Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEJOLAK ekonomi global membuat ekonomi Indonesia ikut terguncang. Khawatir hal itu memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri, pemerintah pun melakukan sejumlah langkah antisipatif. Salah satunya memberikan insentif berupa pengurangan pajak penghasilan badan bagi industri padat karya yang tidak memecat karyawannya.
Majalah Tempo edisi 31 Agustus 1985 menurunkan laporan utama tentang maraknya PHK akibat lesunya dunia usaha di kala resesi. Didukung Menteri Tenaga Kerja Sudomo, sejumlah perusahaan melakukan pemecatan massal. Mereka berlomba mengajukan permohonan PHK ke Departemen Tenaga Kerja. Permohonan terbanyak dari sektor industri pengolahan, pertambangan dan penggalian, serta bangunan. Tiga sektor itu memang terpukul paling parah oleh resesi dunia. Mereka kurang gesit menyesuaikan diri dengan lesunya permintaan pasar lokal. Sepanjang Januari-Agustus 1985, sekitar 11 ribu buruh dipecat dengan alasan memangkas biaya produksi.
Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), yang kantornya di pojokan Semanggi, Jakarta, misalnya. Bangunan tiga lantai itu lengang saat Tempo ke sana akhir Agustus 1985. Hanya tampak tiga pegawai administrasi tengah bekerja. "Yang lain sudah dirumahkan sejak bulan lalu," ujar Nur Basya, salah seorang Ketua GKBI. Induk dari 40-an koperasi batik itu terbelit utang hingga Rp 30 miliar.
Dengan maksud mengurangi biaya produksi, ratusan buruh sudah dipecat, tapi tetap saja GKBI terpuruk. Sebanyak 23 pabrik tekstil miliknya rontok. Sejumlah kreditor, seperti Bank of America, mulai mengincar agunan GKBI, termasuk kantor tiga lantai di Semanggi itu. "Tahun ini adalah tahun penentuan: kalau pemerintah tidak turun tangan, GKBI tutup buku," kata Nur.
GKBI tidak sendiri. Sebelumnya Grup Harapan, agen tunggal dan perakit sepeda motor Yamaha, merumahkan 500 karyawannya. Yang paling fenomenal adalah pemecatan 700-an buruh PT United Can di Cengkareng. Ini PHK massal terbesar oleh satu perusahaan pada tahun itu. Anehnya, PHK itu disetujui Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Alasannya para buruh bersalah karena menyandera sejumlah anggota staf dan karyawan perusahaan.
Ekonom Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Iwan Jaya Aziz, mengatakan industri dalam negeri mudah goyah karena selalu diproteksi pemerintah. Mereka dimudahkan oleh pembatasan impor dan penetapan bea masuk tinggi bagi barang impor sejenis yang sudah bisa dihasilkan industri lokal. Karena terus-menerus "digendong", "Sampai tua, bayi itu tidak bisa jalan sendiri, apalagi bisa bekerja efisien," ujarnya kala itu. Keadaan diperparah oleh tingginya ketergantungan pada bahan baku impor.
Penerapan PHK sebagai resep menekan biaya produksi itu ditentang pengamat ekonomi Radja Silalahi. Alasannya, persentase upah dari seluruh biaya produksi sektor industri sangat rendah, rata-rata hanya 11 persen. PHK, menurut dia, sebenarnya tidak akan banyak mengurangi beban biaya produksi.
Dan sepertinya Radja benar. Sejumlah perusahaan yang menolak PHK ternyata tetap bisa tumbuh meski diterjang badai resesi. Kelompok perusahaan National Gobel, misalnya. Memang pada awalnya mereka mesti berusaha ekstrakeras melakukan efisiensi dengan memperketat pemakaian dana serta selektif dalam pembelian komponen. Tapi mereka berhasil. Bahkan perlahan mereka bisa lepas dari ketergantungan pada pasar lokal dengan terus membuka pasar ekspor. Walhasil, di kala perusahaan lain sibuk memecat karyawan, National justru menambah jumlah karyawan berikut gaji mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo