Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan tentang Nazi di Indonesia
Majalah Tempo edisi 11-17 Mei 2015 di halaman 62-71 bercerita tentang pengaruh orang Jerman yang Nazi (!) di Nederlandsch Indie dan Indonesia. Di halaman-halaman itu, terdapat beberapa berita menarik. Tapi hampir tiada berita yang belum dipublikasikan, antara lain dalam buku ...dahin, wo der Pfeffer wächst: Vierhundert Jahre Deutsche auf den Inseln Indonesiens, Jakarta 2010, bab terakhir tentang masa antara Perang Dunia I dan II, halaman 207-260.
Dalam karangan Ibu Sri Pudyastuti Baumeister terdapat beberapa kekeliruan. Hanya 13 U-Boot Jerman yang sampai ke Jawa, sedangkan 29 U-Boot ditenggelamkan. Kapal ini tidak dapat membawa banyak senjata untuk Jepang dan (?) Peta karena di hampir semua tempat perlu diisi bahan bakar. Dan memang maksudnya bukan membantu tentara Jepang, melainkan membawa pulang bahan yang diperlukan untuk membuat baja yang keras, yaitu antara lain Mobilbden dan Wolfram, yang kurang tersedia di Jerman.
Keterangan untuk foto di halaman 62 kurang tepat. Itu bukan pesawat ”Nazi”, melainkan pesawat Jerman, yang pada masa tersebut semua memakai swastika. Adolf Hitler tidak tertarik pada Asia, tapi pada Eropa Timur sebagai daerah kolonisasi Jerman. Bahwa militer Jerman berperan di Hindia Belanda (halaman 68) kurang tepat, seperti pula istilah ”basis marinir” di Batavia dan Surabaya. Itu hanya tempat untuk mengisi dan memperbaiki U-Boot yang hendak kembali ke Jerman.
Yang memberi pelajaran Jerman kepada kadet RI di Sarangan adalah guru-guru sekolah Jerman, bukan militer. Die Deutsche Wacht memang bersifat nasionalis, yang tidak sama dengan nasionalsosialistis. Hubungan Jepang dan Jerman kurang erat. Dua negara itu berkepentingan karena musuh mereka sama, yaitu Amerika dan Inggris.
Jepang tidak mengembalikan perusahaan Jerman yang disita Belanda (1940). Hal ini juga tidak mungkin karena semua pria Jerman dibawa ke India, selain mereka yang tenggelam dengan kapal Van Imhoff di dekat Nias (19 Januari 1942).
Pengaruh Nazisme pada beberapa perwira Indonesia kurang ditulis (misalnya halaman 67). Yang benar adalah pengaruh ideologi integralisme dan kolektivisme Jerman pada Dr Supomo (lihat halaman ”Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945”). Pengaruh Walther Hewel pada Hitler dibesar-besarkan; ia berperan lebih sebagai pengantara berbagai kelompok Nazi yang bersaing untuk memperoleh perhatian Hitler.
Tentang NSB di Indonesia sudah terdapat keterangan dalam buku Onrust karangan Dick Schaap (2012) dalam bahasa Belanda, maka bukan hal baru lagi. Namun buku H.H. Geerken rupanya menarik karena gaya presentasinya yang enak.
Adolf Heuken, SJ
Jakarta
Terima kasih atas tambahan informasi Anda.
Koreksi Kementerian Pertahanan
Laporan Utama majalah Tempo yang terbit pada 18-24 Mei 2015 di halaman 36, dengan judul ”Dalam Tekanan Delapan Penjuru Mata Angin”, memuat tulisan yang dapat menimbulkan persepsi salah dari pembaca. Pada berita tersebut, Menteri Pertahanan dikelompokkan dalam menteri dengan kontroversi.
Perlu ditegaskan bahwa Menteri Ryamizard Ryacudu tidak pernah membuat pernyataan kontroversial. Ihwal masalah hukuman mati bagi gembong narkotik, Menteri mendukung kebijakan tersebut. Sedangkan pernyataan yang menyebutkan ”Jika Indonesia berperang, paling hanya mampu bertahan beberapa hari” adalah pernyataan orang lain yang mengatasnamakan Menteri di media sosial Twitter. Sebab, Menteri hingga hari ini tak memiliki akun tersebut.
Brigadir Jenderal TNI Djundan
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan
Terima kasih atas koreksi Anda.
Isi Ulang Pulsa Indosat
Berbeda dengan telepon biasa, pelanggan seluler harus membayar biaya untuk bulan yang lewat. Indosat meminta kita mengisi ulang pulsa pada tanggal sekian. Kalau lewat dari tanggal itu tidak mengisi ulang, kita tak bisa berbicara keluar atau mengirim pesan. Bahkan, ada lagi, kalau sampai satu bulan tidak melakukan isi ulang—tapi saya belum pernah melewatinya—telepon seluler tidak berfungsi.
Yang saya rasa baik bagi pelanggan ialah bukan mematok tanggal harus melakukan isi ulang, melainkan mematok jumlah minimum, kapan saja, tidak terbatas dua minggu, satu bulan, dan sebagainya. Misalnya mematok pulsa minimum Rp 5.000. Kalau sudah sampai di angka Rp 5.000, baru Indosat mengingatkan pelanggan untuk mengisi ulang. Kalau tidak diindahkan, baru ada sanksi.
Pada Ahad, 17 Mei 2015, pulsa saya ialah Rp 40.372. Tapi sudah dipatok: ”Aktif 27-5-15. Tenggang 26-6-15”. Belum lagi ada adik saya di Jakarta dan anak saya di Balikpapan yang suka mengisikan pulsa sebesar Rp 25 ribu. Jadi kalau keduanya mengirim bersamaan, dan ini sering terjadi, pulsa saya bertambah Rp 50 ribu.
Padahal saya jarang menggunakan ponsel untuk berbicara atau mengirim pesan pendek (SMS). Jadi, kalau pada 27 Mei 2015 saya mengisi pulsa, pulsa saya kian menumpuk. Lebih banyak SMS masuk daripada SMS keluar karena tidak semua SMS masuk harus ditanggapi. Agar Indosat tidak seperti ”mafia” pulsa menguras dompet pelanggan, saya sarankan seperti di atas: tetapkan pulsa minimum, misalnya Rp 5.000.
Julius C. Rumpak
Bogor, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo