Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
COBA fikir. Kalau anda mulai meninggalkan kebiasaan hanya sekali
memakai peci dalam setahun (lebaran atau hari-hari penting
lainnya), akan sama artinya dengan memberi angin baik bagi para
pembuat kopiah alias peci. Sebab berbeda dengan pengusaha
makanan, produsen peci umumnya hanya bekerja penuh selama 3
bulan dalam tiap tahun. Selebihnya mudah dibayangkan, hanya
sekedar bekerja agar tak disebut menganggur. Dan penghasilannya
juga apa adanya.
Keadaan serupa itu misalnya terlihat di lorong-lorong kecil tak
jauh dari pantai Gresik Di Jawa Timur. Di hari-hari menjelang
lebaran seperti sekarang, kesibukan luar biasa memang terlihat
pada ribuan orang pengrajin peci yang bekerja di emper-emper
rumah mereka di Gresik itu. Itupun hanya merupakan sisa-sisa
terakhir kesibukan. Sebab kesibukan sesungguhnya sudah mereka
mulai sejak 3 bulan sebelumnya: Jumadil-akhir, Rajab dan Sa'ban.
Ekspor
"Kalau sedang musim ramai, ada 9.000 pengrajin Gresik hidup dari
kopiah" tutur Amanullah, Ketua Koperasi Kopiah Gresik. Pada
waktu-waktu itu seorang pengrajin dapat mengantongi hasil antara
Rp 400 sampai Rp 1.000 tiap hari, tergantung berapa buah peci
yang mampu diselesaikannya. Untuk tugas melakukan perakitan
misalnya, seorang dapat menghasilkan 1 kodi peci sehari -- ini
berarti ia mengantongi Rp 1 000. Seorang pengusaha peci yang
lain, Andi Husnul -- dengan produksi ber-merk 28, Djaka Galing
dan Sawung Kaling --memperkerjakan 20 orang perakit. Dengan
jumlah itu berarti di belakangnya bersimpuh sekitar 180 orang
lagi yang mengerjakan komponen-komponen kopiah di rumah
masing-masing.
Di Gresik tercatat tak kurang dari 300 kelompok pengrajin.
Tetapi menurut Amanullah, di musim-musim sepi (terutama setelah
selesai bulan puasa) hanya kelompok-kelompok pengrajin besar
saja yang terus berproduksi. Inipun dengan mengurangi kegiatan.
Sedang yang kecil-kecil beralih ke usaha lain. "Kalau lagi
ramai, bikin berapa saja habis, bahkan kekurangan" tutur
Amanullah lagi Sebab katanya, pedagang peci yang bermodal besar,
berusaha membeli sebanyak-banyaknya untuk persediaan.
Untuk sedikit memantapkan kehidupan para pengrajin peci,
terutama di musim sepi, sejak awal 1979 ini Amanullah membentuk
koperasi. Badan ini menyediakan bahan-bahan dan terus melakukan
pembelian dari anggota-anggotanya meskipun dalam musim sepi.
"Dengan begitu pengrajin bisa hidup terus" sambung Amanullah.
Tapi belum banyak yang dilakukan koperasi itu, penyakit
kekurangan modal mulai menghambat. "Perlu modal sekitar Rp 200
juta" kata Amanullah dengan setengah putusasa. Dan ia segera
membandingkan: jika pabrik Semen Gresik dengan buruh sekitar
2.000 orang dapat modal milyaran rupiah, mengapa industri peci
dengan 9.000 tenaga tidak dapat memperoleh kredit 200 juta.
Tapi Andi Husnul melawan masa sepi dengan mengekspor ke
Malaysia. Di samping hasil produksinya sendiri, ia juga membeli
dari perusahaan-perusahaan lain untuk dikirim ke negara tetangga
itu. "Masih kecil-kecilan" ujarnya, "tiap bulan hanya 5.000 peci
diekspor." Tapi khusus untuk luar negeri Husnul menjual barang
dengan kwalitas lebih baik kalau untuk pasaran dalam negeri
sekodi peci habis biaya Rp 20.000, untuk ekspor dengan bahan
lebih baik sekodi menelan biaya produksi Rp 31.000. Harga
jualnya Rp 40.000 per kodi.
Kopiah Gresik memang telah terkenal sejak puluhan tahun lampau.
Ada beberapa daerah, seperti Semarang, yang memakai merk sendiri
tapi dengan peci buatan Gresik. Bahkan buatan Andi Husnul sering
dipesan pejabat-pejabat tinggi di Jakarta, terutama yang bermerk
28. Di Jakarta, merk ini dikenal juga dengan sebutan "Kopiah
Adam Malik".
Tetapi bukan berarti Jakarta sendiri tak menghasilkan peci. Di
Kebayoran Lama sejak kereta api belum terdapat di Jakarta telah
dikenal kelompok pengrajin peci di Kampung Ulujami. Pada mulanya
dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil di antara beberapa
keluarga. Sekarang mereka telah tergabung dalam Usaha Bersama
Pengrajin Peci Ulujami Pondok Pesantren Darunnajah Kebayoran
Lama. Dengan ketua Drs. Mahrus Amin (pimpinan Pesantren itu)
usaha bersama ini meliputi 2.000 kepala keluarga lebih dalam 200
kelompok.
Dengan 500 buah mesin jahit, tak kurang dari 6 kodi peci setiap
hari lahir di Kebayoran Lama. Celakanya kebanyakan mereka
berstatus tak lebih dari buruh. Sebab setelah mereka menerima
bahan, lalu mengerjakannya, barang jadi itu harus mereka
serahkan kepada si pemberi bahan. Upahnya Rp 6.000 untuk setiap
kodi (20 peci). Tapi jika kwalitasnya termasuk baik si pengrajin
dapat memperoleh Rp 12. 000 setiap kodi Kwalitas itu berharga Rp
900 per peci di pasaran. Sedangkan untuk kwalitas terbaik harga
pasaran sekitar Rp 1.500. "Peci yang paling laku adalah yang
mutunya kurang baik," tutur Mahrus Amin. Ini tentu karena
harganya murah dan hanya untuk sekali-sekali saja dipakai.
Peci Bung
Peci Pantas adalah merk yang terkenal sejak tahun 30-an di
kalangan pemakai kopiah. Ia dihasilkan oleh pengrajin-pengrajin
di Kampung Cidodol, Pasar Minggu Jakarta. Toko Pelangi di Proyek
Senen (Jakarta) yang menjadi salah satu agennya, setiap tahun
paling sedikit melakukan 1.500 buah peci merk ini. Harganya
memang cukup mahal dibanding merk lain, sekitar Rp 2.750 sebuah.
Para penggemarnya berpendapat mutu peci ini memang lebih baik,
lebih halus. Modelnya juga bermacam-macam. Seperti model Medan,
model Sulaman, atau model beludru yang lebih dikenal dengan
sebutan "peci Bung" -- karena sama model dengan yang pernah
dipakai Almarhum Bung Karno.
Dan memang Bung Karno dulu memakai peci merk Pantas. Menurut
Haji Syafril Umar Ali, pimpinan Toko Pelangi, bekas Presiden RI
itu pemakai peci paling banyak. Setiap tahun, katanya,
sedikitnya 15 kali Bung Karno berganti peci -- karena setiap
kali ke luar negeri harus dengan peci baru. Peci Pantas dulu
menggunakan bludru impor, tapi akhir-akhir ini sudah memakai
bahan dalam negeri.
Mudah diduga, jika para pengrajin peci juga menghadapi masalah
seperti yang terjadi di kalangan pada umumnya kekurangan modal.
Untuk mengekspor merk Pantas misalnya diperlukan modal cukup
besar untuk menumpuk bahan. Para pengrajin di Cidodol itu tak
mampu memperolehnya. Begitu juga para pengrajin di Ulujami. Bank
memang satu-satunya sumber modal yang mereka harapkan, tapi
satu-satunya keluhan mereka juga prosedur terlampau berbelit.
Kesulitan para pembuat kopiah itu tentu saja tidak tampak jika
melihat kesibukan penjualnya di pasaran hari-hari menjelang
lebaran ini. Empat orang grosir peci di Pasar Tanah Abang ramai
diserbu pengecer. Darus, misalnya, seorang penjual peci di
kaki-5 Pasar Tanah Abang, mengaku hari-hari di bulan puasa ini
ia menjual kopiah rata-rata 2 kali lipat dari hari-hari biasa.
Ia tak bersedia menyebut berapa yang laku setiap hari. Tapi,
katanya, jika hari biasa ia mengantongi keuntungan paling banyak
Rp2. 000, akhir-akhir ini ia dapat membawa pulang laba Rp 4.000
sehari. Pedagang kaki-5 yang lain, Sunarto, dengan muka
berseri-seri menunjukkan susunan uang Rp 9.000 di tangannya.
"Ini berarti keuntungan saya hari ini sudah Rp 3.000" ujarnya.
Di pasaran Jakarta harga sebuah peci berkisar antara Rp 300
(kopiah anak-anak) sampai Rp 3.000. Yang paling mahal tetap
buatan Gresik dan Jakarta Peci buatan Madura yang tinggi dan
model Padang yang lemas dan runcing tidak begitu disukai. Peci
berwarna (merah atau ungu) dan kembang-kembang juga jarang
peminat, harganya antara Rp750 sampai Rp 1.500.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo