ABDUL LATIF SAMAD, Hakim Anggota pada PN. Sibolga (Sum-Ut).
"Anda kira saya sudah kaya raya sejak jadi hakim tahun 1960-an,
he?" Pulang-pergi kantor ia naik bis Pandanwangi dengan ongkos
Rp 200 setiap kali. Ia punya kendaraan pribadi, sebuah skuter
Vespa, tapi sudah sebulan ada di bengkel. Ia belum punya uang
pembayar reparasi, Rp 70 ribu.
Gajinya sekitar Rp 120 ribu. Harus cukup untuk biaya hidup
sehari-hari-termasuk membiayai sekolah tujuh anak (ada yang di
perguruan tinggi). Yang paling berat adalah masalah perumahan.
Tempat tinggalnya kini harus disewa Rp 300 ribu setahun. Untuk
itu, katanya, ia memberanikan diri mengkredit dari bank.
Cicilannya Rp 50 ribu tiap bulan.
Ia tak kenal perkara basah atau kering. Semuanya dikerjakan
sebagai tugas biasa. Juga, katanya, tak ada suatu tanda terima
kasih segala. Paling-paling, kalau ada perkara perdata yang
membutuhkan peninjauan ke suatu tempat, ia dapat semacam honor
peninjauan. Itu, sah lho.
Yah, dua bulan sekali ada perkara begitu, lumayan juga. Ia bisa
membeli perlengkapan rumah ala kadarnya. Jelas tak terlihat
kulkas, televisi dan bahkan kipas angin sekalipun di rumahnya.
Kalau toh ingin dipindah ke Medan, katanya, bukan soal ingin
dapat perkara kakap. Tapi ia sudah merasa jenuh dan ingin
mencari gelar SH. Usianya kini 48 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini