Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Si perancang dari klaten

Lomba perancang mode 1982, diadakan oleh majalah femina dan gadis, mencari bibit profesional, keluar sebagai pemenang ke-1, alex adrianus boediono.(ils)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kali setelah mengkuti berbagai lomba, Alex Adrianus Boediono, 22 tahun, memenangkan Lomba Perancang Mode 1982 yang diadakan majalah Femina & Gadis. "Di pagi hari, dia masih masuk ranking ke-4 dalam penilaian saya," ujar Peter Sie, salah seorang dari lima juri luar. Baju-baju yang bertema "Batik" dan bermotif besar-besar itu memang kurang menarik sewaktu digantung. "Hanger appeal kurang," tambah Peter Sie, "meskipun saya menghargai pemrosesan batiknya sendiri." Tetapi ketika baju-baju Alex diperagakan, guntingan yang mendekati gaya folklorik itu cukup memukau. "Juga setiap bajunya bisa dipakai," tambah Prayudi, juri yang lain. Meskipun motif batik besar, guntingan Alex pantas dipakai siapa saja. Orang Indonesia ataupun orang kulit putih. Juri-juri lainnya, Rima Melati, Sumi Hakim dan Milo, menilai bahwa jahitan Alex cukup rapi. Lewat angket, hadirin pun telah memilih Alex. Jadi pantaslah kalau orang Klaten ini diangkat sebagai Pemenang Pertama. Lomba Perancang Mode yang diadakan sejak 1979, kali ini diikuti peserta lebih sedikit dari sebelumnya, cuma 153 orang peserta. Scdangkan tahun-tahun sebelumnya berkisar sekitar 400 peserta. " Ini bukan berarti turunnya entusias mode," ujar Peter Sie, "tetapi persyaratan yang dituntut semakin berat." Pembagian hadiah kepada para pemenang berlangsung 1 September lalu di Hotel Borobudur, Jakarta. Peserta selain harus tamatan SLTA juga harus pernah mengikuti kursus mode. Kalau sebelumnya dititikberatkan pada hal-hal yang ideal dalam pencarian bibit, kini lebih dilihat: apakah seorang ahli mode itu akan betul-betul setia pada profesinya. Pilihan jatuh pada mereka yang seoptimal mungkin, profesional. Dan ini menuntut kerapian yang mutlak, pengetahuan fashion yang luas selain kreativitas. Menggali, tampaknya telah dilakukan oleh beberapa finalis. Lily Indrawati Mintardi, misalnya, memadukan kain perada Bali (yang biasa dipakai untuk menari) dikombinasikan dengan linen polos. Cukup indah dan kreatif, "tapi sayang jersey yang dijahit tampak keriput," kata Prayudi. Rahmat Faisal, dari Tasikmalaya dan kini jadi guru mode, telah menyajikan batik katun yang dikombinasikan dengan bordir. Panggilan kedaerahannya cukup kuat, tetapi tema dan busana yang dibuatnya, kurang cocok. Rahmat telah memilih tema Merak yang terkenal anggun, sombong dan indah. Tetapi warna hijaunya bukan hijau burung merak (yang biasa disebut tosca). Juri juga menganggap bahwa bordir yang rumit dari benang emas sebaiknya tidak dibuat di atas katun. Rahmat tidak mendapat nomor. Tapi dia tidak sendirian. Sketsa Dandy Burhan yang mengetengahkan ciri pop dari ronggeng dalam ciptaannya, memang cukup jempolan. Tapi ia juga kalah. Padahal sketsanya sering dimuat majalah Vogue dan Bazaar. Selama ini Dandy, tamatan sekolah mode di Lette Verrein Berlin, menjual sketsanya di Berlin dan Paris. Dandy dalam lomba ini mengetengahkan warna abu-abu dengan anggrek merah muda. Baju-baju ciptaannya dijahit Maartri Djorghi, yang tahun lalu menjadi pemenang utama. Juri tentu cenderung memilih yang bukan saja bisa membuat sketsa, tetapi juga yang bisa memotong dan menjahit, di samping pengetahuan tentang berbagai macam bahan baju (materials). Teggie yang berhasil meraih pemenang nomor 2, dengan menyajikan kostum panggung yang rumit dan menggunting serta menjahit sendiri. Tentu bersanm timnya, tetapi potongan gaya Cleoptra itu telah diselesaikannya dengan rapi. Sedangkan Adrianto Halim, 26 tahun, yang telah berhasil membuat esei terbaik, meraih pemenang nomor 3. Ciptaannya sangat wearable, sederhana dan memilih warna putih dengan panah-panah hitam yang unik. Kelebihan Adrianto yang lain ialah baju-baju ciptaannya cenderung untuk cepat dijual. Jadi bukan hanya unsur keindahan saja yang dinilai. Artinya ukuran yang profesionalisme itu mencakup juga daya pakai dan daya jual, di samping juga seorang perancang harus seorang organisator yang baik. Selain juara 1, 2 dan 3, Femina & Gadis kali ini juga menyediakan Juara Harapan 1, 2 dan 3 (Berliana B., Suryati Benniardi dan Paula Hudijana) dari 10 orang finalis. Dari lomba ini tampak bahwa ada lonjakan kualitas. "Cuma memang belum dalam taraf internasional," ujar Peter Sie. Kontrol tentang kualitas belum dilakukan secara intensif di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus