Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Surat Pembaca

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengaspalan Jalan Sudah Diselesaikan

Setelah surat pembaca bertajuk ”Nilai Kontrak Kemahalan” dimuat di rubrik Surat Tempo, edisi 15-21 Januari, bersama ini saya informasikan hal-hal berikut:

  1. Pada 17 Januari, sekitar pukul 09.00, salah satu pengawas Sudin Pekerjaan Umum Jakarta Selatan telah datang ke rumah. Berhubung saya sudah berangkat ke kantor, beliau menghubungi saya melalui ponsel.
  2. Dalam pembicaraan yang penuh persahabatan, beliau mengucapkan terima kasih atas partisipasi warga masyarakat yang telah melakukan kontrol terhadap proyek Sudin PU Jakarta Selatan. Dalam hal ini, pengaspalan jalan di Kompleks Polri Ragunan (AKRI), sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) No. 575/1.712.34, tanggal 21 November 2006, yang telah dikerjakan pada 11 Desember 2006, tetapi tidak sesuai dengan kontrak.
  3. Beliau menjanjikan pada 17 Januari, dan paling lambat 18 Januari 2007, akan dilakukan pengaspalan jalan sesuai dengan SPMK tersebut pada butir dua di atas.
  4. Pada 17 Januari telah dilakukan pengaspalan jalan L dan baru selesai pengerjaannya sekitar pukul 17.00. Total jalan L yang diaspal seluas 135 meter persegi + 184 meter persegi = 319 meter persegi, yang dikerjakan sesuai dengan spesifikasi teknis SPMK pada butir dua di atas.
  5. Pengaspalan jalan L langsung diawasi oleh Dewan Kelurahan RW 06, Pengawas Sudin PU Jakarta Selatan, dan Pelaksana Proyek PT Susuganan Hasil Mandiri.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, saya atas nama warga RW 06 Kompleks Polri Ragunan mengucapkan terima kasih atas cepat tanggapnya aparat Pemda Provinsi DKI Jakarta, khususnya Sudin PU Jakarta Selatan. Mereka telah memberikan tanggapan positif terhadap keluhan dan ketidakpuasan warga.

Semoga langkah positif pejabat Sudin PU Jakarta Selatan yang peka dan mau mendengar kritik membangun warganya akan diikuti para pejabat lain di lingkungan Pemda Provinsi DKI Jakarta.

AKBP (PURN) S. WIJONO Wakil Ketua RT 06, Kompleks Polri Ragunan Pasar Minggu, Jakarta Selatan


Microsoft versus IGOS

Bagi saya lucu dan mengenaskan membaca liputan Tempo soal error proyek Microsoft, juga berita-berita di Koran Tempo soal nota kesepahaman (MOU) Microsoft dengan pemerintah. Saya hanya menduga-duga, bisa jadi, Microsoft menemukan momentum yang tepat untuk menekan pemerintah Indonesia. Sebab, negara ini punya reputasi tinggi dalam peringkat pembajakan di dunia. Sebesar 78 persen software di negara ini adalah bajakan.

Microsoft merasa memperoleh momentum karena (diakui atau tidak) di kantor-kantor birokrasi kita semua komputernya bajakan. Wajar, dong, kalau yang punya barang kemudian berteriak, lalu serta-merta menyodorkan nota kesepahaman agar pemerintah Indonesia melakukan legalisasi. Kalau kita punya dagangan seperti Microsoft, bukankah kita akan melakukan itu juga? Soal terbuka atau tidaknya nota tersebut, sebenarnya pemerintah bisa mengambil jalan lebih arif.

Perseteruan Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dengan Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman juga terkesan lucu. Mengapa soal ini kemudian menjadi hal yang besar? Bukankah di kabinet sudah dibicarakan sehingga keduanya mengklaim dalam posisi benar. Kalau menterinya saja sudah begini, apalagi masyarakatnya? Lalu, nanti timbul razia besar-besaran yang dilakukan oleh Business Software Alliance (BSA) bersama polisi. Eh, tak tahunya, semua Microsoft Office yang dipakai di Polda, Polsek, dan Polres juga bajakan!

Di sisi lain, mungkin peran IGOS juga terlalu dibesar-besarkan. Mari kita realistis: IGOS bukanlah apple to apple bila dibandingkan dengan Microsoft. Jujur saja, apa bisa semua departemen kemudian memakai IGOS dan menyelesaikan semua masalah?

Saya tak berani menuduh, tapi kalau soal ini kemudian dihubungkan dengan nasionalisme, kok kebangetan. Baik IGOS yang didukung oleh Sun Microsystems dan Microsoft sebenarnya adalah dua perusahaan Amerika yang sama-sama mencari bisnis di Indonesia. Tambah lucu kalau nantinya DPR ikut-ikutan dengan melakukan politisasi di sana-sini. Orang Jawa bilang. ”masalah sepele jadi sepolo”. Jangan bilang soal nasionalisme pada saat dunia sudah mengglobal begini. Memalukan.

Irfan Effendi Jakarta Selatan [email protected]


Berantas Korupsi Sekarang Juga

Perilaku korupsi di Indonesia telah berlangsung sangat parah, sehingga menyengsarakan rakyat dan mendapat sorotan negatif dari berbagai lembaga internasional. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum, serta lembaga lainnya yang dibentuk untuk mendukung pemberantasan korupsi, dituntut lebih giat bekerja dan berani bertindak tanpa pandang bulu.

Selama ini sering terdengar nyaring pernyataan tentang perlunya mengutamakan kepentingan rakyat. Namun realitas menunjukkan sebaliknya: rakyat malah sering dieksploitasi untuk kepentingan individu serta kelompok tertentu. Tidak tampak adanya kepedulian terhadap rakyat.

Lihat saja, ketika sebagian besar rakyat kesulitan membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya, para wakilnya di lembaga legislatif justru sibuk menghitung tambahan penghasilan. Bahkan wakil rakyat tersebut tidak peduli ketika bagian yang seharusnya menjadi hak rakyat hilang di tengah jalan. Misalnya, program beras untuk orang miskin, pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, serta program-program lain yang ditujukan untuk membantu rakyat miskin.

Banyak faktor yang mendorong terjadinya korupsi. Namun lemahnya penegakan hukum merupakan salah satu faktor dominan yang masih mendorong terus terjadinya korupsi. Faktor lainnya adalah tingkat kesejahteraan aparatur pemerintah yang masih rendah, moral kalangan pejabat umumnya kurang terpuji, dan minimnya sosok pemimpin yang bisa dijadikan panutan.

Penasihat KPK Abdullah Hehamahua beberapa waktu lalu pernah menyatakan, pada 2015, KPK menargetkan di Indonesia telah tercapai tata pemerintahan yang baik. Artinya, rakyat harus menunggu delapan tahun lagi untuk merasakan pemerintahan yang sesuai dengan harapan mereka. Itu pun bukan berarti negara sama sekali bebas dari praktek korupsi.

Menunggu waktu delapan tahun tentu cukup lama dan sangat membosankan. Semoga saja rakyat tetap sabar. Semoga pula para koruptor sadar bahwa tindakannya telah menyengsarakan rakyat dan suatu saat rakyat bisa marah karena kelaparan.

RINNY RAMDHIKA Perum Pojok Salak, Jonggol-Bogor [email protected]


Misteri di Carolus Perlu Tindak Lanjut

Artikel berjudul ”Maut Misterius di Carolus” yang dimuat di rubrik Kesehatan, Tempo, edisi 21 Januari lalu, mengangkat kasus yang menarik. Yang kita tahu dari berita itu, semua pasien yang kemudian meninggal hanya dirawat 1-2 hari, berumur 55 tahun ke atas, 90 persen laki-laki, dengan gejala awal panas tinggi, kesadaran cepat menurun, dan kadar garam dalam darah menurun. Kesamaan lain yang cukup penting, keluarga semua pasien tidak mengizinkan diadakan otopsi.

Sebagai lulusan fakultas kedokteran yang berpengalaman melakukan praktek dokter umum, berita itu masih menyisakan sejumlah pertanyaan di benak saya. Pertama, sejauh mana audit medik sudah dilakukan terhadap kasus ini oleh Rumah Sakit St. Carolus. Audit medik ada tiga level. Level pertama dilakukan oleh kalangan tim dokter sendiri yang berasal dari satu bagian/SMF di rumah sakit, level kedua dilakukan oleh tim khusus di bawah koordinasi Komite Medik Rumah Sakit, dan level ketiga dilakukan oleh tim ahli yang diundang khusus dari luar. Bagaimana hasil ketiga level audit medik ini? Apakah hasilnya sudah didapat, dan apa temuannya untuk setiap level tersebut?

Kedua, sejauh mana keluarga pasien sudah diberi informasi oleh pihak rumah sakit agar mereka mau dan ikhlas merelakan anggota keluarganya yang meninggal untuk diambil sampel organ tubuhnya—kalau tidak mau diotopsi. Saya yakin jika ditekankan otopsi ini demi kepentingan ilmu pengetahuan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan di kemudian hari, mereka tidak keberatan.

Ketiga, sejauh mana penelitian retrospektif sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk mengetahui ada tidaknya medical error. Ingat, di Amerika Serikat saja, kematian pasien akibat medical error jauh melampaui pasien yang mati akibat HIV/AIDS. Di Amerika saja sudah tinggi kasus kematian akibat medical error, lalu siapa yang bisa menjamin bahwa di Indonesia keadaannya tidak lebih buruk?

Keempat, saya menyarankan penyelidikan kasus ini diperdalam menjadi sebuah medical research dengan pendekatan retrospektif. Tujuannya untuk menemukan penyebab kematian. Pelaksananya harus orang atau lembaga yang benar-benar independen. Kalau penyakit aneh (menular) tidak ditemukan pada semua kasus tersebut, bagaimana dengan kesalahan pelayanan (medical error) di rumah sakit? Apakah kemungkinan ini masih ada? Ke sanalah investigasi kedokteran perlu diarahkan. Pertanyaan pentingnya, siapa yang berkompetensi melakukan penelitian seperti ini, karena toh metodologinya sendiri sesungguhnya sudah ada. Semoga masukan ini berguna.

PROFESOR DR A.A.G. MUNINJAYA MPH Direktur Eksekutif Unit Penelitian dan Latihan Epidemiologi Komunitas (UPLEK) Fakultas KedokteranUniversitas Udayana, Bali


Aksi Cabut Mandat Tidak Rasional

Pawai cabut mandat yang dilakukan sejumlah tokoh dinilai beberapa kalangan sebagai ketidakmampuan membangun demokrasi yang normal. Buktinya, sebagian kecil masyarakat itu masih menggunakan ekstra parlemen dalam menyampaikan ketidakpuasan kepada pemerintah.

Alasan seruan pawai cabut mandat karena pemerintahan terpilih dinilai tidak berpihak pada rakyat, kinerjanya payah, hanya pada tingkat ekonomi makro, sektor riil mandek, dan sebagainya. Namun pemikiran mereka itu tidak mencerminkan pendapat orang banyak.

Buktinya, pada akhir 2006, hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia menunjukkan 67 persen responden yakin pada kinerja pemerintahan SBY-JK. Persentase itu lebih tinggi dari persentase jumlah pemilih 2004, yaitu 61 persen yang memilih pasangan SBY-JK. Pertanyaannya kemudian, apakah kondisi saat ini semakin buruk dibanding tahun lalu? Sedangkan optimisme masyarakat pada akhir 2006 nyatanya justru meningkat.

Bila dibandingkan dengan hasil survei pada akhir 2005, persentase responden yang yakin kepada kondisi ekonomi akan lebih baik pada 2007 ini meningkat proporsinya. Tren mengenai perbaikan kondisi dan penguatan keyakinan pada pemerintahan itu umumnya mengacu pada persepsi stabilitas ekonomi dan harapan yang lebih baik di masa mendatang. Selain itu, hasil polling AC Nielsen menguatkan hasil survei LSI, di mana mayoritas responden sebesar 68 persen meyakini kondisi keuangan mereka akan membaik.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) pun telah menunjukkan arah perbaikan dalam sejumlah indikator riil ekonomi. Survei BI menunjukkan indeks keyakinan konsumen tinggi. Indeks yang mengukur persepsi pengusaha atau produsen juga menunjukkan tanda peningkatan. Survei BI menunjukkan kondisi bisnis dalam tiga bulan terakhir meningkat dari kuartal I sampai III 2006.

Bila kita berpikir jernih, sebenarnya hasil survei itu tidak mengejutkan. Daripada setiap orang berdebat tanpa acuan yang jelas, apalagi sampai emosional dan menggunakan acuan irasional, lebih baik kita gunakan saja acuan yang lebih representatif.

Untuk itu, para tokoh penggerak unjuk rasa diharapkan ikut membantu meningkatkan kinerja pemerintah. Hendaknya kita bersama memakai argumen yang mendidik dan intelek, karena rakyat banyak sudah lebih dewasa daripada anggapan kita.

CHRISTOPER SIMANJUNTAK Taman Cilandak, Lebak Bulus Jakarta Selatan


Penataan Kota Jakarta

Sebagai warga Ibu Kota DKI Jakarta, saya ingin menyuarakan keprihatinan mendalam karena tata kotanya makin tidak jelas. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kawasan yang semula direncanakan untuk permukiman telah bergeser sedikit demi sedikit menjadi kawasan usaha dan niaga. Makin banyak rumah yang telah dijadi-kan tempat usaha, seperti kafe, salon, dan toko. Sekadar contoh, bisa ditengok kawasan Senopati, Dharmawangsa, Brawijaya, Kemang, dan Menteng.

Kawasan yang dulu dikenal sebagai kawasan hunian yang nyaman sekarang mulai dipenuhi tempat usaha. Tentu, diikuti pula dengan kawasan parkir liar untuk menunjang tempat usaha tersebut, sehingga berdampak pada kemacetan lalu lintas.

Berkait dengan itu, saya ingin mengajukan beberapa usul kepada Pemerintah DKI Jakarta:

  1. Pihak yang membawahkan tata kota harus lebih tegas dalam mengatur daerah permukiman dan daerah bisnis. Sebab, banyaknya permukiman yang diperbolehkan untuk tempat usaha akan berdampak pada kurang terjualnya kawasan bisnis.
  2. Gubernur dan wali kota agar lebih selektif dalam memberikan izin usaha, sehingga daerah permukiman yang ada tidak telanjur berubah total menjadi daerah niaga. Jika tidak, hal itu akan membuat jalanan sekitarnya bertambah macet.
  3. Para pejabat yang berwenang dalam memutuskan pemberian izin usaha di tempat permukiman harus lebih diawasi. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa ada beberapa pejabat yang dapat mengeluarkan izin lokasi usaha mendapat imbalan yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal itu melanggar peraturan.

Akhir kata, semua ini tidak lain bertujuan untuk mempercantik wajah DKI Jakarta. Perlu diperhatikan bahwa masalah kemacetan di Ibu Kota tak bisa hanya dipecahkan dengan three in one, membuat monorel, subway, atau jalan layang/bawah tanah. Tanpa memperhatikan masalah di atas, akan mustahil masalah kemacetan bisa diselesaikan secara optimal.

ERDI S. Jakarta


RALAT

  1. Ada kesalahan yang amat mengganggu dalam tulisan berjudul Info A1 Pak Kades” di majalah Tempo edisi 8-15 Januari 2007 halaman 33. 

    Setelah kami cek ulang, ternyata Aiptu M. Amir Les (bukan Ajun Komisaris Emir Les) bukanlah pemberi informasi pertama ditemukannya pesawat Adam Air yang jatuh pada 1 Januari lalu.

    Benar bahwa informasi itu muncul dari kantor Kepolisian Resort Polewali Mandar, Sulawesi Barat, tempat Amir menjadi Kepala Unit Buser. Tapi hal itu disampaikan kepada Tempo oleh  pejabat dengan level yang lebih tinggi. Kami mohon maaf atas ketidakakuratan data ini.

  2. Rubrik bahasa pekan lalu berjudul ”Kebijakan Poligami”, mestinya ”Kebajikan Poligami”.

—Redaksi—

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus