerang yang memadai. Kebanyakan mereka tidur sambil duduk. Ada juga yang tak terlelap sama sekali.
Ketika pagi menyingsing, orang-orang kembali ke kampung. Inaq Sapiah, 65 tahun, kakak Sahariah, yang tinggal sekitar 500 meter dari rumahnya, ditemukan tak bernyawa di balik puing. Semalam Sahariah tak mengecek semua sanak familinya karena keburu panik.
Sebelum zuhur, warga memakamkan mereka yang tewas karena bencana tersebut. Sahariah tak datang ke pemakaman dua kakaknya. Badannya lemas karena perutnya belum diisi makanan sejak kemarin.
Sehari setelah gempa, orang-orang yang terluka meluber di pusat kesehatan masyarakat darurat di Desa Pamenang, di barat Desa Sigar Penjalin. Puskesmas itu beratap tenda dan berlokasi di depan kantor Kecamatan Pamenang. Puskesmas yang sebenarnya sudah tak berfungsi.
Sri Ihkas Kusumawati sebenarnya bidan di puskesmas tersebut. Tapi, setelah bencana, ia merangkap perawat. Obat-obatan dan perban dari klinik pribadinya dibawa ke puskesmas darurat, tapi tak cukup untuk mengobati semua korban. Ia kemudian memilah "pasien".
Mereka yang lukanya tak terlampau parah diobati dengan obat tetes luka. Sedangkan korban dengan luka lebar dan terbuka dibalur tumbukan daun empet-empet. "Yang penting darahnya berhenti mengalir dulu," kata Sri. Dengan peralatan serba terbatas juga Sri menjahit luka-luka pengungsi.
Ketika obat-obatan menipis, anak Sri datang membawa setumpuk obat yang dibutuhkan. Sri heran dari mana anaknya mendapatkan obat sebanyak itu. "Rupanya, dia menjarah apotek yang ditinggalkan pemiliknya," ucap Sri. "Dia tahu saya membutuhkan obat-obatan itu. Dia bilang siap bertanggung jawab di akhirat."
Lindu yang episentrumnya di bawah lereng Gunung Rinjani itu menyebabkan 67 ribu rumah, ratusan sekolah, dan puluhan masjid ambruk. Paling banyak di Lombok Utara. Hampir 75 persen permukiman di sana luluh-lantak. Hingga Jumat pekan lalu, tercatat 321 orang tewas. Tak ada angka pasti mereka yang terluka, tapi jumlahnya ditaksir ribuan.
Sejak gempa 7 skala Richter pada Ahad dua pekan lalu, lindu susulan terjadi hingga lebih dari 350 kali. Setiap kali gempa susulan terjadi, Sahariah merasa kepalanya berputar dan ia hampir terjengkang. "Kepala saya pening," katanya.
Gempa ini lebih kuat daripada guncangan pada akhir Juli lalu. Sepekan sebelum dua pekan lalu, lindu bermagnitudo 6,4 skala Richter menyebabkan 16 orang tewas dan ratusan terluka. Ribuan bangunan di Lombok rusak. Lebih dari 5.000 penduduk mengungsi ke penampungan. Sepekan kemudian, setelah gempa besar kedua, jumlah pengungsi mencapai 270 ribu, yang tersebar di ribuan lokasi.
Di pengungsian, Sahariah mendapatkan cucu baru. Fajriah, anaknya, melahirkan bayi perempuan di puskesmas darurat Desa Pamenang pada Rabu siang pekan lalu. Bidan Sri Ihkas membantu persalinannya. Bayi seberat 2,9 kilogram yang dinamai Ria Tamara itu sedikit mengalihkan duka Sahariah. Ia kehilangan rumah dan harta benda. Dua kakaknya pergi mendahului. Hidupnya kini bergantung pada kiriman uang dari Nuraini, 40 tahun, anaknya yang bekerja di Malaysia.
Di pangkuan ibunya, Ria Tamara menangis keras, lalu anteng begitu disusui. Kehadiran cucu ketujuh itu seolah-olah membuka babak baru dalam kehidupan Sahariah sekeluarga. "Semua sudah habis," ujar Sahariah. "Kami akan mulai lagi dari nol."
Abdul Latief Apriaman (Lombok Utara)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo