Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SYABERAWI adalah laki-laki berusia 40 tahun. Pekerjaan
sehari-hari secara resmi, pegawai kantor pos setempat, kota
Martapura Kalimantan Selatan.
Isteri Syaberawi tergila-gila pada bacaan komik yang berisi
ceritera silat. Setiap hari sambil belanja di pasar, selain
sayur dan lauk yang dibelinya, ada pula setumpukan buku silat
yang dipinjam berdasarkan sewa. Sering, "lauk bertambah kecil,
sedangkan tumpukan buku yang dibawa bertambah besar," ujar
Syaberawi.
Jengkel karena uang dapur digerogoti untuk menyewa komik,
sementara nafsu isteri untuk membaca tidak dapat dibendung,
dijuallah kendaraan satu-satunya yang dimilikinya. Sebuah sepeda
motor DKW. Dia percaya bahwa Tuhan maha pemurah dan setiap orang
bisa mencari rezeki kalau saja dia mau berusaha. Uang hasil
penjualan DKW itu dia belikan buku-buku komik dan sebuah kios
yang terbuat dari papan dan seng.
Tidak Paceklik
Kini, di sisi Balai Pemuda di kota Martapura, kios buku
Syaberawi cukup banyak dicari orang. Selepas magrib, Syaberawi
menyalakan lampu stromkingnya. Kiosnya mulai dibuka sekitar jam
19.00. Satu-satu para langganan muncul. Ada yang mengembalikan
sebuah dua buah buku. Tidak jarang ada yang membawa sebakul buku
yang harus dikembalikan. Ini yang tergolong kutu buku. Ada pula
yang datang cuma untuk numpang baca di tempat.
Sewa setiap jilid buku komik, Rp 15 sehari. Sebuah novel yang
lagi Pop, Rp 50. Tumbuhnya berbagai cergam, buku silat atau
novel, telah menaikkan rezeki penyewa buku dengan lebih lumayan.
Kalau cuaca baik, kios dibuka sampai jam 11.00 malam. Tidak
jarang, tengah malam rumahnya toh digedor orang, sementara dia
sedang nyenyak tidur. Bukan apa-apa, itu cuma seorang pembaca
silat yang kecanduan dan ingin membaca ceritera lanjutannya
malam itu juga. "Biasanya mereka yang kecanduan membaca ceritera
silat karangan Kho Ping Hoo," ujar Syaberawi. Apa boleh buat,
langganan adalah raja. Syaberawi pun bangun dari tidurnya dan
biarpun gerimis, dia berjalan setengah melek menuju kiosnya
untuk mengambil buku yang dikehendaki si pecandu.
Pecandu Kho Ping Hoo akan tertawa puas kalau buku sambungan yang
dia kehendaki bisa ketemu. "Celakanya, kalau sambungan buku
tidak ketemu dan masih di tangan orang lain," ujar Husin, 56
tahun, rekan Syaberawi yang juga menyewakan buku. Tambah Husin
lagi: "Sering, si langganan lantas menanyakan di mana si alamat
penyewa buku yang dia kehendaki. Biasanya, malam itu juga, ia
datangi rumahnya. Pembaca Kho Ping Hoo fanatik sekali untuk
membaca ceritera sampai selesai. Dan harus selesai."
Dan berapa pendapatan penyewa buku? "Wah, jangan tanya tentang
uang," kata Syaberawi. Dia kemudian memperkirakan setiap malam
uang masuk sekitar Rp 1.000 sampai Rp 3.000. "Saya sendiri tak
pernah mengantongi uang," tambah Syaberawi lagi. Karena setiap
pendapatan uang, telah ada tempatnya masing-masing. Gaji sebagai
pegawai kantor pos dia belikan buku baru. "Semuanya, ludas, saya
belikan buku," kata Syaberawi lagi. Sebab tanpa tambahan buku
baru, penyewa buku akan merosot jumlahnya atau lari ke kios lain
yang mempunyai perpustakaan lebih komplit. Hasil sewa buku, dia
bagi. Sebagian untuk celengan dan sebagian lagi untuk
mempertebal asap di dapur. Karena itu dia tidak pernah merasa
paceklik. kalau tanggal tua, seperti kebiasaan pegawai negeri
pada umumnya. Sebab, buka kios sebentar, uangpun - masuk.
"Biarpun cuma limabelas rupiah atau seratus," tambahnya lagi.
Karena itu Syaberawi merasa seperti orang kaya. Hidupnya tetap
sederhana, "tapi tak pernah saya tidak berduit. Itu 'kan artinya
kaya," katanya. Tambahnya lagi "Masuk kios dan saya pandangi
deretan buku-buku yang saya miliki, dada saya terasa lapang.
Rasa bahagia." Isterinya, tentu juga puas. Kini selain bisa
gratis membaca buku apa saja, dia juga membantu sang suami,
kalau langganan datang pagi hari yaitu sementara Syaberawi
bekerja di kantor.
Husin, rekan Syaberawi, memulai usaha sedikit lain. Dia tadinya
juga kutu buku. Buku-buku ilmu pengetahuan dan sastera yang
dibelinya, dia coba untuk dipajang di kios yang baru dibukanya.
Orang sepi-sepi saja. Dia tambahkan beberapa ceritera bergambar,
komik silat dan novel-novel karangan Motinggo Boesye, Ashadi
Siregar, Marga T., Abdullah Harahap. Eh, penyewa mulai
berdatangan. Tidak menoleh ke buku pengetahuan dan sastera yang
telah dipajangnya terlebih dahulu, tapi ke koleksi Husin yang
terakhir. Karena terdesak oleh komik dan novel pop, buku sastera
kemudian masuk peti dan buku pengetahuan kembali ke rumah.
"Dulu, 10 kali disewakan, modal telah kembali," kata Husin,
"kini 20 kali disewakan, baru modal bisa kembali." Husin
mengeluh tentang mahalnya harga buku. Sekarang buku silat per
jilid berharga Rp 250. Dulu cuma Rp 150. Karena itu novel
terpaksa dia sewakan Rp 100 dan silat Rp 20. "Idealnya sewa buku
harus 10% dari harga buku," tambah Husin. Tapi daya sewa orang
awam tak dapat ditingkatkan, khususnya untuk komik dan silat.
Penggemar buku silat memang luas sekali. Mulai dari tukang beca,
pedagang, pelajar sampai bapak jaksa. Sering tampak buku silat
seri Kho Ping Hoo berjajar dengan kitab Yassin. Rupanya penghuni
rumah seusai mengaji, disambung dengan Kho Ping Hoo, kemungkinan
besar sampai kokok ayam bersahutan tanda subuh telah tiba.
"Tapi risikonya banyak, dalam menyewakan buku," ujar Syaberawi.
Yang getol membaca, biasanya memberikan uang jaminan Rp 2.000
sampai Rp 3.000 dengan syarat, pemilik kios harus memberikan
buku baru kepadanya terlebih dahulu. Ada juga langganan yang
mengomel karena dia tidak dilayani terlebih dahulu. Yang
menyedihkan kalau buku kembali penuh dengan coretan gambar dan
komentar. Bahkan ada lembaran halaman yang sobek dan hilang.
Lembaran yang hilang, berarti buku sudah tidak bisa disewakan
lagi. Kalau uang sewa belum tertutup impas dari harga buku
tersebut, rugilah yang diderita oleh pemilik buku. Sialnya lagi
kalau buku tidak dikembalikan. Lebih sial pula kalau yang tidak
dikembalikan itu adalah jilid terakhir sebuah ceritera silat
yang menarik.
Karena itu tukang sewa selalu memesan buku lebih dari sebuah
untuk buku yang diperkirakan akan banyak mendapat pasaran baca.
Langganan biasanya selain dicatat nama dan alamat, harus
memberikan sejumlah uang jaminan. Uang mana bisa sewaktu-waktu
dikembalikan kalau buku yang disewanya kembali pula. Biasanya
sedikit berkurang dari harga beli buku. Kalau langganan orang
biasa, justeru Husin atau Syaberawi tidak mengalami kesulitan.
Celakanya, kalau yang menyewa buku itu orang gedean dari kota
tcrsebut. Dimintakan uang jaminan, biasanya dibalas dengan suara
gertakan: "Masak nggak percaya sama saya. Kenal kan saya ini
siapa?"
Kalau sudah ada suara demikian, pemilik kios harus mafhum. Buku
diberikan, tanpa uang jaminan. "Puas tidaknya membaca buku yang
kami sewakan," kata Husin, "terpancar dari raut muka pembaca.
Biasanya kami mencoba mengecilkan rasa tidak puas pembaca."
Syaberawi sendiri menyatakan kepuasan hatinya setelah dia
ber-dwifungsi sebagai pegawai kantor pos dan tukang menyewakan
buku. Sepuluh tahun lamanya sudah, dia bergelut dengan
buku-buku. Karena itu, tidaklah heran kalau separuh truk akan
penuh oleh buku-buku bila dia boyong untuk bertugas di kota
lain. "Betul, melihat tumpukan buku saja saya sudah merasa
kaya," kata Syaberawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo