Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Kita Memang Bangsa Tempe

Pengusaha tempe/tahu dan proses pembuatannya. Tampak ada keinginan mekanisasi. meski mengancam tenaga kerja.

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA bukan bangsa tempe, kata Bung Karno dulu. Kita memang bukan bangsa yang lemah, tentunya-toh kita bergaul akrab dengan tempe. Di Jakarta saja tiap hari dibutuhkan sekitar 250 ton jenis lauk yang "lemah" ini. Tambah tahu (ta-hu), lauk yang bahkan lebih lemah, 120 ton--yang toh hanya bisa dicukupi 52 ton saja oleh produksi setempat. Sisanya didatangkan dari tempat lain: Bogor, Bandung, Sumedang, misalnya. Dibagi secara pukul rata saja dengan jumlah penduduk tiap hari orang Jakarta menelan 50 gram tempe --atau tahu. Kira-kira sepotong tempe per kepala. Kita memang bangsa tempe--dan tahu. Dan kebudayaan yang daif ini, mungkin sudah bisa diduga, datang dari Jawa. Tempe memang lebih khas Jawa -- Indonesia -- dibanding tahu yang dikatakan berasal dari Cina, Korea, Jepang dan sebangsa- nya. Di Jakarta, dari hampir 4.000 produsen tempe-tahu, sebagian besar tetap orang Jawa--terutama, ternyata, orang Pekalongan. Yang bukan Jawa, yakni Cina, Sunda, maupun Betawi, kebanyakan berjuang di seksi tahu. Berumur Sehari Nah, itulah, para pejuang, yang tahu benar penciptaan makanan berkepribadian yang prosesnya sebenarnya tidak selalu sedap itu. Sebab air buangan dari bekas kedelai saja, bahan utama pembuatan tahu atau tempe, bisa menimbulkan problem dengan penduduk sekitar karena baunya. Terutama bila terletak di lingkungan orang kaya atau pejabat. Untung kebanyakan tidak. Karena itulah, mereka yang "pabrik"nya berlokasi di pinggir kali lebih beruntung: air buangan langsung hanyut bersama kotoran lain. Lebih unik lagi: yang di pinggir kali mengambil airnya dari kali itu pula, tentu saja. Ini bisa dilihat misalnya di sela-sela puluhan tong berwarna hitam yang berderet sepanjang Kanal Terusan Banjir di Jembatan Besi, Jakarta Utara. Di situ beberapa laki-laki sibuk menimba air dari kanal ke dalam tong-buat membilas kedelai yang telah direbus dan melepaskan kulit arinya. Untuk keperluan terakhir itu seseorang masuk ke dalam tong. Kedelai diinjak-injak. Diguyur air lagi. Bila ada kotoran bangsa manusia terikut dalam ember, gampang. Singkirkan dengan tangan. Sebab memang, sekitar 25 m dari tempat tong-tong itu, ada jamban umum. Tapi jangan kuatir Tjarmudi, si pemilik kedelai sebanyak 50 kg tersebut, akan membilas lagi dengan air bersih. Lima pikul air leding, a Rp 100, cukuplah kiranya untuk memandikan 50 kg kedelai. Dari situ, kedelai diberi zat pewarna. Warna kuning pucat lantas beruhah menjadi kuning gadis--kuning indah. Satu malam direndam lagi, baru keesokan harinya kedelai diberi laru (biang ragi, agar keluar jamur) dan beberapa kilo onggok (ampas singkong). Adonan ini kemudlan dibungkus dengan plastik dan diinapkan semalam lagi. Proses pembuatan tempe--yang sudah tidak menggunakan daun pisang ini -makan tempo 3 hari lamanya. Terletak sporadis di beberapa tempat di Jakarta (Sunter, Kayumanis, Kemayoran, Tebet, misalnya), mereka tidak selamanya mengolah produksinya dengan air kali, sudah dibilang. Tapi hampir selalu berkelompok -- lebih-lebih dengan sesama orang seasal. Sardani misalnya, berusia lebih setengah abad dan termasuk tempewan senior--berpraktek sejak 1952--kini pemilik tempat kerja plus pemondokan di tanah yang juga miliknya seluas 600 m2. ebanyak 15 keluarga bekerja dan hidup di situ, sambil membayar Rp 250 per hari untuk ruang 2,5 x 3 m. Serupa sebuah kamp. "Jadi tukang tempe itu berat sekali," ujar Sardani. Karena produksi harus berjalan terus, sedang "umur tempe itu cuma sehari. Lagi pula saingan banyak." Di zaman kedelai mahal dan susah seperti sekarang (Rp 327 per kilo), membuat tempe juga masih perlu bahan campuran kulit singkong yang diiris lembut, ampas kelapa, onggok, nasi atau bahkan nangka muda. Tapi untunglah, "campuran seperti itu hanya dibuat di Jawa." Tempe yang diproduksi di Jakarta sih paling banter dicampur onggok saja--5% dari kedelai. Rata-rata setiap hari seorang pembuat tempe menghabiskan sekitar 20 kg kedelai. Sarwono, 31 tahun, yang memproduksi dan memasarkan sendiri tempe buatannya di pasar Tanjungpriok, mengaku berhasil mengantungi uang Rp 1.000/ hari--setelah dipotong sewa kamar. Ayah 4 anak ini, yang sejak usia 6 tahun diwajibkan ayahnya membantu membuat tempe, hingga kini radio baterai pun tak punya. Padahal dia bekerja mulai jam 06.00 pagi--mengayuh sepeda ke pasar, membeli kedelai--dan langsung merebus, merendam atau menyelesaikan pekerjaan kemarin dulu. Semua kerepotan ini baru rampung jam 22.00. Bagaimana kalau mengadakan "modernisasi"? Sarwono tidak bersemangat. Menurut dia, lewat mesin giling penyusutan bisa mencapai 5%. Sedang dengan cara biasa, paling susut 1%. Tapi rupanya "modernisasi" dilakukan juga. Mardjuki (48 tahun), juga asal Pekalongan, dan datang di Jakarta 1975, pertama kali menjadi buruh pabrik tahu milik Cina. Tahun berikutnya ia membeli mesin penggilingan dengan engkol-alat penggilingan kedelai dari batu yang biasa dipakai produsen tahu Jakarta asli. Tenaga yang berjumlah 8 orang secara bergilir kemudian menggiling mulai jam 03.00 sampai jam 22.0a. Dalam jangka itu 150 kg kedelai bisa dilumatkan. Tahun berikutnya, gilingan engkol diganti mesin dengan bahan bakar solar. Tenaga--nah--dikurangi menjadi 6 orang. Tahun 1978 Mardjuki membeli mesin yang lebih besar, yang.bisa menggiling kedelai 500 kg. Tapi, anehnya, dia cuma menggiling 150 kg. Lho? "Lha penjualannya susah," jawabnya. "Juga yang mengangkut kebetulan ndak ada." Pabrik Mardjuki di Cengkareng. Untuk pemasaran, ia menggunakan armada.sepeda. Tapi jalanan yang ramai rupanya membuat pengendara sepeda kapok. Misalnya suplai untuk Perumnas Cengkareng saja, untuk sementara dihentikan. Maklum, sungguh tak sedap melihat sepeda tahu disenggol Hardtop menaburkan muatannya sepanjang jalan. Bayangkan: 7 blek tahu yang pribumi itu terpenyet-penyet di aspal metropolitan yang mulia. "Teman saya sekampung sudah 4 orang mati ketabrak mobil," kata Kasbullah yang juga asal pekalongan. Karena itu produsen tahu di sekitar Kuningan atau Mampang Prapatan rupanya punya akal: armada sepeda diputuskan bergerak malam hari, bayangkan. Maka ada Kopti-Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia-yang di Jakarta beranggota 2.234 orang. Berdiri Maret tahun lalu, ini perkumpulan terutama ingin menekan harga kedelai agar tetap rendah. Disamping itu, "kami bukan saja mencoba meningkatkan produksi," kata A.R. Noor, Ketua Pusat. Tapi tidak meningkatkan Mutu atau setidak-tidaknya kebersihan, sistem pengepakan dan pemasaran. Untuk itu koperasi ini melihat sebuah mesin kecil bikinan jepang yang perbuahnya. Berharga sekitar Rp 15 juta, ini mesin "hanya dilayani 5-6 orang," dan setiap jamnya memproduksi 60 kg tahu. Lembek Lewat kalkulasi, Noor memperhitungkan dalam waktu 6 bulan harga mesin sudah bisa tertutup. Dan untuk "modernisasi" itu pula, empat orang dari mereka baru-baru ini berangkat ke Jepang- bersama dua orang dari Ditjen Industri kecil dan Ditjen Koperasi. Entah atas sponsor perusahaan mesin tahu atau tidak, mereka belajar mekanisasi produksi tahu, menurut Noor pula. Adakah pengangguran bakal lahir oleh upaya mekanisasi semacam ini? Gubernur Tjokropranolo sendiri, ketika menerima delegasi mereka 10 November kemarin, ada juga mempersoalkan masa depan para tahuwan. "Saya melihat, di pabrik tahu tradisional hubungan majikan dan buruhnya demikian akrab," Kata Gubernur. "Apakah suasana begitu akan bisa dipertahankan, bila pabrik berdiri? Dan apakah peningkatan produksi memang menaikan penghasilan mereka?" Kopti akhirnya hanya diperbolehkan beroperasi dengan mesin kecil. Mekanisasi rupanya memang tidak (atau belum?) sepenuhnya diterima para tahu tempewan. Bahkan Suahadi,(38 tahun), pengurus Kopti Jakarta Utara, menuturkan pendapat orang-orang, bahwa mesin itu malah bisa membawa rugi. Sebab alat modern pengupas kedelai itu ternyata tak mampu memisahkan kulit ari, kacang dan tunasnya-jadi masih diperlukan lagi tukang tampi. Karena itu para produsen menganggap cara lama lebih praktis. Dan di Kopti Jakarta Utara sendiri mesin pemecah kedelai ada tergolek-tapi rupanyanbelum ada yang berminat. Gubernur DKI sendiri berpendapat, tidk seharusnya"ilmu jepang diterapkan serta-merta di sini. Perlu diselidiki dulu." "Tahu Jepang itu" katanya, "lembek seperti ubur-ubur. Dan sulit digoreng, tidak seperti tahu kita. Sedang Orang jakarta senang tahu goreng".......

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus