Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo 22 Mei 2000
Darah para pegawai badan Urusan Logistik (Bulog) lagi mendidih. Brankas Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera), yayasan karyawan Bulog, yang dikumpulkan dari potongan gaji mereka dibobol begitu saja. Nilainya tak tanggung-tanggung: Rp 35 miliar.
Maka, Rabu pekan lalu, mereka melayangkan surat protes. Tanda tangan 200 karyawan tertera di dalamnya. Isinya menghujat dua aktor utama dibalik raibnya dana itu: wakil Kepala Bulog Sapuan dan Ketua Yanatera. Selain itu, mereka mengajukan tuntutan: yayasan harus memberikan pinjaman senilai Rp 50 juta untuk tiap karyawan. ”Masak, orang luar boleh meminjam miliaran rupiah, sedangkan kita sendiri kalau mau pinjam susahnya bukan main?” seorang pegawai menggerutu.
Kasus Bulog sebenarnya bukan sekadar perkara pinjam-meminjam. Kasus ini menunjukkan betapa tradisi kotor lama yang dibangun Soeharto ternyata masih enggan pergi. Di samping sebagai ”lumbung padi”, Bulog adalah lembaga dana taktis berisi ratusan miliar, yang uangnya bisa dipakai sewaktu-waktu oleh pemerintah dan oknum-oknumnya.
Namun, Presiden Abdurrahman Wahid—lembaganya disangkutpautkan dengan kasus itu—ataupun aparat hukum tampak tidak tertarik membuat masalah ini menjadi jelas. Sejak tiga pekan lalu, tiada langkah tegas yang diambil untuk mengusutnya hingga tuntas.
Kini lembaga yang telah berubah menjadi perum ini kembali jadi sorotan. Lagi-lagi menyangkut soal korupsi yang kali ini melibatkan direktur utamanya, Widjanarko Puspoyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo