Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menyiapkan simulasi pelonggaran pembatasan sosial berskala besar.
Rencana itu ditentang para ahli kesehatan, yang khawatir angka kasus baru corona melonjak.
DKI memperketat pergerakan dan memberikan sanksi untuk pelanggar aturan PSBB.
PUTU Dian Pratiwi kerepotan mencari jalan pulang menuju rumahnya di kawasan Monang Maning, Denpasar, Bali, Jumat, 15 Mei lalu. Pegawai perusahaan konsultan keuangan ini baru saja bertemu dengan klien di daerah Kerobokan, Kabupaten Badung. Mencoba menghindari pemeriksaan di sebelas titik, Putu Dian mencoba mencari jalur tikus. “Di media sosial, banyak orang melakukan hal serupa,” katanya saat dihubungi Tempo.
Hari itu, akses keluar-masuk Denpasar diperketat—karena penerapan pembatasan kegiatan masyarakat. Tak memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Pemerintah Kota Denpasar mencoba menerapkan sistem itu dengan menetapkan Peraturan Wali Kota Nomor 32 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Desa, Kelurahan, dan Desa Adat dalam Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Mereka yang hendak keluar-masuk Denpasar mesti menunjukkan surat keterangan kerja. Pemerintah Denpasar juga menggelar uji cepat atau rapid test secara acak di sejumlah titik.
Sementara di Bali pembatasan kegiatan berlaku ketat, pemerintah pusat mulai akhir April berencana melonggarkan pembatasan sosial berskala besar. Pada 27 April lalu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo memperkirakan mulai Juli mendatang masyarakat bisa hidup normal. Perkiraan itu berdasarkan pertambahan jumlah kasus positif corona yang dianggap mulai landai. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. pada pengujung April lalu pun mewacanakan dibukanya kembali sentra-sentra bisnis.
Presiden Joko Widodo pada Kamis, 7 Mei lalu, juga meminta masyarakat mulai “berdamai” dengan Covid-19 sampai ditemukan vaksin yang efektif. Keinginan Jokowi didukung kalangan pengusaha. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan mesti mulai memasuki tahap normal baru sebelum vaksin ditemukan. Dia menilai pembatasan sosial membebani pengusaha karena tak ada pemasukan. Akibatnya, ekonomi bakal terus memburuk. “Awali dengan kelompok yang berisiko paling rendah,” ujar Hariyadi.
Dalam rapat kabinet terbatas yang digelar pada Selasa, 12 Mei lalu, Presiden Jokowi mengatakan, dari 4 provinsi dan 72 kabupaten/kota yang memberlakukan PSBB, ada yang berhasil menurunkan kasus. Tapi ada juga yang kasusnya justru meningkat. “Pelonggaran PSBB harus dilakukan secara berhati-hati dan tidak tergesa-gesa.”
Presiden pun menginstruksikan Ketua Gugus Tugas Doni Monardo membuat simulasi pelonggaran pembatasan sosial. Menurut Doni, ada empat tahap yang sedang dia siapkan untuk pelonggaran ini, yaitu menjalankan prakondisi berupa sosialisasi kebijakan, menentukan waktu pelonggaran dimulai, memilih sektor prioritas yang bakal dilonggarkan, serta memastikan lancarnya koordinasi antara pusat dan daerah.
Menurut Doni, pelonggaran mungkin akan diberlakukan bagi mereka yang berusia 45 tahun ke bawah. Dia merujuk pada data Gugus Tugas yang menyebutkan 45 persen kematian akibat virus corona disumbangkan mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan mereka yang berusia 46-59 tahun menyumbangkan 40 persen kematian. “Yang meninggal pada usia 46-59 tahun pun adalah mereka yang memiliki penyakit penyerta,” kata Doni.
Rencana melonggarkan pembatasan sosial justru ditentang banyak ahli di bidang kesehatan. Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan hasil riset yang dilakukan dia dan timnya menunjukkan pelonggaran pembatasan sosial belum bisa dilakukan. Secara epidemiologi, Indonesia masih berada dalam zona merah karena tren kematian selalu meningkat dan tren kasus positif corona masih fluktuatif. Ia juga mengingatkan, pengujian yang dilakukan pemerintah belum cukup masif. “Tesnya masih sangat sedikit,” ujar Pandu.
Berdasarkan data pergerakan manusia yang diambil dari Google dan Facebook, tingkat kepatuhan masyarakat untuk tinggal di rumah selama bulan Ramadan justru menurun. Pandu khawatir meningkatnya kegiatan masyarakat di luar rumah bakal menaikkan angka positif corona. Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyimpulkan pembatasan sosial mesti tetap dilanjutkan dengan meningkatkan jumlah tes dan fasilitas kesehatan.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban mengatakan sejumlah negara melonggarkan pembatasan secara bertahap. Namun, kata dia, salah satu syarat yang mesti dipenuhi untuk pelonggaran ini adalah penurunan angka positif secara stabil, seperti yang terjadi di Singapura dan Korea Selatan. Indonesia belum melewati masa puncak pandemi corona. “Di Indonesia, kasus yang terkonfirmasi kan lebih sedikit dibandingkan dengan kenyataan,” ujar Zubairi.
Panji Fortuna Hadisoemarto, peneliti senior Center for Sustainable Development Goals Study, Universitas Padjadjaran, khawatir sistem kesehatan Indonesia bakal kewalahan jika pembatasan sosial dilonggarkan. Menurut dia, mereka yang berada pada usia produktif justru rentan menjadi pembawa penyakit ke kelompok lain jika dibiarkan bekerja.
Ide pelonggaran pembatasan sosial ditolak sejumlah daerah. Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan pada Kamis, 14 Mei lalu, justru mengeluarkan peraturan yang melarang penduduk di luar Jakarta dan sekitarnya masuk ke Ibu Kota. Mereka yang ingin melintasi perbatasan Jakarta mesti membawa surat izin yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta. “Tanpa ada surat akan diminta untuk kembali,” kata Anies pada Jumat, 15 Mei lalu. Akhir April lalu, Anies juga mengeluarkan aturan yang menjatuhkan denda hingga Rp 250 ribu bagi mereka yang keluar tanpa masker dan berkerumun lebih dari lima orang. DKI menerapkan PSBB sejak 10 April lalu.
Adapun Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil khawatir terhadap banyaknya pemudik yang sudah tiba di wilayahnya. Menurut Emil—sapaan Ridwan Kamil—360 ribu orang sudah mudik dan 200 ribu di antaranya sebelum pemerintah memberlakukan larangan mudik. Emil menjelaskan, pemeriksaan secara acak menunjukkan sebanyak tiga persen pemudik luar negeri positif Covid-19. Sedangkan pemudik dari Jakarta sebesar satu persen.
Meski demikian, Emil berencana mengevaluasi pelaksanaan PSBB. Dia akan membagi status kelurahan dan desa di Jawa Barat ke dalam lima level, dari yang terburuk, berwarna hitam, hingga yang terbaik, berwarna hijau. Menurut Emil, daerah yang mencapai level dua atau berwarna biru diberi kelonggaran untuk beraktivitas dengan memperhatikan protokol kesehatan. Status Jawa Barat secara keseluruhan, kata Emil, masih berada di kedua terburuk alias zona merah.
WAYAN AGUS PURNOMO, HUSSEIN ABRI, EGI ADYATAMA (JAKARTA) AHMAD FIKRI (BANDUNG), MADE ARGAWA (DENPASAR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo