Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Era Baru Dunia Televisi

Kemunculan RCTI menandakan babak baru dalam dunia pertelevisian Indonesia yang selama hampir tiga dekade dikuasai oleh TVRI. Tiba waktunya era stasiun televisi swasta.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA pertelevisian Indonesia memasuki babak baru. Mulai tahun depan, pemerintah mewajibkan semua stasiun televisi berhijrah dari analog ke digital. Awal Maret lalu, pemerintah bergerak cepat menyeleksi siaran televisi digital di 22 wilayah. Sebulan kemudian, pemerintah mengumumkan pemenang seleksi itu.

Di era Orde Baru, babak baru dunia pertelevisian dimulai oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). RCTI merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia setelah hampir tiga dekade siaran televisi dimonopoli Televisi Republik Indonesia (TVRI). Artikel majalah Tempo edisi 2 Juli 1988 berjudul “Tiba Masanya TV Swasta” mengulas kemunculan RCTI.

Jumlah penduduk tentu ikut menentukan pemasaran sebuah produk. Tidak terkecuali produk hiburan. Itulah tampaknya yang dijadikan pertimbangan oleh RCTI untuk terjun ke bisnis ini. Perusahaan televisi swasta pertama di Indonesia itu Kamis pekan lalu meresmikan peletakan batu pertamanya, yang dilakukan oleh Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto.

Sejak beberapa bulan lalu, ketika berita tentang stasiun televisi swasta tersebar luas, kehadiran RCTI sangat dinantikan, baik oleh masyarakat penonton maupun masyarakat pengusaha. Tapi kasus tanah yang dialaminya beberapa waktu lalu membuat orang bertanya, akan lancarkah proyek RCTI

Soalnya, tanah yang sudah disiapkan untuk stasiun pemancarnya digugat oleh pemilik asal, dengan alasan belum dijual. Dengan cepat RCTI merogoh Rp 770 juta dari koceknya untuk menyelesaikan sengketa dengan pemilik. Tidak hanya itu, RCTI telah menentukan segala sesuatunya dengan rapi, dari jadwal dan acara-acara yang akan ditampilkan, iuran para pelanggan, sampai tarif iklan bagi pengusaha.

Bahkan biro-biro iklan, yang kelak menjadi mediatornya dengan para pengusaha itu, sudah pula dikoordinasikan. “Kami yakin, sesuai dengan jadwal, Rajawali bisa mulai mengudara awal Oktober depan,” tutur Peter F. Gontha, Direktur RCTI, yang didampingi juru bicaranya, Zsa Zsa Yusharyahya.

Ucapan ini seirama dengan pembangunan studio di atas tanah seluas 10 hektare—akan menghabiskan biaya sekitar US$ 15 juta—yang kini dikebut dan diperkirakan selesai Maret tahun depan. Tapi mengapa siaran perdananya dimulai Oktober tahun ini, yang berarti lima bulan lebih cepat? Gontha menegaskan bahwa tidak mustahil siaran dilangsungkan dari bangunan yang belum jadi. 

Yang penting siaran bisa ditangkap oleh televisi pelanggan. Adalah penting juga untuk diketahui bahwa siaran itu disiapkan sebagai servis perdana RCTI. Siaran sejak Oktober 1988 sampai akhir Februari 1989 diberikan cuma-cuma. Pelanggan dibebaskan dari iuran rutin, yang sebesar Rp 30 ribu sebulan itu.

Tapi bukan berarti uang pelanggan tidak keluar. Dalam jangka waktu itu, pelanggan cukup membayar Rp 131 ribu. Ini mencakup uang muka Rp 75 ribu. Lantas,apa yang ditawarkan? Para pelanggan, yang jumlahnya ditargetkan akan mencapai 75 ribu pada Maret nanti, bisa menikmati acara televisi yang semuanya hiburan selama empat jam.

Untuk menyurvei selera penonton, RCTI merogoh koceknya Rp 30 juta. Dari hasil angket terbukti, 53 persen pemirsa menyukai siaran berita. Tapi tidak kurang banyaknya, di atas 53 persen menggemari acara hiburan, yang disusul dengan acara dokumentasi pengetahuan umum. Selera pelanggan memang merupakan faktor nomor satu bagi RCTI. Sedikit-banyaknya pemasang iklan juga sangat ditentukan oleh jumlah pemirsa khusus ini.

Apalagi tarif iklan yang dipasang tidak termasuk murah. Beberapa produsen bahkan sudah mulai melemparkan order pembuatan film iklan. Soebronto Laras, agen tunggal kendaraan bermotor seperti Suzuki, Mazda, Volvo, dan Hino, telah berancang-ancang untuk manampangkan produknya di RCTI. “Kalau perlu, iklannya akan kami lakukan jor-joran, agar bisa bersaing dengan yang lain,” ujar Soebronto. 

Tak pelak lagi, bisnis seperti RCTI boleh dibilang bisnis langka, kendati diincar banyak orang. Di samping itu, kendati investasi yang ditanamkan RCTI cukup “gajah” (US$ 90 juta, belum termasuk biaya operasi US$ 6.000 per jam), toh Gontha yakin dalam empat tahun perusahaannya bisa meraih untung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus