PERTEMUAN pertama itu di awal puasa, 6 Maret yang lalu. Karena itu acara dimulai dengan berbuka puasa bersama. Yang hadir di Gedung TEMPO, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, adalah para redaktur berbagai media massa yang menangani bahasa Indonesia di penerbitannya. Mereka dari LKBN Antara, Kompas, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Femina, Matra, Editor, Humor, Swa, TVRI, dan tuan rumah TEMPO. Acara ini idenya datang dari Pemimpin Redaksi TEMPO Goenawan Mohamad, dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan para redaktur tadi dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagaimana mencari keseragaman istilah, akronim, dan ejaan di koran atau majalah yang terbit di sini sehingga tak membingungkan pembaca. Diskusi ini ternyata cukup menarik. Masing-masing membawa daftar persoalan bahasa yang mereka hadapi. Semua persoalan itu dibahas dengan panduan Lukman Ali, ahli bahasa yang pernah menjadi Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. Harus diakui, selama ini belum ada kesepakatan antara media massa di Indonesia dalam hal penggunaan istilah, akronim, dan singkatan. Masing-masing jalan sendiri-sendiri. Misalnya, untuk nama wilayah provinsi, Kompas menggunakan propinsi, sedangkan TEMPO memakai provinsi. Lalu ada lagi akronim yang terdengar aneh, seperti Depdikbud untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ada media yang tetap menggunakan akronim seperti itu tapi TEMPO menggunakan akronim yang gampang diucapkan dan tak bikin bingung: Departemen P dan K. Dalam pertemuan itu -- dan pertemuan berikutnya, 18 Maret yang lalu -- banyak masalah disepakati, tapi harus diakui ada pula di antara kesepakatan itu yang sepakat untuk tidak sepakat tentang sesuatu. Itulah manfaat pertemuan yang direncanakan akan terus berlanjut. Pertemuan ketiga, direncanakan tanggal 10 April, Kompas sebagai tuan rumah. Forum itu diharapkan kelak menjadi ajang para redaktur untuk membicarakan berbagai masalah yang muncul sehari-hari dalam penggunaan bahasa Indonesia. Di TEMPO, kepedulian akan penggunaan bahasa Indonesia dimulai sejak 1975. Ketika itu dibentuk sebuah lembaga yang kami sebut Komisi Bahasa Majalah TEMPO. Sayang, lembaga ini tak bekerja sebagaimana mestinya. Belakangan Slamet Djabardi, anggota redaksi yang punya perhatian khusus terhadap bahasa, tampil menggantikan peran komisi bahasa tersebut. Ia menyusun semacam kamus penyeragaman ejaan dan setiap minggu menyusun daftar teguran atas berbagai kesalahan berbahasa yang tercantum dalam majalah TEMPO yang baru terbit. Slamet, yang kemudian diangkat menjadi editor bahasa, menyusun daftar nama kota dan negara yang dipakai TEMPO. Tugasnya sebagai empu bahasa di TEMPO tetap diembannya meski kini ia sedang mengikuti program pendidikan jurnalistik di University of California Berkeley, Amerika Serikat. Ia setiap minggu mengirim kritik dan saran terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang tercetak di majalah ini. Kritik itu ditempel di papan otokritik di ruang redaksi, dan kami pun membacanya beramai-ramai. Apakah berarti bahasa TEMPO sudah memadai? Kami merasakan belum. Kalau Anda amati setiap terbit ada saja ditemukan kekurangan. Tak apa, yang pasti, kami selalu berusaha memperbaiki kekurangan yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini