Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADO sungi, ado perau," ujar orang Palembang. Sungai bagi orang
Palembang adalah jalan raya bagi orang Jawa, begitu kurang
lebih. Karena daerah Palembang, dilingkungi beberapa sungai
sehingga dikenal sebutan Batanghari Sembilan. Dan sungai yang
jumlahnya sembilan buah ini tampak pula dicantumkan dalam
lambang Kotamadya Palembang, demikian pula muncul lagi pada
lambang Propinsi Sumatera Selatan.
Karena itulah, lomba perahu cepat di Sungai Musi--wong Palembang
menyebut perahu cepat ini bidar -- adalah perlombaan yang paling
banyak ditunggu orang. Lomba ini selalu dikaitkan dengan
hari-hari bersejarah. Di zaman Belanda dulu, lomba bidar selalu
diadakan pada tanggal 31 Agustus, hari Ratu Belanda naik tahta.
Pemandangan di zaman itu: puluhan bidar berlomba dikayuh oleh
kulit-kulit berwarna kuning dan coklat, sementara tuan-tuan dan
nyonya-nyonya berkulit putih -- dengan pakaian yang mengagumkan
bagi orang bumiputera waktu itu -- bertepuk tangan di sepanjang
panggung kehormatan di tepi sungai.
Sekarang ini, perlombaan diadakan pada perayaan 17 Agustus dan
hari raya Idul Fitri. Biasanya perlombaan diadakan antar rakyat,
antar kampung, marga atau kecamatan. "Kami sudah delapan kali
berlomba untuk Pertamina dan terus menjuarai," kata Haji Abdul
Rohim 51 tahun. Dia bertindak selaku komandan di atas perahu,
ketika lomba dayung ini berlangsung. Anak buahnya memanggilnya
Wak Haji dan mempunyai pengalaman mendayung di kala usianya
masih muda. Kini telah 15 tahun dia pensiun dari
dayung-mendayung dan tinggal berstatus sebagai komandan saja.
Sponsor
Di zaman orang mempromosikan segala macam, perlombaan bidar ini
tentu saja tidak diluputkan sponsor-sponsor pula. Bukan hanya PN
Pertamina yang rupanya berhasil memelihara regu bidar yang
tangguh, tapi banyak perusahaan lain juga turut pasang merek
dalam perahu dan menjagoi regu-regu pendayung yang memanggul
nama perusahaan mereka. John Tobing yang mewakili Pertamina
Korwil ll Plaju tidak bersedia mengatakan berapa besar biaya
atau sumbangan Pertamina untuk perlombaan yang satu ini. "Itu
wewenang perusahaan," katanya mengelak dan enggan bicara soal
uang. Tapi seorang pemilik berbagai toko, Hasan As, tidak
ragu-ragu mengatakan: "Untuk nama toko saya, tidak kurang dari
Rp 200.000 saya keluarkan dalam lomba bidar ini."
Biasanya tiap regu mendapat perlengkapan baju seragam yang boleh
terus dimilikinya. Ditambah lagi rokok, makanan penguat otot dan
tentu saja juga kecipratan air rezeki. Tapi tak seorang
pendayung pun mengaku berapa besar "air rezeki" ini ia dapat.
"Ah, selain baju ini, tak ada lagi," kata Mohammad Nuh, yang di
tahun 1977 masih turut lomba bidar dan tidak untuk tahun 1978.
Baju seragam biru yang didapatnya tahun lalu masih tetap
dipakainya ketika dia menyaksikan lomba tujuhbelasan tahun ini.
Nuh mengatakan telah gaek, biarpun usianya baru 35 tahun, dan
berniat menguatkan ibadah puasanya dan memberi kesempatan untuk
Aman, anaknya yang baru 17 tahun, menggantikan kedudukannya.
Aman, yang bersekolah hanya bisa sampai kelas 11 Sekolah Dasar,
selain membantu orangtua di ladang, kini boleh berbangga hati
karena 17 Agustus tadi berkesempatan turut lomba bidar. Bagi
orang Palembang yang gemar main di sungai dengan perahu, lomba
bidar adalah kebanggaan mereka. Namanya akan melambung tinggi
kalau regunya menang. Belum lagi lirikan gadis-gadis yang turut
menonton di sepanjang tepi Sungai Musi. Pokoknya, bangga dan
hebatlah yang membengkak di hati. Soal uang, boleh dinomor
berapakan saja.
Bagi orang-orang yang telah mendarah daging (katakanlah yang
profesional) seperti Wak Haji Rohim, lomba bidar berarti juga
harapan barangkali saja akan mendapat mesin Johnson 4 PK dari
Pemda Kotamadya Palembang. Karena ini berarti akan bertambah
pula uang mata pencaharian mereka dengan perahu yang ditempel
mesin itu.
Bidar Raja
Adakah jampi-jampian atau semacam ilmu hitam untuk memenangkan
lomba macam ini? Wak Haji mengelak dan menyangkal bahwa
kemenangannya yang berkali-kali itu berkat jampi atau ilmu
hitam. Katanya lagi: "Cukuplah kalau kita mempelajari ilmu jiwa
dalam Qur'an." Agar kita jangan sampai dihina dan dipermalu oleh
orang lain, apalagi dalam pertandingan, bacalah Hisbul bahar,
tentang tentara lautan, mudah-mudahan kita berhasil, nasehat wak
haji ini. Dan dia ternyata selalu berhasil.
Panjang bidar biasanya 25 meter dan jarak lomba sejauh 3 km dari
arah Kedukan Bukit (di mana prasasti Kedukan Bukit ditemukan,
yang kemudian jadi petunjuk Hari Jadi Kota Palermbang) sampai
jembatan Ampera, jembatan termegah di Sumatera. Awak pendayung
bidar biasanya berjumlah 57 orang dalam dua jajaran, ditambah
seorang jurumudi dan seorang komandan yang harus memegang
bendera merah-putih.
Bidar, sesungguhnya ada lima macam di kawasan Palembang ini.
Yang paling megah dan besar ialah bidar raja-raja. Perahu besar
yang mempunyai dapur dan tempat tidur bagi raja ini mempunyai
haluan berbentuk kepala burung garuda atau burung merak. Mirip
perahu di sepanjang sungai di Kota Bangkok (dan dipakai untuk
para turis). Bidar raja ini mungkin sudah tidak ada lagi kini.
Di zaman Kerajaan Sriwijaya raja biasanya mengadakan perjalanan
keliling dengan perahu macam ini. Biasanya sampai ke Bandar
(Pagar Alam) dan Pulau Bangka.
Bidar model lain ialah bidar yang hanya dipakai untuk
bersenang-senang. Bentuknya lebih kecil dari bidar rajaraja dan
di dalamnya diperlengkapi dengan alat musik segala. Kabarnya,
bidar bersenang-senang yang dulu banyak dipakai orang di kala
senja dan malam terang bulan, bentuknya mirip perahu-perahu yang
kini memenuhi perairan di Venesia.
Ada lagi bidar perang, tentu saja untuk berperang. Lainnya ialah
bidar untuk berolahraga. Ini yang masih ada hingga kini. Bentuk
kelima ialah bidar kurir. Perahu paling kecil dan paling gesit.
Kalau saja jumlah perahu kurir ini diperbanyak, mungkin sangat
banyak menolong terpencilnya daerah-daerah pedalaman Sumatera
yang belum mempunyai jalan darat. Zaman raja-raja dulu, bidar
kurir ini untuk mengirim berita atau maklumat raja kc
daerah-daerah. Zaman sekarang, sebagai pengganti kendaraan Pak
Pos pun, jadilah. Pokoknya surat sampai ke alamat dengan cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo