Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUMUMAN yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Februari 2016 menampar muka pengasuh pondok pesantren. Lembaga ini menyebutkan ada 19 pesantren di berbagai daerah yang terindikasi mengajarkan radikalisme. Laporan utama Tempo edisi Ramadan 2016 ini mengulas sejumlah pondok pesantren yang memiliki perhatian pada isu toleransi dan pluralisme.
Pesantren memang jadi lembaga pendidikan tertua di Tanah Air. Laporan utama Tempo edisi 6 November 1982 mengulas perkembangan dan perubahan yang terjadi di sejumlah pesantren. Tulisan diawali dengan pidato Kaskopkamtib Jenderal Widjojo Soejono dalam Munas Perguruan dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Jakarta pada akhir Oktober 1982.
Jenderal Widjojo mengemukakan adanya dualisme pendidikan yang kita warisi sejak zaman Belanda. Pertama, pendidikan model Barat, yang antara lain bersifat intelektualistis dan berorientasi pada birokrasi. Dan kedua pendidikan pesantren, yang antara lain cenderung dogmatis dan populis. Kaskopkamtib mengharapkan pendekatan (lebih lanjut) di antara kedua sistem itu, sehingga terhindar kesukaran dialog yang sering terjadi di antara kedua kalangan.
Dalam realitasnya, banyak pesantren yang memiliki madrasah, dari ibtidaiyah, tsanawiyah, hingga aliyah. Di Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah, pesantren Pabelan, Muntilan, Magelang, kurikulumnya sangat modern. Semua gurunya, yang pria, memakai dasi. Sedangkan para santri putra di ruang kelas wajib pakai celana.
Madrasah, alias sistem kelas, adalah perubahan pertama. "Sebenarnya sejak 1950-an pesantren berubah menjadi madrasah," kata Dr Zamakhsyari Dhofier, anggota staf Litbang Departemen Agama. Hal itu dipicu oleh kebijakan pemerintah mengembangkan sekolah umum hingga tingkat kecamatan.
Perubahan berikutnya adalah materi yang diajarkan. Ada pesantren yang tidak memberikan pendidikan umum ke santrinya, tapi banyak pula yang mengadopsinya. Pondok Modern Gontor memberi penekanan pada penguasaan aktif bahasa Arab dan Inggris. Untuk jenjang SMP dan SMA, mereka mengklaim memberikan "l00 persen pendidikan agama dan 100 persen pendidikan umum".
Mayoritas pesantren memang tidak mengikuti Gontor. Mereka khawatir kemampuan santri memahami kitab-kitab klasik akan berkurang. Z.A. Syis, Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Departemen Agama, menjelaskan kitab-kitab kuno itu isinya tidak berbeda dengan yang baru. "Hanya sistematikanya berbeda," ujarnya.
Pada 1967, Yusuf Hasyim mendirikan Universitas Hasyim Asyari di Pesantren Tebuireng. Abdurrahman Wahid, keponakannya, memelopori pendirian SMP dan SMA pada 1975. "Bukan untuk meng-SMA-kan santri, tapi menyantrikan SMA," tutur Yusuf Hasyim. Sekolah umum juga dibangun pengelola Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya dan Pesantren Cipasung di Singaparna.
Hanya, tokoh seperti Kiai Sohib Bisri merasa kurang sreg. Ia menolak SMP dan SMA di lingkungan pesantren. "Itu policy saya dalam menjaga identitas pondok agar jangan sampai luntur," katanya. "Bisa-bisa madrasah kalah." Kiai Machrus dari Pesantren Lirboyo, Kediri, menjelaskan bahwa pondok yang sudah campur satu kompleks dengan SMA atau SMP biasanya keaslian pondok jadi hilang.
Dawam Rahardjo, waktu itu Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S), mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang diarahkan pada penciptaan anak didik yang cocok untuk bekerja di kantor. "Murid dinilai berdasarkan angka pelajaran, bukan berdasarkan kreativitasnya dalam mengembangkan pribadi. Dan pesantren memang bisa saja tidak luput dari pengaruh itu," katanya.
Karena itulah, menurut Dawam, LP3ES membantu pesantren yang dipandangnya sebagai medium pengembangan kemasyarakatan yang sangat efektif khususnya di pedesaan. Sejak 1976, mereka membina enam pesantren, pada 1980 menjadi 12 pesantren, dan kini 64 buah pesantren di Jawa, Madura, Sumatera, dan Kalimantan. LP3ES melatih pengelola pesantren membuat usaha kecil atau penghijauan lahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo