Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah Cina di Tempo
SAHABAT karib saya, Drs Arif Budiwijaya, Bsc, meminta Tempo tak menggunakan istilah "Cina" dalam suratnya pada edisi 21-28 Desember 2014. Pensiunan pegawai negeri Universitas Gadjah Mada ini menukil surat keputusan presiden yang berbunyi: "...maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang atau komunitas Tjina/China diubah menjadi orang atau komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan Republik Rakyat China menjadi Republik Rakyat Tiongkok."
Sangat jelas keputusan presiden itu hanya untuk penyelenggara pemerintahan, sehingga secara nalar saya berpendapat bahwa Tempo sama sekali tak melanggar ketentuan hukum ataupun kode etik. Soalnya, jika logika sahabat saya itu diikuti, pecinan harus diubah menjadi petionghoaan. Padahal di London ada sebutan China Town dan di Belanda ada Chinese Wijk.
F.S. Hartono
Yogyakarta
Nama Yahweh dalam Alkitab
PRESIDEN Joko Widodo harus segera menghentikan perbuatan Lembaga Alkitab Indonesia yang telah merusak kaidah bahasa Indonesia dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia. Lembaga Alkitab mengubah nama Yahweh menjadi "Tuhan" dan "Allah". Padahal, menurut aturan bahasa Indonesia, nama tak boleh diterjemahkan.
Penulisan "Yahweh" yang benar ada di buku Kitab Suci: Indonesia Literal Translation yang diterbitkan Yayasan Lentera Bangsa. Yahweh adalah tuhannya agama Kristen yang sama dengan tuhannya Abraham, Ishak, dan Yakob; sama dengan tuhannya bangsa Israel, seperti dijelaskan dalam firman Tuhan di Keluaran 3:15 dan Ulangan 6:4.
Setidaknya ada 12 kali Yahweh diterjemahkan menjadi TUHAN, Tuhan, ALLAH, dan Allah dalam Alkitab. TUHAN dan Tuhan atau tuhan menjelaskan nama jabatan yang memiliki arti menerangkan sesembahan dari suatu suku, bangsa, dan agama. Sedangkan Allah atau ALLAH adalah tuhan agama Islam sebagaimana tercantum dalam kalimat syahadat.
Saya mohon pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang pemakaian nama Allah dan Tuhan bagi umat Kristen pada waktu mereka melakukan ibadah.
Pdt Dr Halomoan L. Tobing, SS, SE, Mmin
Setiabudi, Jakarta Selatan
Polemik Ahok (1)
SAYA pembaca setia Tempo. Berpuluh tahun lalu saya pernah mengikuti nasib Tempo dibredel pada zaman Orde Baru. Saya suka Tempo karena beritanya obyektif dan membela kebenaran. Sehubungan dengan berita Tempo akhir-akhir ini yang memojokkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, saya merasa sangat heran dan kecewa amat dalam. Saya bertanya: ada apa dengan Tempo? Apakah oknum wartawan yang menulis berita itu sudah buta mata hatinya karena sesuatu kepentingan? Saya mengimbau Tempo bermawas diri. Ingatlah, kebenaran selamanya tidak bisa dibelokkan dan mata hati masyarakat terang-benderang.
Rudi Suyanto
[email protected]
Polemik Ahok (2)
MENGIKUTI diskusi di Tempo tentang "Ahok dan Reklamasi", saya jadi paham mengapa ada polemik antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Tempo, bahwa ada perbedaan tafsir kata "barter" antara Gubernur dan redaksi Tempo. Kalau mengikuti acara itu, kita juga jadi tahu bagaimana kerja jurnalistik Tempo. Sangat hati-hati agar berita jadi akurat. Setelah ada penjelasan dari Tempo, sebetulnya polemik dengan Ahok tak perlu terjadi. Polemik itu ternyata hanya masalah tafsir pemilihan kata semata. Maju terus, Tempo!
Dewi B. Komariyah
Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo