Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Nobel dan Maria Ressa

Surat pembaca.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Surat untuk Menteri Dalam Negeri.

  • Penghargaan Nobel untuk Maria Ressa.

  • Makna kudeta politik Turki.

Untuk Menteri Dalam Negeri

KAMI, masyarakat Desa Rikit Musara dan Desa Pasir Putih, meminta Bapak Menteri Dalam Negeri membatalkan surat keputusan Gubernur Aceh Nomor 135.6/1267/2018 tentang perselisihan tapal batas daerah antara Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah. Kami juga meminta Bapak Menteri menurunkan tim yang independen untuk meninjau ulang masalah penyelesaian tapal batas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sahudin
Aceh


Hadiah Nobel dan Maria Ressa

KOMITE Nobel memuji Maria Ressa karena memakai kebebasan berekspresi untuk mengungkap penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan di Filipina. Perempuan yang mengawali karier jurnalis pada 1980-an ini telah menghadapi banyak ujian dan cobaan hidup. Ia sering menghadapi kasus hukum, yang menurut dia, hampir semuanya bermotif politik. Pemerintah Filipina telah mempertahankan legitimasi kekuasaan (atas nama konstitusi) ketika menyeret Ressa ke mahkamah pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Media yang dipimpin Ressa, Rappler, adalah satu dari sedikit organisasi media yang berani mengkritik kebijakan-kebijakan Presiden Duterte yang sangat membelenggu kebebasan pers di Filipina. Rappler telah menerbitkan secara luas artikel tentang perang terhadap kebijakan presiden yang dianggapnya penderita “misogini”, yakni kebencian terhadap isu-isu kemerdekaan dan hak asasi manusia.

Pada 8 Oktober lalu, ketika Ressa mendapat Hadiah Nobel Perdamaian, banyak kalangan pers takjub dan tercengang. Sampai hari ini, secara serempak mereka mengumandangkan pembelaan terhadap Ressa. Bahkan sang presiden diprediksi akan jatuh terjengkang karena ulah dan perbuatannya yang totaliter terhadap kalangan pers. Ibarat sang penggali lubang, Presiden Duterte diprediksi akan “terperosok” ke dalam lubang galiannya sendiri.

Di sisi lain, pemerintah Filipina sudah mengambil ancang-ancang guna menampik isu keterlibatannya dalam memperkarakan Ressa dan Rappler ke pengadilan. Tapi bagaimana mereka mau membela diri? Sedangkan Ressa sebagai jurnalis telah bekerja berdasarkan fakta dan data-data akurat yang tentu akan menciptakan benteng pengamannya sendiri.

Beberapa waktu lalu, juru bicara pemerintah Filipina berkeras menyatakan tidak terlibat dalam gelombang dakwaan hukum terhadap Ressa dan Rappler. Padahal berbagai ancaman dan intimidasi tetap membuat Ressa tak pernah menyerah dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Bagi dia, kebebasan pers harus terus diperjuangkan hingga menjadi cahaya terang di tengah kegelapan yang suram. Di tengah persidangan, Ressa membantah semua tuduhan atas dirinya, dan mengklaim tuduhan tersebut dilancarkan dengan motif politik. "Kami akan berdiri tegak menentang segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers," tutur Ressa kepada para wartawan di Manila akhir-akhir ini. 

Pujiah Lestari
[email protected]


Kudeta Politik 

MENJADI simpatisan Islam politik di Indonesia tidak mesti kearab-araban. Saya bisa mengerti alasan mayoritas insan Nahdlatul Ulama di Indonesia kurang simpatik pada gaya dan pakaian model Front Pembela Islam, dengan jubah dan janggut bergelayut. Memang, dalam sejarahnya, kalangan militer yang mengkudeta kepemimpinan sah biasanya berdiri di belakang kaum agamawan tradisional yang belum melek politik.

Percobaan kudeta pada 2016 di Turki adalah contoh riil bagaimana strategi kaum militer menunggangi kepentingan sekelompok orang yang mau mendukung ambisi mereka. Dalam novel Pikiran Orang Indonesia, kita bisa melihat benang-benang merah yang sehaluan dengan novel Snow tentang kudeta politik Turki yang berdarah-darah.

Suasana Istanbul menjelang peristiwa kudeta diwarnai separatisme Kurdistan, friksi dalam pergerakan Islam politik, debat kusir kaum religius dan sekuler, hingga tampilnya represi militer yang tak berpegang pada ideologi apa pun selain kehendak berkuasa. Ini hampir mirip dengan gambaran situasi perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia pro-Megawati yang menimbulkan ratusan korban dari kalangan buruh, mahasiswa, seniman, wartawan, hingga pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa.

Dalam novel Snow kita bisa memahami mengapa Orhan Pamuk menggambarkan betapa kudeta militer yang tanpa dilandasi pemahaman nasionalisme kerakyatan akan mudah menebar teror dan intimidasi, menimbulkan kebencian yang menahun, kematian yang memburu, dan saling curiga dan kedengkian. Ini bagaikan salju yang dengan ganas mengepung kota dan perkampungan. 

Begitu pun dalam gambaran novel Pikiran Orang Indonesia yang memberikan kesadaran kepada kita betapa berbahayanya permainan senjata untuk menuntaskan persoalan sosial-politik Indonesia. Penulis novel itu memang pernah berjumpa dan mewawancarai ratusan korban tahanan politik dalam suatu penelitian historical memories. Bahkan ia juga menyaksikan langsung betapa ganasnya permainan senjata dalam peristiwa di kampus Trisakti hingga Semanggi I dan II.

Pembaca yang kurang mengenal integritas penulisnya boleh jadi akan menggolongkannya dalam kubu kiri. Akan ada pula yang menuduh penulis berpihak di kubu kanan. Tidak menutup kemungkinan juga ada yang memandang penulis sebagai orang yang antimiliter. Padahal yang dipersoalkan penulis adalah kemanusiaan yang tak boleh dihadapi dengan cara-cara kekerasan, baik bagi kaum militer, agamis, maupun sekuler.

Apa pun yang terjadi dengan percobaan kudeta militer di Turki beberapa tahun lalu, hal ini telah menyingkap banyak tabir yang seakan sehaluan dengan problem politik Indonesia, meskipun secara geografis berjauhan. Karena itu, kita bisa memahami ketika Hafis Azhari menegaskan bahwa militer kita, khususnya semasa Orde Baru, justru telah menyelenggarakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Apabila kelakuan dan kerjaan mereka tiada lain kecuali merugikan rakyat (sambil menunggangi kaum agamawan), tentulah mereka akan berhadap-hadapan dengan kekuatan rakyatnya sendiri. 

Eeng Nurhaeni
Rangkasbitung, Banten

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus