Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi Tulisan Tempo
Terkait dengan penulisan artikel berjudul ”New Kids on The Blogs” di majalah Tempo edisi 12-18 Februari 2007, ada satu hal yang perlu kami lakukan koreksi, yaitu:
Tertulis pada alinea keenam. ”Berkat blognya, komentator politik yang unik, Wimar Witoelar, pernah mewawancarai Iyo secara online di situs www.perspektif.com, November lalu.
Seharusnya, ”Berkat blognya, komentator politik yang unik, Wimar Witoelar, pernah mewawancarai Iyo secara online di situs www.perspektifbaru.com, November lalu.
Rizka Nurlita Andi Staf Wimar Witoelar
- Terima kasih atas koreksi Anda-Red.
BNI Tidak Berencana Mengurangi Pegawai Divisi Korporasi
Berkenaan dengan pemberitaan di majalah Tempo edisi 12-18 Februari 2007 berjudul ”Tergerus Program Diet”, bersama ini kami berikan tanggapan dan penjelasan sebagai berikut:
- Kutipan wawancara Tempo dengan Direktur Utama BNI Sigit Pramono dalam pemberitaan dimaksud, yang menyebutkan bahwa ”terdapat kelebihan karyawan di sejumlah divisi, seperti kredit korporasi” serta ”Perubahan orientasi bisnis yang mengarah ke sektor retail dan usaha kecil menengah, sehingga mengurangi tenaga di sektor korporasi” adalah kurang tepat, karena pernyataan yang disampaikan bukan seperti itu. Kutipan ini dapat mengakibatkan persepsi yang keliru.
- Kami jelaskan bahwa Dirut BNI Sigit Pramono, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Perbanas, menyatakan bahwa secara umum (tidak dalam konteks BNI) terdapat kemungkinan suatu bank dapat mengurangi atau menambah pegawainya akibat perubahan orientasi atau fokus bisnisnya. Misalnya bergeser fokusnya dari sektor korporasi ke sektor konsumer /retail/menengah ataupun sebaliknya, sehingga tentunya pergeseran orientasi ini akan membawa dampak terhadap penyediaan tenaga SDM.
Demikian penjelasan kami. Atas pemuatan tanggapan ini, kami mengucap-kan terima kasih.
Intan Abdams Katoppo Corporate Secretary PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
Tanggapan Badan Tenaga Nuklir Nasional
Membaca artikel berjudul ”Menggugat Nuklir Gunung Muria” di majalah Tempo edisi 5 Februari 2007, dalam rubrik Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, halaman 50 dan 51, ada beberapa hal yang perlu kami luruskan.
Pertama, tak benar pada 1987 Korea Selatan meminta bantuan Batan untuk membuat reaktor. Yang benar, pada akhir dekade 1980, kami, bila diperlukan, dapat membuat bendel elemen bakar untuk PLTN tipe PHWR di Korea Selatan.
Sekarang Korea Selatan memiliki 20 PLTN (bukan 5 PLTN). Mereka mulai menawarkannya ke Indonesia. Jika proses tender dan perizinan lancar, pembangun-an fisik PLTN di Indonesia bisa dimulai pada 2010. Enam tahun kemudian listrik yang dihasilkan dari dua unit tersebut berdaya sekitar 2x1.000 MW.
Kedua, penelitian detail tentang Muria dilakukan terus-menerus. Batan bahkan telah menambah stasiun mikroseismik, yang dipasang beberapa bulan lalu. Penelitian dan pengamatan gempa, tsunami, dan sebagainya terus dilakukan, tak hanya pada masa Orde Baru. Penentuan le-tusan terakhir juga bukan hanya dari sejarah tapi juga dilakukan dengan metode teknik nuklir K-Age dengan akurasi yang dapat dipercaya.
Batan juga memperhatikan semua sesar di Muria, termasuk sesar Lasem dan Meratus, serta yang ada di dalam laut. Ini terkait dengan desain sipil yang digunakan untuk membuat bangunan tahan gempa dengan perhitungan sangat konservatif (jauh lebih kuat daripada syarat minimal).
Kami terbuka untuk dikritik dan bersedia berdiskusi dengan para ahli mana pun, termasuk dengan Saudara Danny Hilman Natawidjaya, untuk membahas pembangunan PLTN. Kami juga menginginkan semua persiapan pembangunan dilakukan hati-hati serta sesuai dengan pedoman dan peraturan yang berlaku.
Untuk itu kami telah menerbitkan buku Pedoman Penerapan dan Pengembangan Sistem Energi Nuklir Berkelanjutan di Indonesia pada Oktober 2006. Buku itu mengacu pada norma dan standar inter-nasional, persyaratan IAEA dari praktek internasional terbaik.
Ferhat Aziz Biro Kerja Sama Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Tenaga Nuklir Nasional
Terima kasih atas tanggapan Anda–Red.
Belajar dari Kasus Ekspor Pasir
Keputusan pemerintah melalui Menteri Perdagangan melarang ekspor pasir (Nomor 02/2007) cukup melegakan kita semua. Sedangkan Singapura sebagai negara pengimpor utama pasir Indonesia diberitakan kecewa berat, lantaran upaya mereka memperluas pulaunya dengan menggunakan material utama pasir dari Indonesia itu terancam terhenti.
Meski begitu, kita jangan berbesar hati dulu. Upaya kita menghentikan ekspor pasir itu terjadi setelah Singapura berhasil memperlebar pelabuhan lautnya sekian kilometer dengan pasir dan batu granit dari Indonesia. Setiap kapal yang merapat harus membayar fee untuk jasa pelabuhannya, tidak terkecuali kapal dari Indonesia. Kita harus menyewa ”tanah air” sendiri yang kini telah menjadi aset negara lain.
Kalau saja sejak awal pasir kita tidak ”dijual putus” tapi dengan sistem bagi hasil atas usaha jasa pelabuhan, misalnya, mungkin kita tidak terlalu menyesal atas tragedi nyaris tenggelamnya Pulau Sebait di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Dan lagi, kita tidak pernah mendapatkan manfaat apa pun dari hasil ekspor pasir itu selama ini. Tak jelas berapa devisa yang didapat ketimbang total fee per tahun yang harus dibayar kapal Indonesia saat merapat di pelabuhan Singapura.
Yang juga sangat mendesak segera diatur adalah ekspor bahan tambang lainnya seperti granit, bauksit, grafit, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 03 Tahun 2007 tentang Verifikasi Ekspor Bahan Galian Golongan C selain Pasir, Tanah dan Top Soil. Bahan-bahan tambang tersebut memang tidak harus dilarang untuk diekspor, tapi diatur agar kelak tidak bernasib seperti pasir. Bila perlu diatur dalam aturannya lebih tinggi dari peraturan menteri, bisa keputusan presiden atau bahkan peraturan pengganti undang-undang.
Eric Sanjaya Tanjung Batu, Karimun, Kepulayan Riau [email protected]
Jangan Politisasi Banjir
Banjir yang menggenangi Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya pada awal Februari lalu telah melumpuhkan sendi-sendi perekonomian. Namun, amat disayangkan, masih ada saja upaya politisasi bencana banjir itu demi keuntungan kelompok tertentu.
Menurut saya, politisasi banjir adalah bentuk propaganda yang perlu kita waspadai agar masyarakat tidak terus-menerus merasa dirugikan. Para elite politik datang membantu korban banjir dengan menenteng-nenteng bendera dan seragam partai. Praktek itu sah-sah saja, meski sebenarnya tidak etis.
Masyarakat kita memang masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka juga masih mudah dipengaruhi. Akibatnya, banyak yang belum menyadari bahwa bencana yang dialami masyarakat kerap dijadikan ”alat politik” tertentu. Banjir juga jadi lahan empuk para petualang politik untuk menyudutkan pihak tertentu sekaligus sebagai ajang cari muka.
Ryan Trikora Jalan Kutilang 119, Depok
Tantangan Buat Gubernur Irwandi
ACEH resmi memasuki sejarah baru. Provinsi ini kini memiliki gubernur dan wakil gubernur baru hasil pilihan rakyat secara langsung dari calon independen. Sesuatu yang sangat istimewa, yang pertama terjadi di republik ini, karena saat ini Aceh merupakan satu-satunya daerah yang kepala daerahnya terbuka bagi calon independen.
Pada Kamis 8 Februari lalu, pasangan Irwandi dan Nazar dilantik Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma`ruf sebagai Gubernur /Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu Menteri Dalam Negeri mengatakan, gubernur dan wakil gubernur yang baru dilantik harus bisa bekerja sama dengan semua kalangan, terutama dengan DPRD Aceh, untuk membangun Aceh ke depan. Hubungan kerja harus selaras dan saling mendukung, bukan menjadi lawan dan pesaing.
Pelantikan ini menandai satu langkah ke arah memperkuat perjanjian damai antara kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Dalam perjanjian damai itu juga disepakati mengenai pembuatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang telah disahkan menjadi undang-undang tahun lalu. Ini adalah undang-undang baru bagi Provinsi Aceh sebagai pengganti Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus).
Untung Yulianto Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Lucuti Senjata Warga Sipil
Sudah beberapa tahun, konflik sosial mendera warga Poso, Sulawesi Tengah, dan sekitarnya, yang hingga kini belum terselesaikan. Sebenarnya, konflik Poso berakar pada pemilikan senjata oleh warga sipil. Selama masih ada senjata di tangan penduduk sipil, kedamaian Poso ibarat api di dalam sekam. Hukum di Indonesia secara jelas melarang orang sipil menguasai senjata tanpa izin. Faktanya, sebagian penduduk Poso punya senjata gelap. Tentu saja hal ini sangat merisaukan. Selain jumlahnya tak pasti, jenis senjata yang beredar juga mempunyai daya bunuh luar biasa besar.
Senjata modern mematikan itu tidak bisa dibuat sendiri oleh penduduk, seperti halnya senapan rakitan, melainkan datang dari berbagai macam cara. Sebagian senjata telah lama berada di Poso sejak konflik pada 2000-2001. Sebagian lagi dibawa masuk kelompok milisi yang datang membela agama masing-masing. Ada juga polisi dan tentara yang secara individual menjual peralatan perang kepada kelompok yang bertikai. Begitu konflik senjata meletus, ada saja pebisnis senjata yang mencium peluang ”bisnis” dan memasok sen-jata dari Filipina maupun Malaysia.
Karena itu, apa pun motifnya, pelucutan senjata bagi warga sipil di Poso harus dilakukan oleh pemerintah. Bila perlu, pemerintah menggunakan kekuatan penuh aparat keamanan di sana.
ARYO SETYAKI Kemuning, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Tabloid Arab Jawi Cahaya Nusantara
Saya ingin menambahkan sedikit cerita saja berkaitan dengan penerbitan tabloid Arab Jawi Cahaya Nusantara (Tempo, 18 Feb 2007, hlm. 74). Di kampung halaman saya di Kalimantan Selatan, pada awal 1980-an ada program koran masuk desa. Salah satu koran yang gigih ke daerah-daerah jauh di hulu sungai adalah Banjarmasin Post. Yang menarik setiap edisi minggunya ada lembaran yang memakai aksara Jawi, atau di sana disebut Arab Melayu.
Waktu itu saya tidak tahu dan tidak peduli apa isi lembaran itu. Yang saya ingat hanyalah setiap kali koran edisi Minggu itu datang, kami anak-anak atau remaja segera mengambil lembaran yang menggunakan huruf Latin, sementara mereka yang tua umumnya mengambil yang menggunakan aksara Arab Melayu itu.
Saya tahu memang banyak dari orang tua itu tidak pandai membaca huruf La-tin, tapi rata-rata mereka mampu membaca Arab Melayu. Saya tidak tahu apakah ada penerbitan serupa di daerah-daerah lain waktu itu.
Belakangan, saya belajar membaca aksara ini karena kitab pelajaran agama maupun syair yang kami pelajari di madrasah ditulis dengan aksara itu. Yang paling terkenal adalah Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad Al-Banjary. Saya kira kitab-kitab di lingkungan pesantren, baik di Jawa, Sumatera, maupun Kalimantan, bahkan sampai ke negeri tetangga Malaysia, Brunei, dan Patani, Thailand, banyak menggunakan Arab Melayu.
Hairus Salim H.S. Redaktur Majalah Seni GONG Yogyakarta
Underpass Bukan Solusi
Sebagai pengguna jalan yang tiap hari menyusuri pelosok Ibu Kota, pada hari puncak musibah banjir lalu, kami merasakan hampir semua underpass tidak berfungsi sama sekali karena tergenang air total. Keadaan seperti itu tidak bisa diatasi karena mesin pompa/gensetnya terendam, aliran listrik padam, solar habis, tiada petugas, dan lain sebagainya. Itu terjadi di Tomang, Kampung Melayu, Cawang, Pramuka, Senen, dan Dukuh, Sudirman.
Jadi, lebih baik Pemerintah DKI membangun saja jalan layang. Meski kurang estetik alias centang-perenang, jalan layang aman saat banjir. Misalnya di sim-pang Grogol, Matraman, Kebayoran Lama, Saharjo, Semanggi, Pondok Kopi, Jelambar, Tendean, Pancoran, Daan Mogot. Sejumlah jalan layang itu sangat membantu melancarkan arus lalu lintas. Selain itu, monorail lebih bijak dan aman daripada proyek subway/metro KA yang riskan, karena terletak di bawah tanah.
Dengan ini pula kami rakyat kecil mengetuk komitmen Pemerintah DKI untuk menyelesaikan proyek tol lingkar luar Cikunir dan Lingkar Barat Kembangan yang sudah empat tahun lebih tak juga selesai. Ini perlu karena arus dari luar kota hendak keluar DKI tak usah melintas di tol dalam kota yang sudah kelewat beban.
H.J. Yuwono Jalan Flamboyan, Ujung Menteng Cakung, Jakarta Timur
Bank Muamalat Tak Profesional
Saya adalah nasabah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada 4 Oktober 2006 saya menarik kas melalui ATM Bersama, yaitu BCA di cabang pembantu BMI Tanjung Priok, sebanyak tiga kali, masing-masing Rp 1 Juta. Namun uang itu tak keluar dari ATM BCA.
Anehnya, transaksi itu tetap didebet oleh BMI. Karena tetap didebet, saya komplain ke BMI Cabang Pembantu Tanjung Priok. Ibu Sarah, petugas yang melayani saya, mengatakan bahwa uang yang tidak keluar itu akan dikembalikan. Sebagai bukti uang terdebet, Ibu Sarah mengeluarkan formulir klaim layanan ATM BCA yang menyatakan tiga kali penarikan sebesar Rp 1 juta.
Setelah 12 hari, saya akhirnya mengkonfirmasi ulang ke BMI cabang Tanjung Priok. Dan ternyata, BMI tidak juga mengembalikan dana Rp 3 juta itu. BMI beralasan dana itu tidak tertarik melalui ATM BCA. Anehnya, pengakuan itu tidak membatalkan pendebetan rekening saya. Artinya, uang saya di BMI tetap lenyap Rp 3 juta.
Selain itu, dalam buku bank BMI saya juga terjadi pencatatan mundur (back date), di mana pada catatan awal menunjukkan ada dana saya Rp 4 juta yang hilang tanpa ada kejelasan. Namun BMI mencetak ulang buku saya dengan membuat urutan-urutan yang diubah, sehingga dana Rp 4 juta itu seolah sudah terpakai. BMI beralasan ada kesalahan pencatatan.
Dengan demikian ada dana Rp 7 juta yang menguap di tabungan BMI saya. Atas dasar itu, hilanglah kepercayaan saya kepada BMI, sehingga sisa tabungan saya sebesar Rp 43 juta saya pindahkan ke bank lain. Saya kecewa atas layanan yang tidak profesional ini.
Tony Rizward Kampung Bahari Gg.II/125, Tanjung Priok, Jakarta Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo