Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Bacalah hisbul bahar, kata haji ...

Perlombaan bidar, sejenis perahu panjang di sungai musi, palembang, diadakan setiap tgl 17 agustus dan idul fitri. banyak melibatkan pendayung profesional dan perusahaan yang memasang sponsor. (ils)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADO sungi, ado perau," ujar orang Palembang. Sungai bagi orang Palembang adalah jalan raya bagi orang Jawa, begitu kurang lebih. Karena daerah Palembang, dilingkungi beberapa sungai sehingga dikenal sebutan Batanghari Sembilan. Dan sungai yang jumlahnya sembilan buah ini tampak pula dicantumkan dalam lambang Kotamadya Palembang, demikian pula muncul lagi pada lambang Propinsi Sumatera Selatan. Karena itulah, lomba perahu cepat di Sungai Musi--wong Palembang menyebut perahu cepat ini bidar -- adalah perlombaan yang paling banyak ditunggu orang. Lomba ini selalu dikaitkan dengan hari-hari bersejarah. Di zaman Belanda dulu, lomba bidar selalu diadakan pada tanggal 31 Agustus, hari Ratu Belanda naik tahta. Pemandangan di zaman itu: puluhan bidar berlomba dikayuh oleh kulit-kulit berwarna kuning dan coklat, sementara tuan-tuan dan nyonya-nyonya berkulit putih -- dengan pakaian yang mengagumkan bagi orang bumiputera waktu itu -- bertepuk tangan di sepanjang panggung kehormatan di tepi sungai. Sekarang ini, perlombaan diadakan pada perayaan 17 Agustus dan hari raya Idul Fitri. Biasanya perlombaan diadakan antar rakyat, antar kampung, marga atau kecamatan. "Kami sudah delapan kali berlomba untuk Pertamina dan terus menjuarai," kata Haji Abdul Rohim 51 tahun. Dia bertindak selaku komandan di atas perahu, ketika lomba dayung ini berlangsung. Anak buahnya memanggilnya Wak Haji dan mempunyai pengalaman mendayung di kala usianya masih muda. Kini telah 15 tahun dia pensiun dari dayung-mendayung dan tinggal berstatus sebagai komandan saja. Sponsor Di zaman orang mempromosikan segala macam, perlombaan bidar ini tentu saja tidak diluputkan sponsor-sponsor pula. Bukan hanya PN Pertamina yang rupanya berhasil memelihara regu bidar yang tangguh, tapi banyak perusahaan lain juga turut pasang merek dalam perahu dan menjagoi regu-regu pendayung yang memanggul nama perusahaan mereka. John Tobing yang mewakili Pertamina Korwil ll Plaju tidak bersedia mengatakan berapa besar biaya atau sumbangan Pertamina untuk perlombaan yang satu ini. "Itu wewenang perusahaan," katanya mengelak dan enggan bicara soal uang. Tapi seorang pemilik berbagai toko, Hasan As, tidak ragu-ragu mengatakan: "Untuk nama toko saya, tidak kurang dari Rp 200.000 saya keluarkan dalam lomba bidar ini." Biasanya tiap regu mendapat perlengkapan baju seragam yang boleh terus dimilikinya. Ditambah lagi rokok, makanan penguat otot dan tentu saja juga kecipratan air rezeki. Tapi tak seorang pendayung pun mengaku berapa besar "air rezeki" ini ia dapat. "Ah, selain baju ini, tak ada lagi," kata Mohammad Nuh, yang di tahun 1977 masih turut lomba bidar dan tidak untuk tahun 1978. Baju seragam biru yang didapatnya tahun lalu masih tetap dipakainya ketika dia menyaksikan lomba tujuhbelasan tahun ini. Nuh mengatakan telah gaek, biarpun usianya baru 35 tahun, dan berniat menguatkan ibadah puasanya dan memberi kesempatan untuk Aman, anaknya yang baru 17 tahun, menggantikan kedudukannya. Aman, yang bersekolah hanya bisa sampai kelas 11 Sekolah Dasar, selain membantu orangtua di ladang, kini boleh berbangga hati karena 17 Agustus tadi berkesempatan turut lomba bidar. Bagi orang Palembang yang gemar main di sungai dengan perahu, lomba bidar adalah kebanggaan mereka. Namanya akan melambung tinggi kalau regunya menang. Belum lagi lirikan gadis-gadis yang turut menonton di sepanjang tepi Sungai Musi. Pokoknya, bangga dan hebatlah yang membengkak di hati. Soal uang, boleh dinomor berapakan saja. Bagi orang-orang yang telah mendarah daging (katakanlah yang profesional) seperti Wak Haji Rohim, lomba bidar berarti juga harapan barangkali saja akan mendapat mesin Johnson 4 PK dari Pemda Kotamadya Palembang. Karena ini berarti akan bertambah pula uang mata pencaharian mereka dengan perahu yang ditempel mesin itu. Bidar Raja Adakah jampi-jampian atau semacam ilmu hitam untuk memenangkan lomba macam ini? Wak Haji mengelak dan menyangkal bahwa kemenangannya yang berkali-kali itu berkat jampi atau ilmu hitam. Katanya lagi: "Cukuplah kalau kita mempelajari ilmu jiwa dalam Qur'an." Agar kita jangan sampai dihina dan dipermalu oleh orang lain, apalagi dalam pertandingan, bacalah Hisbul bahar, tentang tentara lautan, mudah-mudahan kita berhasil, nasehat wak haji ini. Dan dia ternyata selalu berhasil. Panjang bidar biasanya 25 meter dan jarak lomba sejauh 3 km dari arah Kedukan Bukit (di mana prasasti Kedukan Bukit ditemukan, yang kemudian jadi petunjuk Hari Jadi Kota Palermbang) sampai jembatan Ampera, jembatan termegah di Sumatera. Awak pendayung bidar biasanya berjumlah 57 orang dalam dua jajaran, ditambah seorang jurumudi dan seorang komandan yang harus memegang bendera merah-putih. Bidar, sesungguhnya ada lima macam di kawasan Palembang ini. Yang paling megah dan besar ialah bidar raja-raja. Perahu besar yang mempunyai dapur dan tempat tidur bagi raja ini mempunyai haluan berbentuk kepala burung garuda atau burung merak. Mirip perahu di sepanjang sungai di Kota Bangkok (dan dipakai untuk para turis). Bidar raja ini mungkin sudah tidak ada lagi kini. Di zaman Kerajaan Sriwijaya raja biasanya mengadakan perjalanan keliling dengan perahu macam ini. Biasanya sampai ke Bandar (Pagar Alam) dan Pulau Bangka. Bidar model lain ialah bidar yang hanya dipakai untuk bersenang-senang. Bentuknya lebih kecil dari bidar rajaraja dan di dalamnya diperlengkapi dengan alat musik segala. Kabarnya, bidar bersenang-senang yang dulu banyak dipakai orang di kala senja dan malam terang bulan, bentuknya mirip perahu-perahu yang kini memenuhi perairan di Venesia. Ada lagi bidar perang, tentu saja untuk berperang. Lainnya ialah bidar untuk berolahraga. Ini yang masih ada hingga kini. Bentuk kelima ialah bidar kurir. Perahu paling kecil dan paling gesit. Kalau saja jumlah perahu kurir ini diperbanyak, mungkin sangat banyak menolong terpencilnya daerah-daerah pedalaman Sumatera yang belum mempunyai jalan darat. Zaman raja-raja dulu, bidar kurir ini untuk mengirim berita atau maklumat raja kc daerah-daerah. Zaman sekarang, sebagai pengganti kendaraan Pak Pos pun, jadilah. Pokoknya surat sampai ke alamat dengan cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus