Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPULAUAN Seribu bagaikan serdadu penjaga pantai Jakarta.
Walaupun begitu, jumlah pulau-pulau yang berserakan itu tidak
tepat seribu. Menurut sebuah survey gugusan kepulauan ini
berjumlah sekitar 108 buah. Luas areal tanahnya sekitar 320.617
ha dan luas lautan yang mengitarinya sekitar 240.000 ha.
Kepulauan Seribu adalah sebuah kecamatan yang membawahi empat
kelurahan. Dari seluruh kawasan DKI Jakarta, kecamatan ini
mempunyai penduduk paling sedikit, yaitu cuma 867/kmÿFD --
bandingkan dengan kawasan Kebon Jeruk (Jakarta Utara) yang
mempunyai kepadatan penduduk 68.211 jiwa/kmÿFD atau Senen, 47.224
jiwa/kmÿFD. Jumlah penduduknya tidak lebih dari 10.000 orang dan
hanya memiliki sebuah SLP, 9 buah SD, satu Puskesmas dengan
seorang dokter umum dan seorang dokter gigi. Menangkap ikan
adalah mata pencaharian dari sebagian besar penduduknya.
Robinson Crosoe
Kepulauan ini menjadi penting dan sering disebut orang ketika
ditemukan juga minyak di sana. Minyak bumi lepas pantai ini kini
dikelola oleh HAPCO bekerja sama dengan PN Pertamina. Demikian
pula untuk dunia pariwisata, Kepulauan Seribu diharapkan mempunyai
prospek cerah di masa mendatang. Akhir-akhir ini, orang-orang
berduit di Jakarta cenderung untuk mencari tempat peristirahatan
yang lebih sepi karena Puncak dan daerah sekitarnya, sudah begitu
padat oleh rumah-rumah baru.
Apalagi siapa saja boleh menyewa sebuah pulau atau sepotong
tanah untuk jangka waktu tahunan lamanya. Bikin saja surat yang
ditujukan ke Gubernur DKI dengan tembusan ke Walikota Jakarta
Utara, penguasa DKI Jakarta akan mempertimbangkan permintaan
anda. Kecuali sebuah pulau yang tidak boleh disewa: Pulau
Rambut. Karena pulau ini merupakan cagar alam bagi burungburung
yang dilindungi.
Kini, baru sekitar 30% dari jumlah pulau yang ada (yang bisa
dihuni) disewa oleh penduduk Jakarta daratan. Umumnya penyewa
pulau ini sendiri dari mereka yang gemar memancing. Atau paling
tidak mereka yang demam akan kehidupan laut, senang mencari
tempat beristirahat dan lepas dari kebisingan lalu lintas di
daratan. "Kalau saya sih biar gemar mancing juga, tidakberminat
sewa pulau," kata seorang pengusaha EMKI Sebab pengusaha ini
memperhitungkan beberapa segi ekonomis ketimbang memiliki pondok
pribadi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu.
Menurut perhitungannya, untuk mendirikan sebuah rumah,
katakanlah sekitar Rp 2 juta. Membangun dermaga empat sandar
kapal pesiar di pulau membutuhkan biaya sekitar Rp 1,5 juta.
Ongkos bensin untuk sekali pergi ke sana (pulang pergi) paling
tidak 500 liter. Ongkos parkir (sandar) kapal di Pelabuhan
Tanjungpriok Rp 82.500 tiap bulan. Belum lagi membayar boy boat
si penjaga kapal, paling sedikit dua orang dengan gaji keduanya
Rp 60.000 sebulan. Perawatan kapal memerlukan sekitar Rp 200
ribu setiap bulan dan ongkos-ongkos tak terduga lainnya.
Pokoknya harus ada "uang siap" paling tidak setengah juta rupiah
setiap bulan. "Karena itu, biar saja saya mancing begitu saja,
tanpa harus sewa pulau segala," ujarnya.
Bagi penyewa di atas tanah 500 mÿFD lebih, dia harus mengajukan
surat izin kepada Pemerintah DKI, demikian Camat Kepulauan Seribu,
Kapten Effendy tetapi berbeda bagi Gunther ~Fust, orang Jerman
pensiunan Kepala Perwakilan pabrik farmasi PT Hoechst Indonesia.
Fust (70 tahun) telah bermukimdi Pulau Kaliage--salah satu pulau
dari Pulau Seribu--selama 13 tahun. Selagi dia belum pensiun,
cita-cita tunggalnya hanyalah menghabiskan hari tuanya di pulau
yang terpencil. "Saya kagum akan petualangan Robinson Crosoe sejak
saya duduk di sekolah dasar," ujar Fust. Kini, cita-citanya bisa
diraihnya dengan baik.
Dia bahkan bisa memilih pulau yang terbaik dari rangkuman
pulau-pulau yang ada di depan Teluk Jakarta itu. Menolak untuk
mengatakan berapa harga sewa Pulau Kaliage, Fust menyewa untuk
25 tahun lamanya separuh dari pulau yang luasnya 6,5 ha. Untuk
masuk bersandar ke pulaunya Fust, kapal harus melalui alur
karang yang panjangnya 3 mil dan hanya bisa dilayari pada saat
air pasang saja. Pulau di bagian tempat tinggal Fust terawat
baik. Letak pohon-pohon teratur rapi.
"Saya mau sampai mati tinggal di sini," ujar kakek dari 5 orang
cucu ini. Anak dan cucunya tinggal di Jerman (atau di tempat
lain) dan isteri Fust sudah lama meninggal. Sebuah testamen
telah dibuatnya yang menyatakan kalau dia meninggal kelak, minta
dikuburkan di bawah pohon beringin yang ditanamnya sendiri di
tengah pulau. Sepuluh orang penduduk pulau itu jadi pegawainya,
ditambah seorang juru masak, 2 pembantu untuk cuci pakaian dan
pembersih rumah, Fust juga ditemani 6 ekor anjing dan seekor
monyet.
Acaranya rutin. Pagi hari, pertama kali yang dilakukannya ialah
memutar radio Deutsche Welle atau Radio Australia. Setelah itu
sarapan, kemudian keliling pulau memeriksa "kerajaannya" Jam
10.00 pagi, olahraga berenang. Siang dan sore hari dilewatkannya
dengan membaca buku. Di perpustakaannya, tidak kurang dari 1500
judul buku berderet rapi di rak, sebagian besar tentang masalah
lautan. Pakaiannya sehari-hari praktis cuma celana renang saja.
Malam hari, di bawah sinar lampu gas, dia menulis catatan
harian. Di pulaunya, tidak ada lampu listrik. "Saya benci suara
berisik," ujarnya. Maksudnya, suara diesel listrik. Di malam
hari, penerangan jalan-jalan di kawasan Fust tersebut diterangi
nyala obor, lampu petromak atau lampu minyak tanah.
Tiap dua minggu sekali, dia mengutus salah seorang anak buahnya
ke Jakarta untuk membeli keperluan makanan dan sekaligus
mengambil surat-surat di kantor Hoechst dan suratkabar di
Kedutaan Jerman. Untuk keperluan makan dan mengaji seluruh
pegawainya, Fust mengaku habis Rp 200.000 setiap bulan. Jumlah
itu di luar pajak orang asing dan Ireda. Fust sendiri enggan ke
Jakarta. Kecuali tiga tahun yang lalu, ketika dia harus mencabut
giginya.
Fust tidak merasa kesepian. Sesekali datang kawan-kawannya dari
Hoecnst atau Kedutaan Jerman untuk ber-weekend di Kaliage. Fust
telah mendirikan buah bangunan dan yang paling ujung timur ia
pilih sebagai kediaman pribadi. "Ini kamar komando yang saya
rencanakan sendiri," ujarnya. Ruang operasinya terdiri dari
kamar tidur merangkap kamar baca berikut kamar mandi dan WC.
Pada dinding ada lukisan kapal layar. Kamar tidur ini terbuka
menghadap pantai, tanpa jendela.
"Babe Fust," demikian penduduk memanggilnya, "sangat berjasa
bagi penduduk pulau sekitar." Yang berkata ini adalah Achmad
Sarosa, seorang nelayan yang tinggal di Pulau Kelapa, tetangga
Pulau Kaliage. Fust tidak pernah menolak kalau jam 12.00 tengah
malam dipanggil penduduk pulau lain bila ada yang sakit. Dia
mengayuh sendiri perahunya yang tanpa motor itu ke pulau yang
memerlukan bantuan.
Memilih tempat sepi juga dilakukan Nyonya Sita Wahyu, salah
seorang pemilik galangan kapal di Tanjungpriok dan sendiri di
sebelah barat Pulau Kaliage. "Saya tidak tahan mendengar
bisingnya suara mesin di pabrik," kata Nyonya Sita Wahyu. Ia
pernah menyewa Pulau Opak Besar sebesar Rp 1 juta. Kumah tempat
tinggalnya yang berkerangka bambu dan atap rumbia itu telah
disewanya selama 10 tahun dari para nelayan. Bulan September
ini, jadwal sewanya di Opak Besar habis. Karena dia masih
bekerja, hampir setiap hari dia harus naik kapal laut atau
pesawat terbang ke daratan. Pesawat terbang Pulau
Panjang-Kemayoran, selalu ada setiap hari.
"Mancing itu sungguh sehat," ujar Hasyim Ning, si pedagang besar
yang terkenal itu. Pondok Hasyim Ning dibuat dengan atap
alang-alang mirip rumah Bali. "Saya menyewa dari penduduk, Rp
200.000 setahun," ujarnya. Paling tidak sebulan sekali dia pergi
ke pulu. Hasyim Ning yang kini juga mengusahakan biro
pariwisata Pacto (dan Hotel Kemang) memiliki beberapa buah
kapal mewah. Misalnya kapal pesiar yang dinamainya Ratna Maeda,
dilengkapi radar, radio dan lemari es. "Kapal-kapal itu 'kan
untuk para uris kalau ada yang mau keliling Pulau Seribu,"
ujarnya. Hasyim Ning, untuk rumahnya di pulau, bertetangga
dengan Adam Malik. Kalau Malik sebelah barat, Hasyim Ning
sebelah timur Pulau Genteng Kecil.
Kini, semain banyak orang berduit yang melarikan diri ke
kesepian laut. Seperti juga seorang pemilik percetakan yang
enggan warnanya disebut, bulan lalu baru saja teken kontrak
untuk menyewa Pulau Cina 10 tahun dengan harga Rp 200.000 setiap
tahun. Maksudnya, suatu waktu nanti pulau itu akan dijadikan
kemah pantai (beach camp) bagi para pelajar ibukota. "Agar
mereka bisa mengenal kehidupan laut dalam bentuk aslinya,"
ujarnya. Beberapa waktu yang lalu, sebuah kapal dengan kabin
telah dibelinya.
Dan Sex?
Di samping hobi, ada juga yang mencoba merobah Kepulauan Seribu
menjadi pusat pariwisata. Seperti dilakukan PT Pulau Seribu
Paradise yang dikelola oleh Kolonel Yasa Natakusumah. Tanggal 8
Mei 1973, Gubernur Ali Sadikin telah memberinya izin untuk
mengelola 13 buah pulau di Kelurahan Pulau Kelapa. Usahanya
dimulai sejak 1970 dan kini sebagai satusatunya tempat pesiar di
pulau yang biasanya diiklankan dengan sun and sand (dan sex?!)
yang indah.
Siapa yang tidak kenal Pulau Puteri? Beberapa bungalow dengan
kapasitas 200 orang telah berdiri di Pulau Puteri lengkap dengan
fasilitas listrik, air dan telepon. PT Pulau Seribu Paradise
mendapat hak sewa selama 25 tahun. Sebagian dari bungalow itu
telah dikontrak-sewa oleh HAPCO selama 12 tahun untuk tempat
istirahat stafnya. Sewanya setahun, AS$ 42.000.
Bagi orang Indonesia yang hidup hanya mengandalkan gaji saja,
mustahil bisa berakhir minggu di Pulau Puteri. Apalagi menyewa
tetap. Sebab sewa bungalow di Pulau-Puteri berkisar antara AS$
75 untuk 4 orang sampai "hanya" AS$ 28 untuk kapasitas 2 orang.
Selain Pulau Puteri, juga Pulau Melintang dan Pulau Panjang
telah dikelola. Tetapi kalau toh anda kepengin sekali tinggal di
pulau, PT Pulau Seribu Paradise menyediakan fasilitas kemah
dengan tarif AS$ 4 sampai cuma AS$ 2 satu orang, satu malam.
Berikut air tawar. Tetapi kemah dan perlengkapan lain harus bawa
sendiri.
Kendaraan kawasan Pulau Seribu tidak sulit. Kalau belum punya
kapal pribadi, kapal nelayan pun jadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo