Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Zaman kaliyoga, 1965

Sebelum g30s-pki, pki menciptakan situasi ofensif revolusioner. bti mengganyang 7 setan desa. setelah peristiwa g30s-pki suasana berbalik. mereka diburu & dibantai. tentara & rakyat melakukan pembersihan.

6 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA yang terjadi 25 tahun lalu itu, ketika sejumlah besar orang PKI dihabisi, memang belum sepenuhnya terungkap. Jumlah korban bahkan tak diketahui persis: ada yang bilang hampir sejuta, ada yang menduga 250 ribu, ada penelitian resmi yan~g dipimpin oleh mendian~g dr. Leimena yang mengatakan jumlah yang terbunuh 78 ribu. Para penulis asing, dan mungkin juga anak-anak muda kini, banyak yang membayangkan bahwa pembunuhan itu digerakkan oleh tentara dan dilakukan oleh golongan Islam. Kenyataannya agaknya lebih ruwet. Yang jelas, peristiwanya tak berlangsung dalam suasana sosial-politik yang tenang. Ketika itu PKI merupakan partai besar, anggotanya lebih dari tiga juta orang. Suaranya sangat dominan dalam percaturan politik. Dibubarkannya Partai Masyumi (p~emenan~g No. 2 dalam Pemilu 1955), PSI, Murba, dan organisasi lain, serta ditutupnya sejumlah besar pers Indonesia, semua itu berkat desakan PKI. Ketika memperingati ulang tahun ke-45 pada 23 Mei 1965, misalnya, di beberapa kota besar, termasuk di Jakarta, PKI menggelar kekuatannya yang besar. Berpawai dengan iringan drumband yang ketika itu masih sangat langka, organisasi pemuda mereka yang militan, Pemuda Rakyat, berseragam loreng seperti pasukan komando. Di beberapa kota, PKI bahkan punya pendukung di pemerintahan dan aparat keamanan. Di Sumatera Utara, misalnya Gubernur Ulung Sitepu, seorang perwira tinggi AD, terang-terangan di belakang PKI. Di Surakarta, Wali Kota Utomo Ramelan. Pada waktu itu, oposisi terhadap PKI tak bisa terang-terangan, sebab akan dicap oleh Bung Karno dan aparatnya sebagai "komunistofobi" serta "kontrarevolusioner". Dua tahun sebelum G30S meletus, PKI menciptakan "situasi ofensif revolusioner" yang kian panas dan siap meledak. Tapi suasapa itu juga menumbuhkan kesiap-siagaan di kalangan nonkomunis. Pemuda Marhaen dari PNI dan Anshor dari NU, misalnya, ikut menyiagakan diri, dengan latihan kemiliteran dan juga sering berpawal dengan d~rumband. Pada umumnya masyarakat punya persepsi buruk terhadap "komunis" yang sejak zaman Belanda dianggap sering membuat onar. Mereka juga belum lupa terhadap penjagalan yang dilakukan oleh Suhodo, "algojo PKI" itu dalam peristiwa Madiun pada tahun 1948 - yang bisa disaksikan pada poster Kementerian Penerangan. Dan persepsi itu diperkuat ketika tersiar kabar bahwa sejumlah besar Pemuda Rakyat dan organisasi wanita PKI, Gerwani, ikut membantai para jenderal di sebuah sumur mati di Lubang Buaya. Apalagi santer cerita bahwa orang PKI di mana-mana telah menyiapkan lubang kubur bagi lawan-lawan mereka. Tak jelas sejauh mana cerita itu benar. Yang jelas, berbareng dengan gambaran seram itu, orang khawatir kalau-kalau PKI kembali berkuasa. Sikap Presiden Soekarno yang tak segera mengutuk dan membubarkan PKI menimbulkan rasa cemas, bahwa Bung Karno akhirnya akan merehabilitasi PKI. Namun, dasar umum dari pembunuhan besar-besaran itu adalah dendam yang berjangkit karena konflik sosial di pedesaan, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sekitar dua tahun sebelum 1965, Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi petani dari PKI, mengganyang apa yang mereka sebut "tujuh setan desa", antara lain tuan tanah. Gerakan BTI yang belakangan disebut "aksi sepihak" itu oleh PKI dimaksudkan untuk melaksanakan landreform sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria dan UU Pokok Bagi Hasil. Dengan tema "tanah untuk penggarap", BTI langsung menggarap atau menyerobot tanah-tanah milik negara dan milik petani yang "kaya" --meskipun batasan "kaya" di sini sering berarti mereka yang punya tanah dua hektare, dan bukannya lima hektare sebagai batas yang diatur oleh undang-undang. Struktur sosial di pedesaan sendiri sebenarnya tak seluruhnya menerima aksi BTI itu (lihat Mengapa PKI Gagal?). Pada 1964, misalnya, meletuslah konflik antarpetani di kawasan "segi tiga merah" Yogya-Boyolali-Solo, dengan Klaten sebagai pusatnya. Di Klaten itulah, pada bulan Maret 1964, BTI menyerobot tanah-tanah luas yang milik warga desa anggota PNI atau NU. Di beberapa desa di Klaten, terjadi bentrok antarpetani bersenjatakan pacul, linggis, arit. "Aksi sepihak" itu juga terjadi di beberapa daerah perkebunan di Jawa Timur. Penyerobotan tanah itu juga terjadi, misalnya, di hutan lindung di Bali barat. Tak sepenuhnya konflik politik di Bali itu bersumber dari pertentangan antara kasta yang bawah (yang mestinya diwakili PKI), dan kasta kesatria (yang mestinya diwakili PNI). Sebab, bahkan salah seorang tokoh PKI Bali ternyata berdarah kesatria. Ia adalah Anak Agung Denia, sepupu Gubernur Sutedja yang juga PKI. Konflik sosial itu makin hangat ketika PKI mengganggu dan membunuh para pelajar dan santri anggota PII (Pelajar Islam Indonesia) yang sedang melangsungkan training di Desa Kanigoro, Kediri, dan akhirnya memuncak di Bandar Betsi, Sumatera Utara, pertengahan Mei 1965. Di sana sekawanan BTI menduduki tanah perkebunan. Kasus ini sangat terkenal karena seorang anggota ABRI, Pembantu Letnan Satu Sudjono, tewas dikeroyok BTI. Menghadapi suasana keberingasan ini, tak sedikit orang yang berusaha membekali diri dengan "ilmu kebal". Bukan hanya massa NU, Muhammadiyah, dan para santri, pemuda Marhaen dari PNI, bahkan anak-anak muda di Bali yang beragama Hindu, siap siaga menghadapi PKI dengan kiat kesaktian itu. Di Purworejo dan Kebumen, Jawa Tengah, para santri mendapat kekebalan dari seorang kiai. Selain harus membaca zikir yang sangat panjang, mereka diharuskan mutih (hanya makan nasi putih) selama 15 hari. Ini umum terjadi di kalangan anggota Banser (Barisan Serba Guna), "pasukan tempur" Anshor, ormas pemuda NU. Di Solo, para pemuda Islam mendapat doa, biasanya berupa asmaul husna (99 nama Allah yang mulia), disertai isim berupa rangkaian kaligrafi huruf-huruf Arab dengan makna tertentu. Di Solo juga ada empat orang "guru" kekebalan - khususnya bagi pemuda Marhaen. Yang paling beken adalah Raden Mas Panji, guru kekebalan dari Baluwarti. "Ketika itu kami jadi beringas, mendengus seperti macan atau banteng, tidak mempan segala macam senjata", tutur Sentot Suwarsiman, kini Sekretaris PDI Cabang Solo. Ia dulu anggota Gerakan Pemuda Marhaenis. Di Bali, pemuda Marhaen - bahkan juga yang masih di bawah 15 tahun - digembleng pula. Mereka tergabung dalam Gastam (Gabungan Seni Silat Tameng Marhaenis) yang berdiri di setiap desa, "untuk melindungi diri dari bahaya PKI". Tapi di lain pihak ternyata juga ada orang PKI, yang dianggap tidak bertuhan itu, yang kebal. Ketika itu suasananya memang serba "siap tempur". Di Bandung,' para anggota pencinta alam Wanadri ! dilatih kemiliteran oleh RPKAD. Di Solo, ju~ga di beberapa tempat lainnya -- terutama setelah G30S gagal --RPKAD juga melatih para pemuda nonkomunis. Bahkan ada kekerasan sudah. Menurut K.H. Jusuf Hasjim, pimpinan pesantren Tebuireng di Jombang itu, para santrinya pernah terlibat perkelahian masal dengan PR di Pare, Kediri. Maka, ketika G30S gagal, PKI menjadi sasaran dendam. Di Desa Pupuan, Tabanan, Bali, sejumlah orang PKI digiring satu per satu ke pinggir sebuah lubang, lalu digebuk atau dibacok. Di tempat lain, ada di antaranya yang belum mati, dibawa seperti mengangkut babi: tangan dan kaki diikat, tubuhnya menggantung. Orang Bali menyebut masa itu sebagai "zaman Kaliyoga" - zaman kekacauan dan dendam kesumat. Seperti di Jawa Timur, di Jawa Tengah kekerasan juga tak terelakkan. Sejumlah pemuda yang pulang dari demonstrasi me nyambut kedatangan RPKAD di Solo pada tanggal 22 Oktober 1965 dicegat oleh PR. Enam Pemuda Marhaen dan 22 pemuda Muhammadiyah terbunuh di pinggir Bengawan Solo. Mendengar itu, massa nonkomunis bergerak. Belasan ribu orang PKI ditangkap. Di antara 450.000 warga Solo ketika itu, diperkirakan lebih dari 60% anggota PKI. "Di antara mereka hanya sekitar 1.000 saja yang mati ditembak karena melarikan diri," tutur Djoko Sedijono, kini 60 tahun, bekas anggota Tentara Pelajar Brigade XVII yang ketika itu menjadi komandan operasi pasukan Jaket Biru yang menumpas PKI di Solo. "Di Solotak ada pemotongan leher seperti di Jawa Timur. Ada yang main hakim sendiri tapi di desa-desa yang jauh dari jangkauan TNI," tambahnya. Pasukan itu, katanya, tak bertugas membunuh tahanan PKI. "Tugas kami operasional, bertempur dan menahan PKI dan menyerahkan mereka kepada Tim Pemeriksa," ujar Mucharom, bekas wakil komandan Jaket Biru. Sebuah sumber menyebutkan, sejumlah tahanan PKI "didor atas perintah atasan". Caranya, mereka "dibon" dari tempat tahanan dengan dalih akan dipindahkan ke tempat lain. Mayatnya ada yang dihanyutkan di Bengawan Solo atau dibuang di pinggiran kampung - mungkin dimaksud sebagai teror terhadap PKI. Di Yogya tak kurang dari 30.000 anggota PKI ditangkap, tapi hanya 50% yang benar-benar komunis. Menurut Kolonel (Purn.) Mus Subagyo, bekas Dan Denpom 072 Yogya, "tentaralah yang melakukan pembersihan terhadap PKI". Mus, yang dulu memimpin operasi penangkapan Aidit itu, mengakui ada kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan pembantaian, tapi menurut Thoha Abdurrachman - bekas wakil ketua Front Pancasila Yogya -- mereka hanya ikut membantu tentara. Di Medan, pertentangan sosial itu sudah terasa sejak tahun 60-an. Paling tindak antara PR, ormas pemuda PKI itu, dengan Pemuda Pancasila (PP). PR didekin~g banyak pejabat daerah, sementara PP (menurut Effendi Nasution, bekas pimpinannya) memang dikenal sebagai kumpulan "anak-anak preman". Ketika G30S gagal, konflik terbuka pun pecah. Termasuk penyerbuan anak-anak PP ke basis PKI di Kampung Kolam, sekitar 15 kilometer dari Medan. Dari berbagai kesempatan pengganyangan, konon, tak kurang dari 5.000 orang terbunuh. Mayat mereka dilempar ke sungai. "Selama enam bulan orang tak doyan makan ikan, karena sering ditemukan jari manusia dalam perut ikan," tutur Effendi. Rasa muak dan mual seperti itu juga pernah dirasakan oleh seorang anggota hansip (pertahanan sipil) di Pasuruan. Ketika itu ia sering menyaksikan pembunuhan masal orang-orang PKI. Hampir setiap malam, puluhan tahanan PKI "dibom" dari tempat-tempat tahanan, dibawa ke Kedung Gambir, Pasuruan selatan, atau ke bekas lapangan terbang Jepang di Raci, tak jauh dari Bangil - untuk disembelih. "Ketika itu baru jam lima sore saja Pasuruan sudah sepi seperti kuburan. Orang ngeri keluar rumah," katanya. Seorang pemilik sebuah pabrik diI Kebon Agun~g, di Pasuruan dari keluarga bekas Masyumi, berusaha melindungi dua karyawannya yang akan dibunuh massa karena disangka terlibat PKI, dengan menyuruh mereka bersembunyi di puncak pohon. Esoknya diantar ke kelurahan, disuruh memilih jadi anggota PNI atau NU, supaya selamat. Di Wonosobo, Ruzbar Rachmat, kini 67 tahun, juga tak tega. Padahal, bekas ketua NU ini juga memimpin penangkapan PKI. Suatu hari, 5 Oktober 1965, gembong PKI Wonosobo, Sutardjo, minta perlindungan di rumahnya. "Saya setuju PKI dibubarkan, tapi tak setuju mereka dibunuhi. Itu anarki yang bisa menimbulkan kekacauan," katanya. ~Budiman S. Hartoyo, Sri Pudyastuti R (Jakarta), Kastoyo Ramelan R. Fadjri (Yogya), Zed Abidien (Surabaya), Mukhizardy Mukhtar, Affan Bey Hutasuhut (Medan) ~~

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus