Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi perumpamaan itu tampaknya tidak berlaku bagi gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1998 ini. Soalnya, "kota" yang seharusnya aman ternyata tidak segera beres, meski rezim telah berganti. Bahkan, masalah yang muncul semakin menumpuk, mulai soal pemerintahan transisi, krisis ekonomi, pengadilan Soeharto, sampai tindak kekerasan aparat menyusul gerakan-gerakan mahasiswa yang juga mulai "agak keras". Akibatnya, seperti dikatakan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah, orientasi gerakan mahasiswa sekarang ini seperti kehilangan prioritas. Dengan kata lain, sebuah gerakan akan semakin tajam daya dorongnya jika mempunyai prioritas atau terfokus.
Hasil jajak pendapat TEMPO yang dilakukan dua pekan lalu tampaknya sesuai dengan pendapat di atas. Menurut mereka, gerakan mahasiswa sebaiknya memang dipusatkan pada isu tertentu dan tidak menggarap isu yang terlampau beragam. Logikanya sederhana: keberagaman isu akan menjadikan pusat perhatian terbelah. Akibatnya, tekanan jadi tidak kuat.
Namun, berbeda dengan Eep, yang menyarankan perlunya perhatian diarahkan pada penyusunan Rancangan Undang-Undang Politik ketimbang menggasak isu pemeriksaan Soeharto, responden TEMPO memilih isu yang lebih riil bagi kehidupan mereka: perbaikan ekonomi rakyat. Tidak terlampau sulit menjelaskan mengapa justru isu itu yang dipilih. Krisis ekonomi dan politik pada akhirnya bermuara pada hancurnya perekonomian: penurunan nilai uang, melonjaknya angka pengangguran, dan dropnya kesejahteraan masyarakat.
Isu-isu seperti rekonsiliasi, RUU Politik, dan pengusutan tindak kekerasan aparat dianggap tidak memiliki dampak langsung bagi perut mereka yang telah lama kempis.
Harapan yang disandangkan ke pundak mahasiswa memang tidak main-main. Itu tidak lain karena, menurut responden, gerakan mahasiswa efektif dalam melakukan tekanan politik terhadap pemerintah. Meski tidak semua tuntutan mereka terwujud, setidaknya ada pergeseran dalam pengambilan keputusan ke arah yang diinginkan.
Sebutlah misalnya aksi mahasiswa menentang Sidang Istimewa MPR bulan lalu. Meski harus menelan 16 korban, sidang berharga Rp 2 miliar itu toh berhasil menelurkan keputusan yang mengharuskan pemerintahan Habibie memeriksa Soeharto.
Lalu, apakah mahasiswa harus terus menjadi pendobrak, menghindari interaksi dengan kekuatan politik lain, agar "kemurnian" gerakannya tidak ternoda? Atau perlukah anak-anak muda itu "bermain" supaya lebih efektif mengegolkan tuntutannya? Terhadap pertanyaan ini, pendapat responden terbelah. Sebagian menilai tugas mahasiswa hanya menggedor-gedor pintu kekuasaan. Mahasiswa tidak perlu ambil pusing bagaimana tuntutan mereka dilaksanakan. Sebagian lain menghendaki mahasiswa juga berpikir tentang teknis politik. Mereka mengharapkan mahasiswa berkoalisi dengan kekuatan politik lain agar kekuatan mereka semakin kukuh.
Barangkali kedua-duanya betul. Tapi pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, memberikan peringatan. Kalaupun mahasiswa mau bergandeng tangan, sebaiknya hanya dengan unsur-unsur di dalam kampus, seperti pengajar dan alumni. Di luar itu, harap hati-hati. Jangan mengulangi kesalahan Angkatan '66: bergandengan tangan, tapi kemudian tertidur dalam rangkulan kekuasaan.
Arif Zulkifli
Tentang metodologi jajak pendapat ini:
INFO GRAFISEfektifkah gerakan mahasiswa selama ini? | Ya, karena mereka telah berhasil melakukan tekanan politik | 68% | Ya, karena mereka telah mendapatkan apa yang mereka tuntut | 15% | Tidak efektif | 11% | Ya, karena mereka telah berhasil mengerahkan massa | 5% | Tidak tahu | 1% | Â | Apakah isu yang diangkat dalam gerakan mahasiswa harus difokuskan? | Ya | 65% | Tidak | 35% | Â | Isu apa yang seharusnya menjadi prioritas gerakan mahasiswa? | Perbaikan ekonomi rakyat | 35% | Pengusutan harta Soeharto | 26% | Pemerintahan yang bebas KKN | 24% | Pemilu tepat waktu | 7% | Pengusutan tindak kekerasan aparat | 4% | Rekonsiliasi nasional | 2% | RUU Politik | 1% | Pengusutan kekerasan antarwarga | 1% | Â | Di antara dua alternatif pola gerakan mahasiswa ini, mana yang lebih baik? | Mahasiswa melakukan tuntutan politik dengan mempertimbangkan bagaimana tuntutan itu dipenuhi | 59% | Mahasiswa hanya melakukan tuntutan politik | 41% | Â | Bolehkah mahasiswa "berkoalisi" dengan kelompok lain? | Boleh | 60% | Tidak boleh | 32% | Tidak tahu | 8% | Â | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo