Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi LBH Indonesia
KAMI ingin meralat berita Tempo edisi 25 Februari-2 Maret 2008 halaman 29. Pada artikel ”Menyembur, Lalu Berliku” ada kalimat, ”... Pengadilan Jakarta Utara menolak gugatan serupa yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.” Yang benar adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Hakim telah memutuskan bahwa gugatan itu tidak memenuhi unsur melawan hukum dan menimbulkan kerugian negara, karena Lapindo telah membayar ganti rugi kepada korban. Tapi hakim sepakat dengan YLBHI bahwa semburan lumpur diakibatkan kekuranghati-hatian pengeboran oleh Lapindo karena casing belum terpasang.
AGUSTINUS E. KRISTIANTO Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik
Terima kasih atas koreksi Anda. —Redaksi
Iklan Lapindo di Tempo
TEMPO edisi 25 Februari-2 Maret 2008 memuat reportase yang komprehensif tentang tragedi lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Saya jadi lebih tahu akar dan pokok permasalahan yang sebenarnya.
Saya berkesimpulan Tempo bersimpati kepada korban dan kepentingan negara dengan mendukung opini dan fakta yang menunjukkan lumpur disebabkan kesalahan teknis pengeboran. Karena itu Lapindo wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas semua dampak yang terjadi, tidak menyalahkan Tuhan atas nama bencana alam sebagaimana dikampanyekan Lapindo yang diperkuat DPR.
Sayangnya, persis di halaman tengah majalah edisi yang sama, ada iklan Lapindo yang mengkampanyekan fenomena lumpur itu berdasarkan versi bencana alam. Rupanya iklan itu sudah terulang di beberapa edisi sebelumnya berturut-turut. Saya jadi heran dengan idealisme Tempo. Iklan itu kontradiktif dengan opini Tempo sendiri. Sebaiknya Tempo tidak memuat iklan Lapindo yang mungkin menyesatkan itu.
M. RUSLAILANG N. Balikpapan, Kalimantan Timur
Sebagai media profesional, kami ingin menunjukkan bahwa Tempo menjaga betul ”pagar api” antara kepentingan bisnis dan kewajiban redaksi mencari kebenaran berdasarkan fakta. —Redaksi
Mencuci Tangan di Lumpur Lapindo
LUMPUR di Porong, Sidoarjo, yang lebih dikenal dengan ”Lumpur Lapindo”, sudah menyembur hampir dua tahun. Namun upaya penyelesaiannya hingga kini masih jauh dari harapan. Berbagai upaya dan kebijakan pemerintah dikeluarkan, hasilnya tetap keruh, sekeruh lumpur itu sendiri.
Mengapa demikian? Salah satunya karena perusahaan tak mau rugi. Lalu mencari dalih, berkelit, mencuci tangan, bersilat lidah, lobi sana-sini, menggalang dukungan. Akhirnya publik meyakini pemerintah harus ikut bertanggung jawab. Lapindo tak terima jika bencana sepenuhnya disebut keteledoran mereka.
Sebuah fenomena yang hanya terjadi di bumi pertiwi ini: untuk segala persoalan yang menimpa rakyat, pemerintahlah yang harus bertanggung jawab. Ketika harga daging naik, para penjual berdemo ke Istana Presiden, padahal mereka tahu penyebabnya adalah badai, sehingga Australia tidak bisa mengirim sapi ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi DPR akan menggunakan hak interpelasinya mengapa pemerintah tidak sanggup mengatasi badai.
Sebagai bangsa, kita berharap PT Lapindo Brantas segera menuntaskan pembayaran ganti rugi kepada warga korban. Jangan lagi mencari dalih atau berlindung di balik fenomena alam. Daripada membuang banyak duit untuk lobi ke DPR dan pengadilan, membayar pakar, lebih baik uang itu digunakan untuk membayar ganti rugi kepada warga. Tak ada gunanya lagi mencuci tangan di lumpur, karena tangan Anda tak akan pernah bersih.
ANGGI ASTUTI Parung, Bogor
Koreksi Danar Hadi
SAYA ingin mengoreksi artikel ”Batik Komar Menembus Dunia” di Tempo edisi 18-24 Februari 2008. Kejuaraan yang didapat Batik Komar dalam Lomba Cipta Selendang Batik Internasional di Yogyakarta terjadi dalam event International Batik Conference 1997. Juara I dalam lomba tersebut adalah PT Batik Danar Hadi Solo dan juara II adalah Sdr Komarudin Kudiya.
TOETTI SOERJANTO Kurator Museum Batik Danar Hadi
Tulisan yang Anda maksud adalah inforial dari Dji Sam Soe. —Redaksi
Penjelasan Singapore Airlines
TEMPO memuat surat Sdr Yudi, anak Ibu Yuhati, yang kecewa atas pelayanan Singapore Airlines pada edisi 18-24 Februari 2008. Rekan kami telah menghubungi kantor penerbangan Northwest, dan mendapat keterangan bahwa Ibu Yuhati telah diminta mengambil voucher hotel di kantor perwakilannya di Jakarta.
Mereka semula tidak mengeluarkan voucher hotel, karena hingga tanggal keberangkatan, Ibu Yuhati tidak melakukan konfirmasi. Reservasi hotel yang dibuat penerbangan lain tidak dapat dilihat pada sistem Singapore Airlines, sehingga pegawai check in Singapore Airlines tidak mengetahui adanya reservasi tersebut.
Kami juga ingin menjelaskan bahwa peraturan industri penerbangan hanya mengizinkan penumpang ke Amerika membawa dua buah bagasi dengan berat masing-masing tak lebih dari 32 kilogram. Ketika petugas check in mengetahui bahwa berat salah satu bagasi yang dibawa Ibu Yuhati melebihi 32 kilogram, mereka minta Ibu Yuhati memindahkan kelebihan tersebut ke bagasi lainnya. Hal ini untuk menghindari masalah di destinasi selanjutnya. Peraturan ini berlaku internasional, sehingga bila tidak diselesaikan di Jakarta akan menimbulkan masalah di destinasi yang lain.
Untuk penerbangan kembali ke Jakarta, kami menyarankan agar Ibu menghubungi kantor penerbangan Northwest, sehingga penerbangan Ibu ke Jakarta dapat berjalan dengan baik.
GLORY HENRIETTE Manager Public Relations Singapore Airlines Jakarta
Penjelasan Aruna Wijaya Sakti
KAMI ingin menanggapi surat dari Suryo Hertanto yang dimuat Tempo edisi 25 Februari-2 Maret 2008 dengan judul ”Jeritan Eks Karyawan Dipasena”. Yang kami ketahui, 600 orang itu telah dipecat PT Dipasena Citra Darmadja jauh sebelum kami terlibat di perusahaan ini. Kami sedang menelusuri dan mengklarifikasi nama-nama itu yang mengklaim pernah bekerja di Dipasena.
Dipasena kini telah berganti nama menjadi PT Aruna Wijaya Sakti yang sah sesuai dengan ketentuan hukum. Karena itu kami berharap tidak ada lagi pemakaian nama Dipasena atau eks-Dipasena.
RIZAL I. SHAHAB Corporate Communication Director
Insentif PLN Bukan Solusi
BISA dipastikan PLN akan merealisasikan program insentif-disinsentif kepada pelanggan, sebagai solusi mencegah krisis energi. Pelanggan yang berhemat akan mendapat insentif berupa keringanan biaya, sedangkan yang boros akan membayar tarif mahal. Program ini hanya akan dinikmati pelanggan rumah tangga. Sedangkan pelanggan bisnis akan kesulitan. Pengusaha warnet yang menggunakan komputer 10-50 atau lebih komputer bisa dipastikan akan merugi.
Untuk menghemat energi saja, masyarakat masih bingung membedakan lampu rendah energi dengan lampu hemat energi. Lampu rendah energi, yaitu lampu yang di kemasannya hanya mencantumkan satu macam daya saja: 5 watt, 6 watt, atau 7 watt. Sedangkan lampu hemat energi dua macam daya: 5 watt = 25 watt, 6 watt = 30 watt, 7 watt = 35 watt. Meski keduanya bisa menghemat keuangan dan pemakaian listrik, lampu hemat energi lebih terang sinarnya dibandingkan lampu rendah energi.
Dengan demikian program insentif-disinsentif PLN hanya menguntungkan PLN, merugikan sebagian besar pelanggannya. Lebih bijaksana jika PLN membagikan lampu hemat energi secara gratis dan menjual perangkat listrik tenaga surya dengan harga terjangkau (bisa dikredit) bagi semua pelanggannya.
HARIYANTO IMADHA Bojonegoro, Jawa Timur
Jangan Politisasi BI
TIDAK sepantasnya bank sentral menjadi alat permainan politik kekuasaan. Permainan politik akan membuat Bank Indonesia tak independen. Mestinya, bank sentral tetap otoritas moneter independen yang kuat dan benar-benar mampu bertugas menjaga stabilitas keuangan.
Kontroversi suksesi pucuk pimpinan bank sentral bermula dari predikat tersangka terhadap Gubernur BI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Stempel tersebut terbukti berhasil meruntuhkan keinginan Burhanudin Abdullah untuk mencalonkan diri kembali. Dengan tegar ia menyatakan mundur dari pencalonan sebagai Gubernur BI.
Sejumlah deputi dan deputi senior pun terkena getahnya. Ibarat pisau bermata dua, tembakan KPK ini menjadi argumen yang efektif untuk menggusur kalangan internal BI demi memuluskan keinginan sejumlah pihak yang ingin menguasai bank sentral. Para pejabat BI yang diprediksi mengincar kursi gubernur bank sentral (meskipun didukung kalangan DPR-RI) secara otomatis ikut runtuh.
GAGAH WICAKSANA Jakarta
Akar Bentrok TNI-Polri
PERTIKAIAN ”sekelompok” anggota TNI dan Polri yang hanya dipicu masalah sepele, seperti tersinggung dan ada masalah pribadi anggotanya, makin kerap terjadi. Belakangan bentrokan itu bukan lagi hanya menggunakan sangkur, senjata api pun mulai menyalak.
Apa penyebabnya? Salah satunya kesejahteraan prajurit. Lainnya, pemisahan lembaga kepolisian dan militer. Ketika tak lagi satu komando, mereka merasa tak perlu lagi saling menghormati. Juga faktor eksternal, seperti masyarakat yang kini lebih emosional, contohnya di Maluku. Karena itu, soal kesejahteraan mesti segera diselesaikan, juga latihan yang berkesinambungan di dua angkatan ini.
Tak kalah penting adalah soal kewenangan wilayah pertahanan dan keamanan. Militer di pertahanan, polisi soal hukum dan keamanan. Tapi fungsinya masih abu-abu. Harus diperjelas.
JENIFER WOWORUNTU Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Lumpur Lapindo Bencana Alam?
Dari sekian banyak masalah kusut negeri ini—BLBI, kebakaran hutan, pembalakan liar, suap BI, Askar Wataniah—yang paling menyedihkan adalah luapan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Anggota DPR yang terhormat, marilah sejenak memikirkan kepentingan masyarakat yang telah mengantarkan Anda sekalian duduk nyaman di gedung parlemen dengan segala fasilitas mewah dan gaji nomor wahid. Daripada berdebat tak keruan, lebih baik urus dulu korban lumpur itu. Selesaikan dulu masalah mereka dengan seadil-adilnya.
Bukan tindakan yang arif jika DPR turut serta menyimpulkan penyebab luapan lumpur. Serahkan saja kepada ahlinya: warga porong dan ahli geologi dari dalam dan luar negeri yang independen. Soalnya, keputusan Anda sekalian bahwa luapan lumpur adalah bencana alam akan menambah susah, negara akan menanggung kerugian sampai 1 persen dari produk domestik bruto kita. Sedangkan pemerintah masih punya banyak urusan lain yang lebih besar.
DONNY RESPATI Semarang
Jeritan Pedagang Tanah Abang
PADA 19 September 2007 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menggugurkan keputusan pengadilan negeri yang mengabulkan gugatan para pedagang kios Tanah Abang. Dari mana hakim membuat keputusan itu? Kios di Jakarta City Center yang kami beli belum diserahterimakan sampai saat ini. Padahal janjinya pada Oktober 2005 kami sudah bisa berdagang.
Tidak salah jika para pembeli kios dan masyarakat pada umumnya selama ini apatis terhadap lembaga peradilan yang berlaku di negara yang kita cintai ini, karena pengadilannya seperti ini. Para pembeli kios tidak mau memperjuangkan haknya melalui pengadilan, meski sudah ditipu dan diperas oleh PT Citra Pertiwi, PT Citicon Mitra TNAbang, serta oleh pengembang PT Jakarta Realty dan PT Agung Podomoro Group. Kapan keadilan tegak di bumi Indonesia ini?
NEDY DARUSSAMIN Tanah Abang, Jakarta
Partai Bukan untuk Menipu
MESKI selalu gagal mendulang suara dalam pemilihan umum, para petualang politik kembali membuat partai baru. Biarpun dana yang dikeluarkan tidak sedikit, mereka pun seperti tidak mempersoalkannya, karena tujuannya kursi DPRD atau DPR.
Janganlah menipu rakyat, karena rakyat sekarang sudah pintar memilih mana partai yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan mana yang untuk orang banyak. Partai yang dibikin hanya untuk menumpuk kekayaan niscaya tak akan jadi pemenang pemilu.
YONAS G. Kebayoran Baru, Jakarta
Gangguan PDI Perjuangan
KETIKA tanda-tanda bahwa Megawati Soekarnoputri akan kalah dalam pemilihan presiden 2004 menguat, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung sesumbar, ”Kalau kita kalah, kita akan terus mengganggu SBY.” Sebuah perkataan kurang beradab dari seorang elite politik.
Gangguan itu terbukti. Calon Gubernur BI ditolak, anggota KPU disusupkan orang bermasalah sehingga pelantikan tertunda, dan masih banyak lagi. SBY terlihat maju-mundur dalam pelbagai hal yang oleh Megawati disebut menari poco-poco.
Poco-poco tidak jelek. Jangan ikuti pandangan Megawati yang cuma melihat kaki saja, tapi lihat keseluruhan wajah saat menari yang ceria dan penuh tawa. Maju-mundur SBY sebagai cara menjalankan demokrasi.
ACHMAD SABLIE Kebayoran Lama, Jakarta
Manuver Politik Bupati Indramayu
Membentuk Provinsi baru, lepas dari Jawa Barat adalah langkah kuda Bupati Indramayu Irianto M.S. Syaifuddin, —biasa disapa Yance—dalam mensikapi kekalahannya bersaing menjadi kandidat calon wakil gubernur dari Partai Golkar dalam pilkada Jawa Barat, 2008.
Sebagai sebuah taktik politik sih boleh-boleh saja, tetapi sangat tidak elegan, tidak sportif, dan meracuni rakyat. Bayangkan para elit politik kalah bertarung memperebutkan kekuasaan. Lalu, ujung-ujungnya mengobarkan sentimen primordialisme, ingin ”memerdekakan” diri membentuk wilayah baru. Hal ini justru sebuah kemunduran. Persis seperti cerita-cerita jaman kerajaan di Nusantara, ketika raja-raja saling berebut tahta, yang kalah kemudian membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Dan kerajaan kecil itupun tetap saja tidak bebas dari konflik. Begitu seterusnya. Lalu, dimana gerangan sistem politik modern bernama demokrasi?
Ada puluhan pilkada digelar setiap tahun, jika mental para politikus seperti Bupati Yance apa jadinya negeri ini? Tapi, saya yakin rakyat tidak terlalu terpengaruh dengan manuver kuno seperti itu.
SUDARMADJI Sumber, Kabupaten Cirebon
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo