Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyerukan delapan tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Poin terakhir adalah usul pemakzulan Gibran dari kursi wakil presiden.
Tuntutan nomor satu membuat politik menjadi rumit: kembali ke UUD 1945 yang asli.
MILITERISME merangsek ke banyak segi. Bahkan untuk memakzulkan wakil presiden pun diperlukan gerakan Forum Purnawirawan Prajurit Tentara Nasional Indonesia. Ratusan pensiunan tentara menyerukan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, menyetop proyek strategis nasional, hingga mengadili mantan presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Poin mengadili Jokowi dicoret dari sembilan tuntutan para purnawirawan yang dibawa Jenderal Wiranto, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kepada Presiden Prabowo Subianto. Sikap Prabowo atas delapan tuntutan para seniornya itu, menurut Wiranto, adalah mengkajinya lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mungkin ini sandiwara saja. Liputan utama edisi pekan ini mencoba menelusuri apakah Prabowo mengetahui gerakan para purnawirawan tentara itu sebelum meledak menjadi tuntutan yang ia terima. Soalnya, para purnawirawan ini membahas tuntutan itu sejak pertengahan 2024 ketika Gibran sudah terpilih menjadi wakil presiden tapi kekuasaan masih ada di tangan ayahnya, Joko Widodo.
Rancangan Sampul Tempo Orkes Pemakzulan Gibran.
Menerima Wiranto yang membawa tuntutan pemakzulan Gibran itu saja agak aneh untuk sebuah manuver politik. Terlalu telanjang. Apalagi Prabowo terlihat “bermesra-mesraan” dengan Jokowi. Dia berulang kali menemui mantan bosnya itu di Solo, Jawa Tengah, lalu meneriakkan “Hidup Jokowi” dalam pidato peringatan ulang tahun Partai Gerindra.
Ketika suara pemakzulan Gibran makin deras, Prabowo menunjuk Jokowi mewakilinya dalam acara pemakaman Paus Fransiskus pada Sabtu, 26 April 2025. Kepala negara lain datang sendiri memberikan eulogi. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan Presiden Amerika saat ini, Donald Trump, menghadiri misa tanpa menunjuk wakil.
Prabowo seperti menghadapi dilema dua kepentingan yang menjepitnya. Usaha kerasnya menemui Megawati Soekarnoputri, yang berseteru dengan Jokowi, makin meneguhkan dugaan bahwa Prabowo mengetahui sesuatu sedang terjadi yang akan membuat hubungannya dengan Jokowi tegang.
Bagaimanapun Prabowo bisa menjadi presiden berkat Jokowi dan kekuasaan tersisa di kabinetnya. Setelah Jokowi mengalahkannya dalam Pemilihan Umum 2019, dia menerima pinangan masuk kabinet. Prabowo tunduk saja pada skenario Jokowi menyodorkan anaknya menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan 2024, kendati lolos melalui skandal rekayasa Undang-Undang Pemilu.
Dalam pemilu, Jokowi dan Prabowo saling memanfaatkan dalam hubungan mutualisme. Jokowi memakai kekuasaannya untuk memenangkan anaknya, sementara Prabowo ngebet menjadi presiden. Kini Gibran dan Jokowi telah menjadi beban bagi Prabowo karena seolah-olah memunculkan matahari kembar kekuasaan.
Maka, jikapun Prabowo kini menghadapi dilema antara menghindari konflik dengan Jokowi dan mengikuti usul para purnawirawan TNI, itu konsekuensi keputusannya.
Para purnawirawan TNI itu juga telat bersikap. Seharusnya gagasan ini mereka sampaikan sebelum Prabowo menerima pinangan Jokowi. Jika mereka menganggap pencalonan Gibran hasil rekayasa hukum, seharusnya mereka menyarankan Prabowo tak usah menerimanya. Para negarawan akan mengutamakan hukum di atas kepentingan politik, apalagi untuk sekadar memenangi pemilihan presiden.
Enam tuntutan para jenderal itu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Jokowi. Jika mereka menganggap kebijakan itu—dari proyek strategis nasional, regulasi pertambangan, hingga Ibu Kota Nusantara—keliru, mereka akan menyarankan Prabowo menjadi negasi Jokowi. Nyatanya, Jenderal Prabowo malah menyerukan “keberlanjutan” program Jokowi.
Dengan segala ulah Jokowi dan nirpengalaman Gibran, tuntutan pemakzulan terdengar menyenangkan. Konstitusi pun mengakomodasi pemakzulan wakil presiden asalkan memenuhi syarat dan Dewan Perwakilan Rakyat mendukungnya. Namun, jika itu berhasil, pemakzulan akan menjadi preseden bagi kepentingan politik yang berubah setelah pemilu.
Apalagi jika tuntutan nomor 1, kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, dikabulkan. Kita akan menghadapi turbulensi politik yang rumit. Pemilihan presiden dikembalikan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi dibubarkan, dan banyak undang-undang diubah agar sesuai dengan UUD 1945.
Pendeknya, kita akan memutar waktu ke zaman gelap Orde Baru dengan ongkos mahal. Tahap awal menuju ke sana adalah militerisasi dalam segala aspek. Tanpa kembali ke UUD 1945 saja, Prabowo membawa tentara tak sekadar memiliki dwifungsi, tapi multifungsi. Kini kita pula yang ikut menanggung dilema itu. ●