Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komentar atas Komentar Suroyo
Hebat, Catatan Pinggir mengenai The Passion of the Christ (TEMPO, 11 April 2004) terbukti berhasil mengacaukan seorang Kristen ”tulen” bernama David Suroyo (rubrik Surat dan Komentar, TEMPO edisi 23 Mei 2004). Demi membantah bahwa pengorbanan Kristus tak serupa dengan pengorbanan ala Inca Purba, David Suroyo sepakat dengan Goenawan Mohamad, penulis Catatan Pinggir, bahwa manusia terselamatkan bukan karena Kristus sengsara hingga wafat di tiang salib.
Mungkin Goenawan berpendapat keselamatan dapat diperoleh melalui amal, kelakuan baik, ataupun jasa terhadap Tuhan. Adapun David, yang percaya bahwa Yesus adalah Allah Juru Selamat, menyatakan bahwa keselamatan itu hanya oleh anugerah Allah karena beriman kepada-Nya. Persoalannya, masihkah David merasa terselamatkan andaikata Yesus buron, urung disalibkan, sehingga Tuhan gagal membuktikan maha-kerendah-hatian-Nya yang adalah wujud kasih karunia-Nya yang merupakan anugerah keselamatan bagi David Suroyo? David luput membaca surat Ibrani 9; 25-28.
Itulah akibatnya jika secara dangkal mengutip sepenggal ayat kitab suci, demi ”menjawab” seorang Goenawan Mohamad yang pemikir tulen. Tapi, adakah pengorbanan ala Inca berkaitan dengan kerendahan hati dewa mereka?
INNOCENTIUS R.S. YANAUTAMA
Kompleks Polri/47
RT 005/001, Kelurahan Duren Tiga
Jakarta Selatan
Tertibkan Lagu Dangdut di TV
Belakangan ini lagu dangdut hampir setiap hari diputar di semua stasiun televisi, termasuk TVRI. Kami sangat prihatin melihat penampilan penyanyi dangdut dan penari yang sangat vulger, pamer aurat, dan mengeksploitasi tubuh wanita. Tariannya juga sengaja dibuat seerotis mungkin.
Acara seperti ini sangat tidak pantas diputar di TV Indonesia. Selain bertentangan dengan budaya Timur, ia juga bertentangan dengan ajaran agama yang mengharuskan wanita menutup aurat. Sepertinya stasiun TV sengaja ingin meracuni umat dengan acara tersebut, supaya muslimah meniru gaya pakaian buka-bukaan.
Terus terang, maraknya acara dangdut yang tak seronok dan vulger tersebut membuat kami sangat prihatin. Ini sangat tidak mendidik, bahkan menghancurkan akhlak dan moral generasi muda bangsa Indonesia. Anak bangsa yang setiap hari disuguhi acara tersebut dapat mengubah mentalnya menjadi mental porno, berpikiran ngeres, dan berakhlak bejat.
Patut diingat oleh para pengelola TV bahwa yang menonton bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak di bawah umur yang sangat terpengaruhi. Anak tersebut bisa hancur akidah, akhlak, dan moralnya oleh acara semacam itu. Sebenarnya, apa motivasi stasiun TV memutar acara tak seronok tersebut?
Untuk melindungi akhlak dan moral generasi bangsa Indonesia dari kehancuran karena pengaruh klip video yang tak seronok tersebut, kami minta dengan sangat kepada:
Pertama, production house (PH). Kami minta supaya membuat klip video lagu dangdut dan lagu lainnya yang sopan, tidak mengeksploitasi tubuh wanita, baik pakaian untuk penyanyi maupun penarinya. Ingatlah klip video buatan Anda ditonton oleh jutaan orang dan sebagian besar anak-anak di bawah umur.
Kedua, penyanyi lagu dangdut. Apakah Anda sudah kehilangan rasa malu tubuh Anda ditonton oleh jutaan orang, termasuk suami, anak, saudara, sahabat, dan orang tua Anda? Saya yakin Anda orang yang beragama. Jangan ”jual” tubuh Anda hanya untuk meraih popularitas dan mendapatkan uang.
Ketiga, pemilik stasiun TV. Kami minta jangan memutar klip video (lagu apa saja) yang mengeksploitasi tubuh wanita. Ingatlah Anda punya peran sangat besar dalam menghancurkan akhlak bangsa lewat tayangan acara di TV milik Saudara.
Keempat, pemirsa TV. Hendaknya kritis terhadap acara-acara TV. Ingatlah korban pertama terbesar TV adalah keluarga kita, anak-anak kita.
Kelima, MUI dan ormas-ormas Islam. Berbuatlah sesuatu sebelum terlambat. Ingatkan pemilik stasiun televisi di Indonesia.
Dan terakhir, pemerintah. Jangan diam saja melihat tayangan tak seronok (maksiat) di TV. Kapolri semestinya segera menindak dan memberi sanksi bagi pemilik stasiun TV yang masih menayangkan acara tak seronok dan berbau pornografi tersebut.
MUHAMMAD LUTHFI
Jalan Cenderawasih 8
Kelurahan Keuramat, Banda Aceh
Kunci Pemberantasan KKN
CUKUP banyak pakar yang menyoroti seputar tingkah laku anggota legislatif di DPR, DPRD, dan DPD periode 2004-2009 yang baru terpilih. Mereka akan berupaya ”keras” memanfaatkan jabatan selama kurun waktu lima tahun ke depan. Target pertama, relatif paling lambat dua tahun pertama, seluruh ongkos yang telah dikeluarkan bagi proses percalegan kembali ke kocek pribadi. Bahkan, bila memungkinkan, mengembangbiakkan dengan pelbagai cara, halal maupun haram, menjadi berlipat-lipat. Harap mafhum, modal awal dapat saja berasal dari penjualan perhiasan emas-berlian, tanah, kebun, sawah, rumah, kendaraan roda empat atau dua. Boleh jadi milik mertua yang dipinjam sementara. Atau mungkin bersumber dari kredit bank atau rentenir.
Mereka yang telah lebih dari satu periode menjadi wakil rakyat barangkali tidak ”seganas” mereka yang baru pertama kali menikmati empuknya kursi legislatif. Selama ini, pers sepertinya belum menyajikan berita seputar kelompok yang disebut terakhir ini. Sebenarnya bisa dibandingkan pendapatan resmi mereka dari APBN/APBD dengan realitas penghasilan yang mereka peroleh. Bisa juga dilihat gaya hidup mereka, apakah mereka kini menjadi bergelimang harta.
Fakta di lapangan, di 32 provinsi, banyak wakil rakyat yang berurusan dengan hamba hukum. Contohnya kasus korupsi yang menimpa 43 dari 55 anggota DPRD (78,18 persen) di Provinsi Sumatera Barat, yang saat ini telah divonis.
Masih ada pertanyaan menggoda sejak reformasi bergulir pada tahun 1998-an yang sepertinya belum terjawab kalangan akademisi atau lembaga penelitian, apakah kasus penyimpangan APBD mencontoh para pelaksana APBN atau malah sebaliknya. Tampaknya, hal yang sebaliknya ini kecil kemungkinan. Masih cukup jarang dikemukakan oleh para pakar bahwa kunci pemecahan masalah KKN di Indonesia ada pada lembaga kepresidenan.
Bila benar ada debat antar-calon presiden menyongsong pemilihan presiden, institusi penyelenggara punya kewajiban mutlak menggali pula visi dan misi dan program para kandidat, terutama dalam soal pemberantasan KKN.
SUNGKOWO SOKAWERA
Jalan Rancamanyar I No. 17
Bandung 40275
Denny J.A., LSI, dan Opini Publik
Pemilihan presiden yang akan berlangsung bulan depan telah membuat sibuk para pengamat politik. Setiap hari kita menyaksikan berbagai pendapat dan prediksi pengamat. Tapi yang paling memprihatinkan adalah Denny J.A. dari Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Saya sudah mengamati ”gerakan” Denny J.A. dan LSI sejak tahun lalu dengan cukup intens. Terus terang saya merasa dilecehkan secara intelektual melihat hasil-hasil survei LSI. Survei terakhir adalah contoh yang teramat gamblang. LSI mengatakan, ”Para pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pemilu legislatif ternyata akan memilih SBY pada pemilu presiden nanti.” Saya kira orang yang paling awam pun tidak akan pernah sampai pada kesimpulan seperti itu. Selain hal itu bertentangan dengan akal sehat, nurani saya sangat terusik.
Kenapa yang saya persoalkan hanya Denny J.A.? Terus terang saya tidak pernah merasa terganggu dengan pengamat lain yang terang-terangan menjadi anggota tim sukses calon presiden. Ini adalah hak setiap individu. Dan mereka sudah bersikap cukup gentleman. Semua orang tahu posisi mereka karena mereka terang-terangan menunjukkan keberpihakannya. Karena itu, kalaupun mereka diwawancarai media massa, mereka bukan diposisikan sebagai pengamat, melainkan sebagai anggota tim sukses salah seorang kandidat. Tapi Denny? Dia mengklaim dirinya sebagai pengamat yang netral.
Posisi Denny juga ”seolah-olah” menjadi lebih kuat dari pengamat lainnya karena didukung oleh data sebuah survei. Pengamat lain bisa saja bilang A dan B, tapi pemirsa mungkin mengatakan, ”Ah, itu kan analisis dia. Bisa saja prediksinya salah.” Tapi Denny seolah-olah memiliki ”legitimasi” dengan survei-survei LSI-nya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa survei-survei LSI digunakan hampir di semua stasiun televisi. Bahkan survei ini tidak hanya dibahas oleh ”orang-orang” LSI seperti Muhammad Qodari atau Saiful Mujani, tapi juga digunakan televisi untuk dibahas dengan pengamat yang lain. Ini sangat berbahaya karena si pengamat (yang mungkin sebenarnya netral) seperti ”ditodong” untuk membahas hasil survei LSI.
Demikian saja komentar dari saya. Menurut saya, kejahatan yang paling berbahaya di dunia ini adalah kejahatan pikiran.
ARVAN PRADIANSYAH
Jalan Citarum 13, Cideng
Jakarta 10150
Penjelasan dari PT Sembada Sennah
DALAM TEMPO Edisi 24-30 Mei 2004 dimuat tulisan berjudul Nila Setitik dari Medan. Isinya seputar pembatalan kerja sama antara PT Sembada Sennah Maju dan PT Pangkatan Indonesia. Sebagai kuasa hukum H. Rahmat Shah, pemilik PT Sembada Sennah Maju, saya ingin memberikan klarifikasi sebagai berikut.
Luas lahan perkebunan tidak benar 33.500 hektare, tapi hanya 1.813,4 hektare. Dari jumlah tersebut, lahan karet yang dikonversi menjadi tanaman sawit hanya seluas 137 hektare, dengan biaya investasi dari kebun sendiri.
Bahwa perumahan untuk karyawan juga diperbaiki dan ditata lebih baik, itu adalah pemutarbalikan fakta. Sebaliknya, yang terjadi justru kondisi lingkungannya semakin jelek, termasuk rumah ibadah yang lebih tidak terawat jika dibandingkan dengan pos jaga.
Informasi yang diberikan sangat keliru dan direkayasa. Kami yakin bahwa pemilik perusahaan dan Duta Besar Inggris serta TEMPO tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya, menyangkut kerja sama, replanting (penggantian tanaman), apalagi mengenai putusan Pengadilan Negeri Medan.
Disebutkan, kami telah cedera janji karena tidak segera meminta izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Yang terjadi, kami tidak diberi data-data serta akta-akta yang seharusnya untuk pengurusan izin. Pengurusan sebenarnya sudah diusahakan, tapi sejak awal pihak BKPM telah menolak permohonan izin karena kesepakatan kerja sama dinilai cacat oleh BKPM. Ini karena yang menandatangani kerja sama adalah orang yang tidak berhak/berwenang dan perjanjian kerja sama tidak melalui prosedur yang semestinya, sehingga dengan sendirinya kerja sama tersebut tidak dapat dilanjutkan (batal).
Setelah penolakan kerja sama, kami ingin mengembalikan dana yang telah diterima dari pihak PT Pangkatan, sehingga tidak ada yang dirugikan. Ternyata, sebaliknya, kami mendapat tekanan berupa penawaran untuk menjual sisa saham kami kepada mereka.
Sesudah bekerja sama, kami baru tahu bahwa perusahaan tersebut selalu bermasalah dengan staf/karyawan, pensiunan, dokter, dan pihak-pihak lain. Urusannya pun selalu ke polisi (pidana) dan hingga saat ini masih ada yang belum selesai.
Investor baik, tapi para pelaksananya sering memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi serta arogan kepada staf, karyawan, dan pihak lainnya. Beberapa komitmen sebelum kerja sama tidak dipenuhi mereka.
Menurut info yang kami terima, kebun belum dilengkapi izin resmi tapi sudah go public di Inggris dan pelaksana orang asingnya tidak memiliki izin kerja yang semestinya sesuai dengan jabatannya di Indonesia.
Kita boleh menjaga atau memberikan keringanan kepada investor asing, asalkan yang berniat dan bertujuan baik untuk pembangunan usaha yang saling menguntungkan atau yang bekerja sama dengan baik serta memperlakukan partner usaha dan pekerja sesuai dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan Negara Republik Indonesia, bukan yang bisa berbuat sesuka hatinya dan hanya mencari keuntungan untuk usahanya hanya karena mereka dari negara kuat, maju, dan punya kemampuan dana.
Sebagai informasi, proses persidangan hingga keputusan pengadilan perkara tersebut telah memakan waktu cukup lama, sekitar 9 bulan, dan persidangan berlangsung kurang-lebih 30 kali, serta menghadirkan berbagai pihak sebagai saksi ahli untuk mendapatkan kepastian hukum.
Tulisan TEMPO berkesan seolah-olah Pengadilan Negeri Medan telah memutus perkara ini secara cepat dan memihak. Juga seolah-olah perusahaan asing tersebut telah menanamkan investasi yang besar dengan membabat 33.500 hektare tanaman karet dan telah berbuat banyak di kebun kami. Kenyataannya, mereka belum menanamkan investasi apa pun pada kebun tersebut. Juga sebagai informasi, saat penandatanganan kerja sama, kebun tersebut telah menguntungkan.
Untuk itu kami berharap kita memandang secara obyektif persoalan-persoalan yang terjadi, apalagi yang ada hubungannya dengan investor asing di negeri ini. Walaupun kita sangat membutuhkan investasi dan lapangan kerja, perusahaan asing tetap harus menghormati dan mengikuti ketentuan, peraturan, dan perundang-undangan Negara Republik Indonesia (bukannya mau benar dan menang sendiri saja).
Demikianlah kami sampaikan klarifikasi dan informasi ini dengan sebenarnya. Semoga bermanfaat dan dapat memperjelas duduk perkara batalnya kerja sama antara PT Sembada Sennah Maju dan PT Pangkatan Indonesia. Dan kami siap memberikan penjelasan secara langsung kepada pihak yang berkepentingan.
Edi Yunara, S.H.
Jalan Pepaya 24-26
Medan
Klarifikasi dari Bank Niaga
DALAM MAJALAH TEMPO Edisi 31 Mei-6 Juni 2004 dimuat surat Bapak Dede Apriadi yang berjudul Keluhan Nasabah Bank Niaga. Dengan ini kami sampaikan bahwa Bank Niaga telah melakukan pertemuan dengan Bapak Dede guna menjelaskan dan menyelesaikan masalah ini. Dan dicapai kesepakatan oleh kedua belah pihak bahwa permasalahan tersebut telah diselesaikan dengan baik.
Kepuasan nasabah merupakan fokus dari seluruh usaha kami dalam upaya menjaga dan terus meningkatkan kualitas layanan Bank Niaga.
Dina Sutadi
PT Bank Niaga Tbk.
Iuran Pedagang Pasar
KAMI menyayangkan kebijakan Direktur Utama PD Pasar Jaya baru-baru ini yang dimuat di berbagai media massa. Perusahaan daerah ini menaikkan iuran harian pedagang dengan alasan untuk menutupi biaya operasional. Seyogianya, para pedagang masih bisa bertahan alias tidak gulung tikar sudah sangat bagus. Sebab, mereka kini sudah dikepung oleh supermarket, mal, dan hypermarket.
Betapa nestapanya nasib pedagang kecil. Mereka sangat memelas karena harus bersaing dengan menjamurnya pusat belanja, yang bercokol hingga ke sudut-sudut kampung. Tengok saja bangunan minimarket semacam Alfa dan Indomaret, yang kini sudah berdiri semakin jauh ke pelosok-pelosok gang.
Dengan diberlakukannya kenaikan iuran harian tersebut, beban pedagang kecil di pasar-pasar tradisional akan makin bertambah. Apakah perlu ada lagi korban yang menggantung diri hingga tewas seperti yang dilakukan oleh seorang pedagang ayam potong di pasar tradisional baru-baru ini?
Taufik Karmadi
Cengkareng, Jakarta
RALAT
Dalam TEMPO Edisi 31 Mei-6 Juni 2004 terdapat kekeliruan pada tulisan berjudul Lima Kandidat Bertabur Bintang. Seharusnya Suaidi Marasabessy berpangkat letnan jenderal (purnawirawan), Aditiawarman Thaha bertitel brigadir jenderal (purnawirawan), dan E.E. Mangindaan berpangkat letnan jenderal (purnawirawan). Kami minta maaf atas kesalahan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo