Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Epilog Pemilihan Presiden 2024

Pemilihan presiden belum terlihat ujungnya. Gugatan di Mahkamah Konstitusi menunjukkan ada yang tak beres dalam pilpres 2024.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IGNAS Kleden membuat pengantar buku Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka yang menyoroti keutuhan gabungan kecerdasan intelektual serta pengungkapan emosi dalam buku yang patut dibaca oleh masyarakat luas ini. Ignas mencuplik kalimat George Orwell dalam novel 1984 bahwa bahasa politik didesain untuk mengubah kebohongan menjadi kebenaran, membuat pembunuhan menjadi sesuatu yang terhormat, dan memberi kesan bahwa angin adalah sesuatu yang padat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah ingar-bingar pemilihan presiden, muncul kosakata manipulasi yang TMS: terstruktur, masif, dan sistematis. Sebagai seorang awam, saya membaca buku Ignas dengan rasa sedih, betapa bangsa ini menuju pendangkalan nalar, pembodohan, jauh dari jalan menuju bangsa besar bermartabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampanye calon presiden dan wakil presiden diwarnai pamer kecerdasan dan penguasaan pengetahuan yang semu dan di permukaan. Para calon presiden mengecilkan pentingnya investasi manusia. OECD 2024 menerbitkan peringkat PISA 2022. Kemampuan matematika pelajar Indonesia berusia 15 tahun ke bawah skornya 366, jauh di bawah rata-rata negara OECD yang sebesar 472. Skor kemampuan membaca hanya 359, di bawah rata-rata 476. Adapun skor ilmu pengetahuan 383, di bawah rata-rata negara OECD yang sebesar 485.

Tidak ada kandidat presiden yang membahas hal yang sangat mendasar ini. Cita-cita Indonesia Emas 2045 tidak ada dalam jangkauan jika mutu sumber daya manusia masa depan tidak digarap dan direncanakan dengan baik, tertata, serta sungguh-sungguh. Pusat semua kegiatan politik yang luhur pada hakikatnya bertumpu pada upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia. 

Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta

Birokrasi Bank Mandiri 

PADA 20 Maret 2024, saya datang ke Bank Mandiri di Jalan Raya Satelit Indah, Surabaya, untuk suatu keperluan dengan customer service. Hanya untuk menemui petugas customer service di bank itu, saya harus melalui proses yang berbelit-belit. Padahal tak ada satu pun orang yang sedang dilayani. 

Saya diminta mengisi nama dan memindai kartu tanda penduduk di komputer tablet, lalu berturut-turut saya difoto, mengetikkan nomor telepon seluler, mendapat one-time password (OTP), dan mengisikan OTP. Setelah itu saya diwajibkan mengisi formulir dengan sejumlah data yang setara dengan satu-dua lembar kertas folio.

Beberapa kali saya mengajukan komplain dengan mengatakan, “Kok, ribet amat?” Tapi saya tidak digubris. Saya menolak mengisi formulir karena begitu banyak data yang harus diisi. Saya pun membatalkan urusan saya di bank itu.

Saya berpindah ke Bank Mandiri di Darmo Park. Di bank ini saya bisa langsung dilayani petugas customer service. Seperti biasa, verifikasi data hanya dilakukan petugas dengan meminta KTP dan buku tabungan. Kenapa ada perbedaan pelayanan yang begitu mencolok pada dua cabang Bank Mandiri di Surabaya ini?

Daniel Thie
Surabaya

Harga Beras

AKHIR-AKHIR ini masyarakat heboh dengan naiknya harga beras. Berbicara soal beras, tentu tak lepas dari masalah lapar. Orang yang lapar bisa lepas kendali dan berbuat hal-hal negatif. Sedangkan orang yang kenyang merasa lebih tenang dan bisa berprestasi. Budayawan Triyanto Triwikromo menyoroti masalah kenyang dengan sudut pandang yang menarik. Masuk akal kalau pangan dijadikan iming-iming politik karena warga berada dalam tahap butuh makan.

Siapa pun yang butuh makan akan bertaklid kepada yang memenuhi kebutuhan pangan. Orang yang sedang dalam tahap butuh makan akan menganggap siapa pun yang memberi makan, apalagi gratis, sebagai juru selamat, bahkan raja. Raja yang baik adalah raja yang memberi pangan. Apa pun di luar pangan menjadi sesuatu yang nonsens. Apa pun di luar pangan dalam masyarakat yang masih butuh makan dan tak menikmati penganan hanyalah omong kosong. Tak kurang tak lebih.

Ada pemeo yang mengatakan tak ada makan siang gratis. Kita harus paham akan kiasan ini. Semoga dengan terpilihnya presiden yang baru masalah pangan bisa segera diatasi agar masyarakat tidak terancam kelaparan, harga beras lebih murah, serta tercipta masyarakat yang adil dan makmur. 

Kosmantono
Purwokerto, Jawa Tengah

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus