Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REFORMASI menghasilkan kebebasan berpendapat. Kini setiap orang boleh berbicara apa saja, asalkan tak menghina orang lain yang menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan. Orang juga bebas meminta presiden diganti meski belum saatnya pemilihan. Bahkan siapa saja boleh mengusulkan calon lain atau meminta presiden diganti tanpa mengajukan calon penggantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti terlihat dalam deklarasi #2019GantiPresiden. Setelah populer di media sosial, penyokong utas ini mendeklarasikan diri di Monumen Nasional bulan lalu. Pembela Presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Mereka membuat utas serupa di media sosial dengan #2019TetapJokowi. Seperti lawannya, relawan-relawan Jokowi kemudian menggelar deklarasi dukungan di dunia nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang urat saraf soal pergantian presiden adalah dinamika demokrasi. Di zaman Orde Baru, siapa saja yang mengusulkan pergantian presiden, bahkan menjelang pemilihan umum, akan diciduk aparat dan dituduh merawankan keamanan. Seperti terekam dalam artikel majalah Tempo edisi 16 Juli 1977, dua pemuda yang mengusulkan agar presiden mendatang adalah Gubernur Jakarta Ali Sadikin dengan wakil pengacara Adnan Buyung Nasution diciduk polisi.
Artikel berjudul "Alasan-alasan itu Masuk Akal Juga" memuat sekelompok masyarakat yang ingin mengganti Soeharto. Ada kelompok yang menamakan diri Rukun Pemuda Indonesia (RPI), yang akhir bulan itu muncul di Press Club. Dengan tujuh lembar kertas yang distensil rapi, mereka berbicara tentang banyak hal. Dan tak lupa ikut-ikut mengajukan calon presiden.
Untuk presiden, mereka kembali mencalonkan Soeharto dan sebagai wakil adalah bekas Gubernur Jawa Timur yang kini duta besar di Prancis, Haji Mohammad Noer. "Pak Noer berhasil membangun pedesaan. Dan dia sipil. Jadi ada imbangan antara militer dan sipil," kata A.N. Johannief.
Kelompok lain menamakan diri Manusia Baru Indonesia. Sepekan sesudah RPI, mereka muncul di depan sebuah warung di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Alasan mencalonkan Bang Ali dan Bang Buyung adalah agar ada keseimbangan antara Angkatan 45 (diwakili Ali Sadikin) dan Angkatan 66 (Buyung Nasution).
Sejauh ini tampaknya penguasa menyadari bolehnya ada hak berbeda pendapat. Selain tindakan polisi terhadap dua pemuda di TIM itu, belum tampak tindakan-tindakan yang serius. Agaknya ada pula yang disadari, seperti kata B. Aritonang, Ketua DM UGM Yogya, bahwa "pencalonan presiden dan wakil sebaiknya lebih dari satu, agar ada kompetisi".
Lain lagi acara sekelompok anak muda di Jakarta yang mengatasnamakan Generasi Muda Indonesia. Memperingati 18 tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali ke Undang-Undang Dasar 1945), tepat 5 Juli kemarin mereka mendatangi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meminta agar pelantikan anggota-anggota DPR/MPR hasil Pemilihan Umum 1977 ditunda.
Sebaliknya, agar segera diselenggarakan Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1971 untuk mendengarkan pertanggungjawaban Presiden sebagai mandataris MPR atas pelaksanaan BHN dan Pemilu 1977. Ada presedennya. Seminggu sebelumnya sudah ada suara seperti itu, yaitu dari M. Amin Ely, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Persatuan Pembangunan, yang secara resmi mengajukannya kepada pimpinan MPR.
Menurut Amin, hal itu diwajibkan oleh Tap MPR Nomor I/MPR/1973. "Sebab yang memberi mandat kepada Presiden adalah MPR hasil Pemilu 1971, bukan MPR hasil Pemilu 1977," ujarnya. Ia juga mengingatkan, menurut Tap MPR Nomor 1/MPR/1973, jabatan Presiden Soeharto adalah lima tahun. "Sekarang ini masa jabatan itu tinggal empat bulan lagi, dihitung dari tahun terakhir masa jabatan tersebut."
Di lain pihak, ada pendapat bahwa masa kerja MPR 1 sudah berakhir Oktober 1977, sedangkan masa jabatan Presiden masih enam bulan lagi, sampai Maret 1978. Kalau demikian halnya, "Nanti MPR akan bertanya kepada Presiden, mana pertanggungan jawab yang enam bulan lagi?" ucap Wakil Ketua MPR Isnaeni.
Menteri Sekretaris Negara Soedharmono mengatakan Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR tidak perlu menyampaikan pertanggungjawaban kepada MPR 1971, melainkan kepada MPR 1977. Kalau disampaikan kepada MPR lama hasil Pemilu 1971, kata Soedharmono, penilaiannya tidak obyektif. Pertanggungjawaban merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah presiden lama akan terpilih kembali atau tidak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo