Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU hari yang cerah, Paul Savoy general manager PT Inco berikut
isteri dan kawannya, Dr Bell, pergi menyelam di danau Matana.
Menyelam lengkap dengan tabung zat asam (scuba diving) memang
satu-satunya rekreasi dan olahraga yang digemari orang-orang di
tambang nan terpencil itu. Tak diketahuinya, bahwa acara
menyelam hari itu bakal membuka tabir yang sudah lama terkatup
di bawah air
Menyusuri tebing kapur di pinggir danau No. 2 terdalam di dunia
itu, tiba-tiba pada kedalaman 13 meter mereka menemukan mulut
gua di tebing bawah air itu. Savoy dan Bell terus masuk. Apa
yang mereka temukan di dalamnya? Mulut gua itu hanyalah pintu
masuk ke gua yang lebih besar, dan di gua kapur bawah air itu
mereka temukan beberapa kerangka eks manusia dan sejumlah besar
senjata tajam - tombak, parang dan pedang. Dibantu oleh isteri
mereka, kedua orang asing itu mengangkut sejumlah senjata tajam
itu keluar dari gua, terus ke permukaan danau di mana pesawat
amfibi Lake Buccaneer milik perusahaan diparkir.
Ada 25 senjata tajam yang dibawa Dr Bell ke rumahnya, dan
pasangan Paul dan Lilian Savoy juga membawa squmlah besar
senjata tajam untuk hiasan di rumahnya. Ketika wartawan TEMPO
G.Y. Adicondro bertandang ke rumah orang Perancis itu di
Soroako, tinggal 7 buah yang tergantung di dinding. Ukurannya
macam-macam. Mulai dari pedang yang panjangnya « meter lebih,
sampai ujung lembing yang hanya sqengkal. "Meskipun anda
berminat, kami tidak mau memberikan sebuah pun pada anda, atau
siapa pun juga. Sebab hanya tujuh buah itulah yang tinggal milik
kami. Banyak yang kami berikan pada orang, yang janji mau
menanyakan umur senjata-senjata tajam itu di museum, tapi sampai
sekarang tidak ada yang mengabarkan jawabannya pada kami", kata
Lilian yang ikut menyelami 'harta karun' itu.
Harta karun, memang bolehlah barang-barang itu disebut begitu.
Sebab di kota tambang Soroako itu, tidak ada yang tahu pasti
berapa umur senjata-senjata tajam yang diangkut Paul Savoy dan
Dr J.A.E. Bell dari tebing danau itu. Orang mulai menduga-duga
bahwa itu senjata purba, namun dari bentuknya yang rada
kontemporer, dugaan itu dilepaskan. Lantas orang mulai
menduga-duga, bagaimana puluhan senjata tajam itu sampai
tergeletak di gua kapur, 13 meter di bawah muka air bersama
kerangka-kerangka manusia.
Ada yang beranggapan, gua kapur di bawah air itu memang kuburan
penduduk asli daerah Soroako mengingat tradisi tetangga mereka
orang Toraja mengubur mayat di gua-gua di tebing gunung.
Namun bagaimana caranya mengubur orang di bawah air? Kalau mayat
sekedar dibuang ke dasar danau dari perahu, bisa hancur sebelum
sampai ke dasar danau yang dalamnya 645 meter itu. Untuk dapat
memasukkannya ke gua bawah air, penduduk asli di pinggir danau
Matana harus punya kemampuan menyelam sampai kedalaman 13 meter.
Tanpa tabung zat asam, jadi hanya mengandalkan paru-paru alam,
mana mungkin mereka menyelam sampai kedalaman itu membawa mayat
dan senjata tajamnya, kemudian menyusup masuk ke gua yang
pintunya tidak seberapa besarnya.
Lebih Banyak
Oke, katakanlah itu kuburan di bawah air. Tapi mengapa
senjata-senjata tajam sebanyak itu pun ditumpuk di gua itu, jauh
lebih banyak dari pada yang dapat digunakan oleh jenazah-jenazah
itu di alam baka? Makanya ada yang berpendapat, bahwa
senjata-senjata sebanyak itu memang sengaja disembunyikan
orang-orang tertentu di gua kuburan itu.
Lantas siapa yang menyembunyikannya? Untuk tidak terlalu
berpaling ke zaman dulu, ada yang berpendapat bahwa
senjata-senjata itu adalah hasil razzia yang dilakukan
gerombolan Kahar Muzakkar di daerah itu untuk mencegah
perlawanan penduduk. Suatu tempat penyimpanan yang memang hebat,
yang mestinya diberitahukan pada gerombolan DI-TII itu oleh
penduduk asli yang tahu adanya gua-kuburan bawah air itu.
Meskipun bentuknya rada kontemporer - kecuali gagang pedang dan
parang yang rada antik, dekoratif - toh ada yang tidak puas
menerima besi itu sebagai baja modern. Maklumlah, dalam
cyclopaedia Britannica jilid 5 ada disebutkan, bahwa daerah
Luwu (dulu kesultanan, kini kabupaten), di mana danau Matana
berada, terkenal karena pandai besinya. Bahkan nama Sulawesi
sendiri, menurut seorang geolog Inco, B.N. Wahyu, berasal dari
sula (= ujung lembing) dan wesi (= besi). Atau menurut penuturan
orang-orang Makassar, istilah Belanda, "Celebes" sendiri berasal
dari kata-kata Makassar selle-selle bassi (=menempa besi).
Romusha
Semuanya itu menunjukkan, dan hal ini masih dapat dipertegas
oleh orang-orang tua di Soroako, bahwa daerah itu dulu dikenal
karena pandai-pandai besi di situ dulu mampu membuat
senjata-senjata tajam dari bijih besi, nikel dan mangaan yang
membuat kesultanan luwu jaya sebelum kedatangan orang-orang
Barat ke Indonesia. Namun B.N. Wahyu yang juga menjabat sebagai
Manajer Humas PT Inco punya teori lain: di masa pendudukan
Jepang ahli-ahli negeri Sakura itu dengan bantuan romusha,
tentunya - membangun jalan kereta api di Tanah Toraja. Namun
setelah Jepang angkat kaki, jalan kereta api itu terbengkalai
(seperti juga di Sumatera Tengah). Rel-relnya dilego sebagai
besi tua, dan sebagian terdampar di sekitar danau Matana dan
ditempa menjadi senjata tajam oleh pendudluk setempat yang masih
mewarisi kepandaian nenek-moyangnya.
Nah, sekarang senjata-senjata tajam itu - ada yang dimiliki
Philip Jessup, Jr, manajer PT Inco di Jakarta - tinggal diuji
komposisi logamnya oleh ahli metalurgi. Apa itu baja primitif,
atau baja modern. Tapi siapa tahu, orang Muangthai pun sudah
mampu membuat kuningan sebelum ilmu itu menyebar ke India,
Tiongkok dan Timur Tengah. Dari tambang-tambang lokal, lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo