Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis Kasus Suap DPR
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, dua pekan lalu menjatuhkan vonis atas sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menerima suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
Selain memberikan apresiasi atas putusan hakim tersebut, publik tentu ingin tahu apa implikasi dari vonis pengadilan itu pada legalitas hasil pemilihan yang memenangkan Ibu Miranda Goeltom sebagai pemimpin bank sentral.
 Saya berpandangan vonis tersebut dengan sendirinya menggugurkan hasil pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ketika itu. Seyogianya pula tindakan terkait dilakukan untuk meluruskan kembali proses yang telah tercederai akibat kasus suap di Senayan ini.
Muhammad Said
Jalan Ahmad Yani, Banjarmasin
Kalimantan Selatan
Benturan Budaya Buruh Migran
Saya amat mendukung keputusan pemerintah menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi. Tindakan yang diambil pasca-insiden pemancungan Ruyati, buruh migran perempuan kita, Juni lalu itu sudah tepat.
Dua pekan lalu, saya duduk bersebelahan dengan seorang warga Solo keturunan Arab dalam sebuah penerbangan internasional kembali ke Indonesia. Dari dia, saya memperoleh banyak informasi tentang rendahnya posisi tawar pembantu rumah tangga perempuan dalam tata kehidupan sebagian keluarga di Timur Tengah. Rupanya tak sedikit warga Arab yang memandang sebelah mata buruh migran kita di sana.
Saya menduga banyaknya buruh migran perempuan asal Indonesia yang dipenjara dan terjerat perkara pidana di Arab Saudi berkaitan dengan persepsi ini. Tenaga kerja Indonesia yang merasa direndahkan dan tidak dimanusiakan jelas akan melawan ketika berhadapan dengan perilaku buruk dan menghinakan dari majikan mereka. Terjadi benturan budaya.
Perbedaan persepsi dalam memandang posisi hukum dan hak buruh migran perempuan kita inilah yang perlu diantisipasi pemerintah dalam negosiasi lanjutan dengan Arab Saudi.
F.S. Hartono
Purwosari, Yogyakarta
Empat Tahun untuk Busyro
Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan keputusan presiden soal perpanjangan masa jabatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas cukup mengejutkan. Menurut saya, keputusan presiden itu perlu diacungi jempol.
Meski Mahkamah Konstitusi sudah mengetukkan palu, mengabulkan gugatan sejumlah aktivis antikorupsi soal masa jabatan Ketua KPK baru pengganti Antasari Azhar ini, pro dan kontra sebenarnya belum mereda. Sejumlah politikus di Senayan sempat mengancam akan mempermasalahkan putusan Mahkamah itu.
Dihadapkan pada kontroversi semacam itu, publik menduga Presiden Yudhoyono bakal memerlukan waktu panjang buat mempertimbangkan untung-rugi perpanjangan masa jabatan Busyro. Terlebih, komisi antikorupsi saat ini tengah getol menelisik kasus suap dan korupsi yang melibatkan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Akibat kasus ini, Partai Demokrat—yang notabene didirikan Yudhoyono dan istrinya—menjadi bulan-bulanan di media massa.
Untung saja, Presiden tidak mengaitkan kinerja trengginas komisi antikorupsi di bawah kepemimpinan Busyro Muqoddas itu dengan kebijakannya menerbitkan keputusan presiden perpanjangan masa jabatan Ketua Komisi. Dengan keputusan presiden ini, Busyro memiliki tambahan waktu untuk melaksanakan tugas membersihkan negeri ini dari korupsi.
C. Suhadi
Cengkareng, Jakarta Barat
Upacara Bendera dan Demokrasi
Keputusan Bupati Karanganyar Rina Iriani memimpin langsung upacara bendera di sejumlah sekolah di wilayahnya yang sebelumnya menolak menghormati bendera Merah Putih patut diapresiasi. Pancasila, Bineka Tunggal Ika, dan UUD 1945 sudah kita sepakati sebagai acuan bersama yang harus dipatuhi.
Mereka yang mencoba mbalelo dari kesepakatan awal ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia digariskan sebaiknya tidak menjadi warga negara republik ini.
Meskipun kita menganut paham demokrasi, tidak bisa dibenarkan adanya sekelompok orang yang membuat keputusan dan tindakan sendiri yang bertentangan dengan falsafah negara. Kalau semua orang bebas melaksanakan pahamnya yang bertentangan dengan kesepakatan ketika Indonesia merdeka, akan ada keributan setiap saat.
Lie Gan Yong Diusir dari Pulau Moyo
Akhir Juni lalu, saya dan rombongan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta berencana berwisata ke Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Kepala Dinas Pariwisata Sumbawa merekomendasikan pulau itu sebagai daerah tujuan wisata yang indah dan menyenangkan.
Tapi apa yang terjadi? Kami bahkan tidak bisa mendarat di pulau itu. Sejumlah petugas keamanan resor hotel di sana melarang kapal yang kami tumpangi merapat ke dermaga. Alasannya, pemilik resor di pulau itu belum mengeluarkan izin atas kedatangan kami.
Kami pun lalu berlayar pergi. Untuk mengisi waktu, kami memancing di perairan sekitar Pulau Moyo. Airnya memang jernih sekali. Ikan-ikan dan permukaan dasar laut nan indah terlihat jelas. Tapi, lagi-lagi, gangguan datang. Sejumlah petugas keamanan dari resor Pulau Moyo mendatangi kapal kami dengan speedboat. Mereka menegur kami dan menegaskan bahwa kami tak boleh memancing di perairan itu.
Kami merasa amat tak nyaman oleh perlakuan petugas keamanan resor wisata Pulau Moyo itu. Padahal kedatangan kami sudah sepengetahuan Dinas Pariwisata Kabupaten Sumbawa.
Muchtar Luthfie
Pulogadung, Jakarta Timur
Pulogadung, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo