Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Surat

30 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hak Jawab Emir Moeis

Berita majalah Tempo "Manuver Para Menir Lewat Emir", 16-22 Desember 2013, sangat mengecewakan tim penasihat hukum Emir Moeis, tersangka penerima suap dari konsorsium Marubeni-Alstom atas proyek PLTU Tarahan, karena hanya memberitakan dasar dakwaan jaksa KPK tanpa berita baru. Ada tiga alasan mengapa laporan tersebut tidak obyektif.

Pertama, pembangunan proyek PLTU Tarahan 2004 bukanlah proyek APBN murni karena 92 persen dibiayai Japan Bank for International Corporation (JBIC), lembaga Kementerian Keuangan Jepang yang tugasnya membiayai ekspor Jepang. Walau proyek tersebut adalah proyek PLN, keputusan panitia lelang PLN ditentukan JBIC dan Tokyo Electric Power Services (Tepco) sebagai penasihat resmi JBIC. Karena melibatkan dana pemerintah Jepang, pemenang tender proyek adalah perusahaan Jepang tapi melalui evaluasi yang ketat. Konsorsium Marubeni-Alstom dengan tawaran US$ 118,6 juta mengalahkan konsorsium Mitsubishi-Foster Wheeler dengan tawaran US$ 121,4 juta. Menggunakan standar tender internasional mana pun, konsorsium Marubeni menang mutlak.

Peran Emir Moeis dalam penunjukan pemenang sama sekali tidak ada karena, berdasarkan pemeriksaan KPK sendiri, pimpinan panitia lelang PLN tidak ada yang mengenal Emir apalagi berinteraksi dengan dia.

Kedua, jika memang konsorsium Marubeni-Alstom memberi suap kepada Emir Moeis sebagai pimpinan Komisi IX dan kemudian Panitia Anggaran DPR, ini merupakan skandal keuangan internasional yang melibatkan penegak hukum sedikitnya di dua negara selain Indonesia, yaitu Jepang (keterkaitan Marubeni) dan Prancis (Alstom). Namun kejaksaan Prancis atau Jepang tidak menemukan bukti pelanggaran Alstom dan Marubeni.

Maka agak aneh jika kejaksaan Amerika Serikat dan FBI mendakwa empat eksekutif Alstom tapi tidak menggugat Alstom sendiri sebagai perusahaan yang dituduh menyuap, apalagi katanya KPK memiliki bukti aliran dana dari Alstom dan Marubeni ke Pacific Resources, perusahaan rekan bisnis Emir Moeis yang bernama Pirooz Sharafi. Dan jika konsorsium Marubeni-Alstom terbukti menyuap, JBIC dan Tepco pun akan terlibat. Intinya, konsorsium Marubeni-Alstom tidak perlu menyuap karena telah memenangi tender sesuai dengan persyaratan JBIC-Tepco yang ketat. Ketiga, memang Emir Moeis menerima dana melalui PT Artha Nusantara Utama dari Pacific Resources, tapi Pirooz dan Emir telah bermitra bisnis sejak 1998 dalam bidang perkebunan, batu bara,serta stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji, yang sampai sekarang masih beroperasi. Menurut Emir Moeis, dia dulu percaya kepada Pirooz walau sekarang sangsi akan kejujurannya. Pirooz tidak pernah bilang ke Emir Moeis bahwa sumber dana tersebut adalah success fee dari konsorsium Marubeni-Alstom karena Emir memang tidak pernah mencoba dan tidak punya wewenang mengintervensi keputusan panitia lelang PLN, sesuai dengan hasil pemeriksaan KPK.

Yang kami khawatirkan adalah setelah Pirooz memperkenalkan Emir Moeis ke para eksekutif Alstom, dia meyakinkan mereka betapa berkuasanya Emir Moeis-walau, menurut pemeriksaan KPK, direktur Alstom Indonesia sendiri sangsi JBIC bisa diintervensi. Bagi kami, alangkah adilnya jika Pirooz, para eksekutif Alstom yang telah didakwa di Amerika, pejabat Marubeni, JBIC, dan PLN yang terkait dengan proyek PLTU Tara­han bisa dihadirkan sebagai saksi di pengadilan Indonesia. Bagi kami, ini akan mengungkap berbagai kebohongan yang merugikan Emir Moeis. Misalnya, kami memiliki bukti bahwa biaya transportasi dan akomodasi perjalanan Emir ke Wasington, DC, dan Paris yang katanya dibiayai Alstom sebenarnya dibayar dengan kartu kreditEmir tanpa reimbursi.

Kami juga yakin bisa mematahkan argumentasi Pirooz bahwa dana yang ia salurkan adalah success fee proyek PLTU Tarahan, karena memang hubungan antara Emir Moeis dan Pirooz adalah hubungan mitra bisnis sebagai investor, bukan broker. Atas kasus ini, Koordinator Komisi Pemantau Korupsi Hans Suta Widya menyatakan: "Yang namanya tindak pidana korupsi harus dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih dan tidak mungkin tunggal. Sementara dalam dakwaan JPU hanya EM seorang atau tunggal." Karena kasus Emir Moeis adalah satu-satunya kasus KPK yang berkaitan dengan PDIP, dengan kejanggalan hukum yang banyak dibicarakan pakar hukum, kami khawatir atas kentalnya nuansa politik terhadap Emir Moeis dan PDIP, terutama dengan adanya pemilu pada 2014.

Tim penasihat hukum Emir Moeis
Yanuar P. Wisesa, Erick S. Paath


Tanggapan Wawancara Ketua MKDKI

Membaca wawancara Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) di Tempo edisi 16-22 Desember 2013, halaman 131-135, sangat menarik. Ada beberapa hal positif seperti penjelasan posisi dan komposisi MKDKI serta perannya sebagai penentu ada-tidaknya kesalahan tindakan dokter.

Dalam kesempatan ini saya ingin berbicara tentang surat izin praktek (SIP) dr Ayu. Sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), dr Ayu memang belum memiliki SIP dokter spesialis. Kewajiban pribadi yang bersangkutan adalah memiliki surat tanda registrasi sebagai dokter umum yang diterbitkan Konsil Kedokteran Indonesia.

Selanjutnya, penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada dinas kesehatan setempat untuk menerbitkan SIP kolektif yang berlaku di rumah sakit pendidikan dan/atau jejaringnya selama yang bersangkutan dalam pendidikan. Dasar saya adalah Pasal 7 Permenkes tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran Nomor 512/Menkes/PER/X/2007 yang berlaku saat kejadian pada 2010 tersebut. Kemudian hal itu diperbarui dengan Pasal 3 dan 12 Permenkes 052/Menkes/PER/X/2011.

Apa saja yang berhak dilakukan seorang peserta PPDS, sesuai dengan kompetensinya, dinilai dan ditentukan sesuai dengan aturan kolegium (dewan pakar) masing-masing bidang spesialisasi. Dr Ayu, sebelum kejadian 2010 tersebut, telah melakukan lebih dari 100 kali operasi caesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah putusan Pengadilan Negeri Manado). Artinya, dr Ayu sudah dinilai mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melapor ke pembimbingnya. Kalaupun benar SIP dr Ayu belum diterbitkan, hal ini bukan merupakan klausul pidana.

Menilik alur wawancara, yang barangkali disebut "tindakan pidana" oleh Ketua MKDKI, saya menduga adalah terkait dengan Pasal 42 UU Praktek Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Isinya, sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktek untuk melakukan praktek kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.

Hal menarik lain adalah mengenai prosedur informed consent. Prinsip dasarnya, semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. Bentuk persetujuannya bisa diberikan secara isyarat, lisan dan tulisan. Untuk tindakan berisiko tinggi, harus diperoleh persetujuan tertulis. Pengecualian pada kondisi gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan. Demikian juga bila tindakan itu merupakan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (Pasal 2, 3, 4, dan 15 Permenkes 290/Menkes/PER/III/2008).

Dalam pelayanan rumah sakit sesuai dengan Standar Akreditasi versi 2012, dipilah antara general consent dan informed consent. Persetujuan umum diberikan untuk hal-hal yang bersifat umum dan rutin atau berulang selama perawatan. Informed consent secara umum harus didapatkan secara tertulis sebelum dilakukan empat hal: tindakan operasi atau prosedur invasif, pemberian anestesi termasuk sedasi sedang dan dalam, pemberian darah atau produk darah, serta tindakan atau pengobatan berisiko tinggi. Beberapa rumah sakit menambahkan sejumlah kondisi yang dianggap juga berisiko tinggi di luar empat kelompok tersebut, seperti keikutsertaan sebagai subyek penelitian.

Persetujuan juga harus diperoleh langsung dari pasien yang kompeten. Bila memang pasien tidak kompeten, beralih pada keluarga dekat (istri/suami, orang tua, anak, atau saudara kandung). Selain keluarga dekat tersebut, boleh disertakan dalam mendapatkan penjelasan, tapi tidak berhak memberikan persetujuan. Dokter wajib menanyakan soal hubungan keluarga ini, tapi beban pembuktian terhadap kebenaran hubungan tersebut tidak pada dokter. Beban itu pada pihak pasien.

Yang hendak saya kedepankan bahwa jelas diperlukannya persetujuan ini bukan semata-mata karena ketakutan atau kekhawatiran dari kalangan kedokteran, melainkan atas alasan keselamatan pasien. Bila dipandang secara kaku, justru pelayanan terbaik yang bukan tidak mungkin justru terkorbankan.

Tonang Dwi Ardyanto, dr, SpPK, PhD
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus