Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alun-Alun Kota Bogor
WALI Kota Bima Arya mengubah Taman Topi menjadi Alun-alun Kota Bogor. Terlihat megah dan akhirnya Bogor punya tempat berkumpul serta menambah taman publik. Tapi agaknya pemerintah kota tak menimbang lokasinya atau menambah sarananya sehingga menjadikan Taman Topi—dulu terkenal karena ada patung Kapten Muslihat yang menjadi nama jalan di sini—sebagai alun-alun akan menghasilkan problem lain, yakni kemacetan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kota-kota dunia, alun-alun atau taman kota di pinggir jalan tentu tak masalah. Malah bagus karena aksesnya menjadi mudah terjangkau. Di Bogor, ketika satu lokasi menjadi tempat berkumpul, ke situlah angkutan perkotaan akan ngetem. Alun-alun Bogor belum dibuka meski sudah diresmikan. Selain belum selesai sepenuhnya, kemacetan pun terjadi sehingga kini lokasi itu dipagari garis polisi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menjadi alun-alun, jalan di depannya adalah pusat kemacetan karena tak tersedia area untuk angkot ngetem menunggu penumpang. Sopir angkot tentu tak cukup diberi peringatan dengan rambu dilarang parkir. Polisi berjaga di pertigaan, tapi kemacetan selalu saja terjadi di jalan ini. Maka menjadikan Taman Topi sebagai alun-alun akan menambah kemacetan.
Jika pemerintah Bogor tak menghitung dampak menjadikan Taman Topi sebagai alun-alun dalam hal kemacetan dan sampah, agaknya perlu dipikirkan ulang antisipasi kemacetannya. Misalnya membuat jalan terowongan di bawah alun-alun. Tapi tentu saja biayanya mahal.
Semoga ada solusi sehingga keinginan mempercantik kota untuk mengesankan pejabat bekerja tidak malah membuat ekses yang membuat kota kian sumpek.
Dewi B.
Bogor, Jawa Barat
Reorientasi Industri Pertahanan
KONDISI geopolitik dunia selalu berubah secara dinamis. Perubahan ini terkadang menimbulkan friksi dan eskalasi. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di kawasan Laut Natuna Utara (d/h Laut Cina Selatan) dan laut Indo-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir. Negara-negara yang terlibat secara intens di wilayah laut ini adalah Amerika Serikat, Cina, dan negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Sebagai negara ASEAN, Indonesia perlu menjaga perdamaian dunia dan menegakkan kedaulatan negara melalui cara-cara pertahanan dan keamanan strategis. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara, yang menjadi payung hukum bagi peraturan lain, seperti mobilisasi aparatur sipil negara sebagai komponen cadangan, sebagaimana tertera pada surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 27 Tahun 2021.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 mengatur mekanisme mobilisasi dan pengelolaan sumber daya manusia dan alam di saat perang menjadi beberapa komponen. Namun hingga saat ini belum ada pengaturan jelas mengenai pengambilalihan dan pengorganisasian sumber daya industri strategis yang digunakan untuk memproduksi dan menyuplai peralatan dan perlengkapan perang. Secara historis, peran industri dan kerja sama pemerintah dengan pengusaha berdampak besar terhadap kemampuan negara untuk mempertahankan diri dan memenangi perang.
Hal ini dapat dilihat sebagaimana kebijakan Amerika Serikat saat terjadinya Perang Dunia II melalui sinkronisasi industri-industri besar dan berat, logam, serta manufaktur hingga memenangi Perang Dunia II dan menjadi kekuatan ekonomi dunia sampai saat ini. Sinkronisasi industri terhadap pertahanan tersebut dilakukan oleh Amerika melalui pemberlakuan Defense Production Act pada 1950. Act ini bahkan digunakan dalam berbagai kondisi darurat yang mendera Amerika, seperti pada 2020 saat produsen mobil General Motor terpaksa memproduksi alat bantu pernapasan.
Pengalihan kegiatan operasional dan output produksi industri secara massal terhadap komponen perang tentu mempengaruhi cashflow perusahaan dan industri bersangkutan. Karena itu, perlu penelitian mengenai pengaruh terhadap sektor perbankan sebagai pembiayaan dan pemberi pinjaman kepada perusahaan dan industri yang terkena kewajiban ini. Hal ini terjadi karena reorientasi industri akan mempengaruhi perbankan dan ekonomi melalui restrukturisasi kredit ataupun penangguhan pembayaran tenor pinjaman industri terhadap bank.
Gede Khrisna Kharismawan
Bali
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo