Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai bisnis obat yang menggiurkan membuat perusahaan farmasi dan sejumlah dokter bersekongkol untuk meraup untung berlipat. Tahun ini bisnis farmasi di Indonesia mencapai Rp 69 triliun. Majalah Tempo edisi 24 Juli 1993 pernah membahas soal kongkalikong dokter dan perusahaan obat ini.
Pembahasan bermula dari penarikan 285 jenis obat oleh Departemen Kesehatan sejak 1991. Dalam Seminar Pemakaian Obat pada Anak, di Yogyakarta, farmakolog terkemuka Iwan Darmansyah mensinyalir adanya perusahaan obat yang bermain kucing-kucingan dengan otoritas. Ada yang semula terdaftar sebagai obat diubah namanya menjadi jamu atau makanan sehat agar bisa terus dijual.
Sebagai contoh, obat penyakit liver Essentiale. Obat ini ditarik karena diragukan keampuhannya sebagai pelindung liver. Essentiale kemudian berganti nama menjadi makanan sehat. Mereknya Phyto Phospholipid.
Ada pula yang terang-terangan tampil dengan merek lama. Obat wasir Essaven, misalnya. "Saya percaya, masih ada beberapa merek obat lain yang sudah ditarik tapi masih beredar di pasaran," kata guru besar farmakologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Ada yang menuding obat-obat yang sudah ditarik itu juga masih beredar dalam bentuk racikan, bukan hanya sebagai tablet atau kapsul. Dari mana racikan itu datang? "Ada beberapa dokter yang masih membuatkan resepnya, padahal bahan itu sebenarnya sudah dilarang," kata seorang apoteker yang enggan disebut namanya.
Sinyalemen yang dilontarkan Iwan didukung Doktor Budiono Santoso. Kepala Laboratorium Farmakologi Klinik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini menyebutkan penarikan 44 jenis obat yang mengandung siproheptadin dan pizotifen sebagai contoh. Semua obat tersebut lantas dipromosikan sebagai sirop penambah nafsu makan bagi anak-anak.
"Para dokterlah yang semestinya memegang teguh kode etik. Jadi, jangan menulis resep melulu karena pesan sponsor," kata Slamet Soesilo, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Ia mensinyalir obat terlarang itu leluasa beredar karena kerja sama terselubung antara dokter dan produsen atau pedagang farmasi.
Jajaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, katanya, telah melacak kasus beredarnya Essaven dan Essentiale di Solo dan Semarang. Namun di lapangan mereka hanya menemukan Essentiale yang telah dikemas sebagai makanan sehat. "Sejauh tidak mencantumkan khasiat untuk mengobati suatu penyakit, boleh-boleh saja," kata Slamet.
Tentang jamu, dikatakannya, bisa saja jamu bebas beredar di pasaran asalkan berkhasiat tradisional, seperti meredakan masuk angin. Jadi, tidak menyangkut khasiat terapi. Adapun bahan bakunya adalah ekstrak tumbuhan, bukan bahan kimia.
Andai kata obat-obat yang dilarang itu masih beredar, Slamet menduga itu barang selundupan atau stok lama. Agar bisa lebih efektif membatasi peredarannya, ia mengimbau kalangan dokter tak lagi membuatkan resep untuk itu. Begitu pula pihak apoteker, supaya tidak melayaninya.
Wakil Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Anthony Sunarjo, menangkis sinyalemen yang memojokkan produsen obat ini. Terutama perkara kucing-kucingan itu. "Produsen tidak memanipulasi, tapi merasionalisasi komposisi obatnya," kata dia.
Rasionalisasi obat tampaknya sesuai dengan tujuan penarikan obat. Ketika itu, menurut bekas Menteri Kesehatan Adhyatma, penarikan dilakukan bukan karena obat tersebut berbahaya bagi tubuh, tapi pemakaiannya tidak rasional. Dengan kata lain, khasiatnya diragukan. Kalaupun digunakan, obat tersebut hanya "membolongi" kocek konsumen karena tidak berkhasiat menyembuhkan.
Kini beberapa pabrik obat sudah mencoba menertibkan. Menurut Anthony, yang juga Direktur Utama PT Kenrose, pihaknya telah melakukan itu pada Amilex. Semula obat tersebut ditarik karena mengandung bahan aktif efedrin, yang mengakibatkan jantung berdebar. Pihaknya lalu menghilangkan bahan aktif tadi dan mendaftarkan kembali obat itu ke Departemen Kesehatan untuk diproduksi dan diedarkan dengan nama yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo