Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK pertama kali setelah mengkuti berbagai lomba, Alex
Adrianus Boediono, 22 tahun, memenangkan Lomba Perancang Mode
1982 yang diadakan majalah Femina & Gadis. "Di pagi hari, dia
masih masuk ranking ke-4 dalam penilaian saya," ujar Peter Sie,
salah seorang dari lima juri luar. Baju-baju yang bertema
"Batik" dan bermotif besar-besar itu memang kurang menarik
sewaktu digantung. "Hanger appeal kurang," tambah Peter Sie,
"meskipun saya menghargai pemrosesan batiknya sendiri."
Tetapi ketika baju-baju Alex diperagakan, guntingan yang
mendekati gaya folklorik itu cukup memukau. "Juga setiap bajunya
bisa dipakai," tambah Prayudi, juri yang lain. Meskipun motif
batik besar, guntingan Alex pantas dipakai siapa saja. Orang
Indonesia ataupun orang kulit putih. Juri-juri lainnya, Rima
Melati, Sumi Hakim dan Milo, menilai bahwa jahitan Alex cukup
rapi. Lewat angket, hadirin pun telah memilih Alex. Jadi
pantaslah kalau orang Klaten ini diangkat sebagai Pemenang
Pertama.
Lomba Perancang Mode yang diadakan sejak 1979, kali ini diikuti
peserta lebih sedikit dari sebelumnya, cuma 153 orang peserta.
Scdangkan tahun-tahun sebelumnya berkisar sekitar 400 peserta. "
Ini bukan berarti turunnya entusias mode," ujar Peter Sie,
"tetapi persyaratan yang dituntut semakin berat." Pembagian
hadiah kepada para pemenang berlangsung 1 September lalu di
Hotel Borobudur, Jakarta.
Peserta selain harus tamatan SLTA juga harus pernah mengikuti
kursus mode. Kalau sebelumnya dititikberatkan pada hal-hal yang
ideal dalam pencarian bibit, kini lebih dilihat: apakah seorang
ahli mode itu akan betul-betul setia pada profesinya. Pilihan
jatuh pada mereka yang seoptimal mungkin, profesional. Dan ini
menuntut kerapian yang mutlak, pengetahuan fashion yang luas
selain kreativitas.
Menggali, tampaknya telah dilakukan oleh beberapa finalis. Lily
Indrawati Mintardi, misalnya, memadukan kain perada Bali (yang
biasa dipakai untuk menari) dikombinasikan dengan linen polos.
Cukup indah dan kreatif, "tapi sayang jersey yang dijahit tampak
keriput," kata Prayudi. Rahmat Faisal, dari Tasikmalaya dan kini
jadi guru mode, telah menyajikan batik katun yang dikombinasikan
dengan bordir. Panggilan kedaerahannya cukup kuat, tetapi tema
dan busana yang dibuatnya, kurang cocok. Rahmat telah memilih
tema Merak yang terkenal anggun, sombong dan indah. Tetapi warna
hijaunya bukan hijau burung merak (yang biasa disebut tosca).
Juri juga menganggap bahwa bordir yang rumit dari benang emas
sebaiknya tidak dibuat di atas katun. Rahmat tidak mendapat
nomor. Tapi dia tidak sendirian. Sketsa Dandy Burhan yang
mengetengahkan ciri pop dari ronggeng dalam ciptaannya, memang
cukup jempolan. Tapi ia juga kalah. Padahal sketsanya sering
dimuat majalah Vogue dan Bazaar. Selama ini Dandy, tamatan
sekolah mode di Lette Verrein Berlin, menjual sketsanya di
Berlin dan Paris. Dandy dalam lomba ini mengetengahkan warna
abu-abu dengan anggrek merah muda. Baju-baju ciptaannya dijahit
Maartri Djorghi, yang tahun lalu menjadi pemenang utama.
Juri tentu cenderung memilih yang bukan saja bisa membuat
sketsa, tetapi juga yang bisa memotong dan menjahit, di samping
pengetahuan tentang berbagai macam bahan baju (materials).
Teggie yang berhasil meraih pemenang nomor 2, dengan menyajikan
kostum panggung yang rumit dan menggunting serta menjahit
sendiri. Tentu bersanm timnya, tetapi potongan gaya Cleoptra itu
telah diselesaikannya dengan rapi.
Sedangkan Adrianto Halim, 26 tahun, yang telah berhasil membuat
esei terbaik, meraih pemenang nomor 3. Ciptaannya sangat
wearable, sederhana dan memilih warna putih dengan panah-panah
hitam yang unik. Kelebihan Adrianto yang lain ialah baju-baju
ciptaannya cenderung untuk cepat dijual.
Jadi bukan hanya unsur keindahan saja yang dinilai. Artinya
ukuran yang profesionalisme itu mencakup juga daya pakai dan
daya jual, di samping juga seorang perancang harus seorang
organisator yang baik.
Selain juara 1, 2 dan 3, Femina & Gadis kali ini juga
menyediakan Juara Harapan 1, 2 dan 3 (Berliana B., Suryati
Benniardi dan Paula Hudijana) dari 10 orang finalis. Dari lomba
ini tampak bahwa ada lonjakan kualitas. "Cuma memang belum dalam
taraf internasional," ujar Peter Sie. Kontrol tentang kualitas
belum dilakukan secara intensif di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo